blank
Anggota Komisi IV DPR-RI, Hamid Noor Yasin, mendesak pemerintah segera memperbaiki pelayanan birokrasi tentang pemberian izin perikanan tangkap di Tanah Air.

JAKARTA – Pemerintah, didesak untuk segera memperbaiki sistem pelayanan birokrasinya, bila menginginkan target nasional bidang perikanan di Tanah Air dapat dicapai. Utamanya pada target perikanan tangkap sebesar 8,02 juta ton per tahun di Indonesia. Desakan ini, disampaikan Anggota Komisi IV DPR-RI, Drs Hamid Noor Yasin MM, menyikapi bahwa belakangan ini masalah perizinan perikanan tangkap di Indonesia, mengalami kendala mandek atau tertunda sampai setahun lebih tidak kunjung selesai.

”Itu sangat mengganggu kinerja pelaku penangkapan ikan. Terutama penangkapan ikan pada skala besar.di tingkat nasional,” tegas Hamid Noor Yasin. Jumat (8/11), Anggota Fraksi PKS DPR-RI, Hamid Noor Yasin, membeberkan hal tersebut setelah menemukan indikasi masalah birokrasi perizinan menjadi kendala penyebabnya. Kata Hamid, bila ingin mencapai target nasional di sektor perikanan tangkap, pemerintah mesti melakukan dua hal. Yakni mempermudah birokrasi, dan sekaligus mendukung program pembinaan nelayan dengan skala 30GT ke atas.

Sebagai politisi dari Fraksi PKS, Hamid, menyebutkan, SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan SIUP (Surat Ijin Usaha Perikanan)  yang tertunda, hingga kini masing-masing mencapai sekitar 400 lebih. Lama waktu tertundanya, sudah selama satu tahun lebih. ”Ini merupakan bukti adanya birokrasi yang mandek,” tegas Hamid. Terkait ini, perlu adanya upaya konkrit langkah penyederhanaan birokrasi yang tertuang pada Pepres Nomor: 3 Tahun 2017, yakni tentang rencana aksi percepatan pembangunan industri perikanan nasional. ”Pemerintah melalui Kementrian Kelautan Perikanan (KKP) agar memperbaiki pelayanan birokrasinya untuk lebih mempermudah masalah pemberian izin,” tegasnya.

Menurut Hamid, Perpres tentang percepatan pembangunan industri perikanan nasional, mengamanatkan mengenai kolaborasi antarinstansi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dalam pembangunan industrialisasi sektor perikanan. Mestinya, tujuan Perpres tersebut mampu mewujudkan kemajuan sektor perikanan terutama tangkap, yang potensinya sangat besar di perairan laut Indonesia. Pada periode Tahun 2014-2019, terjadi peningkatan produksi perikanan secara umum. Namun daya saing global sektor perikanan Indonesia masih kalah dari negara lain, misalnya Vietnam. Sebagai negara kecil, nilai ekspor Vietnam mampu menduduki peringkat peringkat 3 dunia. ”Sedangkan kita, sebagai negara besar dengan bentang laut yang sangat luas, nilai ekspor perikanannya hanya berada pada urutan ke tiga belas tingkat dunia,” ujar Hamid.

Diduga, penyebab lambannya proses industrialisasi perikanan tersebut, kemungkinan dikarenakan pada periode lalu, KKP masih berkutat pada persoalan dasar seperti IUU Fishing dan juga Perikanan skala kecil. Mestinya, anggaran kapal untuk industri perikanan tangkap itu 30GT ke atas, bukan 5 GT yang hanya mampu menjangkau 4 mil laut.  ”Ini tidak sinkron”, tandas Hamid.

Hamid sebagai Anggota Legislatif Pusat asal Daerah Pemilihan (Dapil) IV Jateng (Wonogiri, Karanganyar dan Sragen), menyebutkan, Perpres Nomor: L 3/2017, telah mengamanatkan sebanyak 5 program dan 28 kegiatan yang harus segera ditindaklanjuti secara strategis oleh berbagai kementerian. Beberapa amanat Perpres tersebut yang saat ini pelaksanaannya sangat lamban, menyangkut pembangunan sebanyak 4.787 kapal ikan berukuran di bawah 30 gros ton (GT) oleh pemerintah, dan 12.536 kapal ikan diatas 30 GT oleh swasta. Ironisnya, pemerintah melalui institusi KKP, sampai pada Bulan Agustus 2019 lalu, baru merealisasikan sebanyak 2.200-an kapal perikanan berbagai ukuran. ”Itu baru mencapai setengah dari target output sebesar 4.787 kapal perikanan di akhir Tahun 2019,” tandas Hamid.

suarabaru.id/Bambang Pur