WONOGIRI – Masyarkat Jawa, senntiasa menyertakan sesaji (sajen) Gagar Mayang, pada setiap prosesi upacara pemakaman jenazah pria bujangan, atau perempuan gadis yang belum menikah. Gagar mayang, hadir sebagai simbol yang menyiratkan kesedihan, atau sebagai manifestasi dari rasa duka cita, atas meninggalnya anggota keluarga yang masih berstatus bujang atau gadis.
Gagar Mayang, dibuat dengan menggunakan bahan baku dari gedebog pisang (batang pisang), yang berfungsi untuk media menancapkan hiasan janur kuning dalam format melingkar pada bagian pangkal. Ini sepintas mirip pada pembuatan Kembar Mayang dalam sesaji upacara pengantin. Juga menyertakan daun Beringin dan daun Andong. Pada pucuknya, ditancapkan hiasan keris-kerisan yang terbuat dari janur. Juga janur yang diukir sedemikian rupa, untuk tambahan hiasannya yang berjurai-jurai.
Budayawan Jawa peraih anugerah bintang budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM, menyatakan, sesaji Gagar Mayang identik dengan simbol kesedihan dan duka cita. ”Ini terkait dengan adanya anggota keluarga yang meninggal, selagi dia belum berumahtangga,” jelas Pranoto yang juga Abdi Dalem Keraton Surakarta Hadiningrat ini. Berbeda dengan Kembar Mayang, yang dibuat sepasang dan menjadi simbol yang mencerminkan suka cita kebahagiaan, pada pelaksanaan pesta pernikahan pengantin.
Ditancapkan di Pusara:
Konon, menurut sejarahnya, Gagar Mayang dibuat cukup satu, bukan sepasang sebagaimana pada Kembar Mayang. Tradisi pembuatan sesaji Gagar Mayang ini, sebagai simbol adanya bujang atau gadis yang meninggal selagi belum pernah menikah. Kata Gagar dapat dipahami sebagai makna gagal. Mayang, merupakan istilah lain dari penyebutan tandan bunga jenis palma, yang belum mekar (masih dalam seludangnya). Gagar mayang menjadi simbol gagal mencapai fase pernikahan, karena lebih dulu dipanggil menghadap Sang Pencipta. Juga menandakan akhir perjalanan hidup seseorang, sebelum menggapai cita dan mencatatkan namanya di jenjang kehidupan berumahtangga.
Saat ini, masyarakat Jawa yang paham tradisi Kejawen, masih menyertakan sesaji Gagar Mayang pada prosesi upacara pemakaman anggota keluarganya, yang keburu meninggal selagi belum berumah tangga. Sebagaimana misalnya, pada upacara pemakaman Sidiq Hardiyanto (25), warga Lingkungan Cubluk RT 1/RW 4, Kelurahan Giritirto, Kecamatan Wonogiri, Kabupaten Wonogiri, Jateng. Putra sulung dari dua bersaudara pasangan suami-istri Purwanto-Sugiyanti ini, Rabu (27/11), dimakamkan di pemakaman Astonoloyo Giri Manunggal lereng timur Gunung Gandul Wonogiri.
Upacara pemakamannya dipimpin Ustadz KH Nurhadi Safei, dengan menyertakan kelengkapan sesaji Gagar Mayang. Semula, Gagar Mayang itu ditancapkan pada lubang bokor, dipajang dekat peti jenazah di rumah duka. Ketika jenazah dikubur, sesaji Gagar Mayang dicopot dari lubang bokor, untuk ganti ditancapkan di atas pusara kuburnya. Penancapan Gagar Mayang, dilakukan bersama dengan penancapan tanda sepasang patok kayu atau maejan dan payung kertas hias.
Almarhum Sidiq Hardiyanto, merupakan lulusan SMA Negeri 3 Wonogiri, yang semasa hidupnya pernah menekuni olahraga Judo. Dia pernah aktif berlatih olahraga judo di Dojo Gajahmungkur, Wonogiri, dan dilatih oleh Pejudo Senior, Sutarto, yang peraih medali perak di Kejuaraan Judo SEA Games. Di Dojo Gajahmungkur milik Koh Djien (Daniel Tandiyo Saputro), Sidiq Hardiyanto, juga dilatih oleh Asisten Pelatih Judo, Budiyono (Si Be), yang masih terhitung pamannya sendiri.
Ikut hadir memberikan sambutan pada pelepasan jenazah Sidiq Hardiyanto di rumah duka, Ketua RW 4 Drs Supardjo MM, dan Plt Lurah Girititro, Kuntoro SE. Didampingi Staf Kelurahan Yatino, SE, Kuntoro dalam kesempatan itu berkenan menyerahkan Akta Kematian Sidiq Hardiyanto kepada orang tuanya. Ketua RT 1/RW 4 Lingkungan Cubluk, Kelurahan Giritirto, Kecamatan dan Kabupaten Wonogiri, Jarwanto, menyebutkan, penyerahan Akta Kematian ini, merupakan pemberian pelayanan prima Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang jadi dalam proses hanya sehari saja.
suarabaru.id/Bambang Pur