blank
Penampilan tari Anoman Obong, menjadi atraksi wisata di Candi Joglo, Desa Wisata Krangganharjo. Penarinya adalah warga sekitar, sebagai pemberdayaan masyarakat. Foto: Hana Eswe

GROBOGAN – Mungkin di antara pembaca pernah membaca iklan, tentang adanya tur naik kereta api dari Semarang ke Purwodadi. Sesampai Stasiun Ngrombo, wisatawan turun kemudian berkeliling daerah wisata di Kabupaten Grobogan. Salah satu tujuan tur adalah Candi Joglo, yang berada di Desa Krangganharjo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, tidak terlalu jauh dari Stasiun Ngrombo maupun dari pusat kota Purwodadi.

Candi Joglo memang bukan candi seperti Borobudur, Prambanan, atau Dieng. Itu adalah nama bangunan yang berarsitektur Bali, kemudian ada berbagai atraksi kesenian dan kebudayaan di dalamnya. Bangunan ini digagas oleh Muhadi, tokoh muda desa setempat.

blank
Muhadi penggagas Candi Joglo didukung penuh oleh istrinya, untuk mengembangkan objek tersebut, dan kini juga menjadi pengelola Desa Wisata Krangganharjo. Foto: Hana Eswe .

Dan, ternyata perkembangan menjadi sangat luar biasa. Grobogan kini menjadi tujuan wisata penting. Muhadi pun mengajak warga sekitar untuk terlibat di dalam kegiatan yang mendatangkan banyak tamu ini. Dan, selanjutnya desa pun digandeng, untuk menjadi pemangku kepentingan, hingga kemudian digagas untuk membentuk desa wisata.

Dan, benarlah, Desa Krangganharjo, resmi menyandang titel Desa Wisata, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Grobogan Nomor 556.4/559/2019 pada bulan Agustus 2019 lalu. Penetapan ini membawa angin segar bagi penduduk yang tinggal di sekitar objek wisata Candi Joglo, yang lokasinya sangat dekat dengan jalur jalan raya Solo-Purwodadi.

Terlihat dari gapura pintu masuk perkampungan yang menjadi akses masuknya Candi Joglo sudah didapati banyaknya meja-meja untuk berjualan aneka camilan khas Grobogan serta makanan khas lainnya. Bahkan, hasil pertanian seperti sayur dan buah juga dijual warga.

blank
Lokasi lapak PKL tempat warga Krangganharjo berjualan diletakkan di sebelah selatan Candi Joglo atau tepatnya di depan objek wisata. Foto: Hana Eswe

Mereka berjualan masih dengan tempat dan peralatan yang sederhana. Yakni meja dan kursi yang bisa dibongkar pasang. Meski demikian, tidak menghalangi mereka untuk berjualan di sekitar lokasi objek wisata.

Tak hanya itu, kios semi permanen yang sudah disediakan di sisi selatan Candi Joglo juga dipenuhi warga yang berjualan aneka makanan dan minuman ringan, serta makanan khas seperti nasi pecel gambringan.

Tidak hanya berdagang, beberapa warga juga mengabdikan diri menjadi bagian dari Candi Joglo dengan menjadi juru parkir, fotografer, pelayan wisata seperti di loket masuk, tempat fish therapy atau terapi ikan, dan kompleks Candi Rasa yang merupakan pengembangan wisata Candi Joglo di atas lahan persawahan milik Desa Krangganharjo seluas 1 hektar.

“Kalau dibilang mrema juga tidak apa-apa, tapi kami senang menjadi bagian dari objek wisata Candi Joglo. Ikut memperkenalkan kepada masyarakat dengan adanya Candi Joglo ini di Desa Krangganharjo termasuk dari suvenir, makanan khas atau oleh-oleh dari Grobogan,” jelas Wati, seorang warga yang berjualan aneka makanan khas Grobogan.

blank
Para tamu disambut dengan minuman selamat datang (welcome drink) berupa jamu buatan warga. Di sini pula pengunjung bisa menyewa pakaian adat Bali untuk berfoto. Foto: Hana Eswe

Pemilik sekaligus pengelola Candi Joglo, Muhadi, mengucapkan terima kasih atas partisipasi masyarakat Grobogan serta Bupati Grobogan Sri Sumarni yang sudah meresmikan Desa Krangganharjo sebagai desa wisata ini. Pihaknya ikut senang sebab potensi Desa Krangganharjo ini sebagai desa wisata ke depannya sangat luar biasa.

Berbasis Kerakyatan

“Keterlibatan masyarakat Desa Krangganharjo dalam pengelolaan desa wisata ini memang bekerja sama dengan Candi Joglo. Pengelolaan desa ini akan dilakukan dengan berbasis ekonomi kerakyatan, mulai dari pembuatan suvenir, pemberdayaan PKL untuk memfasilitasi wisatawan, serta pengelolaan parkir dan keamanan lokasi objek wisata Candi Joglo,” jelas Muhadi.

Dikatakan Muhadi, saat ini di Candi Joglo sendiri sudah menyerap 54 warga yang mayoritas berasal dari Desa Krangganharjo untuk ikut bekerja sebagai penerima tamu dengan mendandani para wisatawan dengan kain poleng (motif hitam putih) khas Candi Joglo, pemandu atau guide dengan bahasa asing maupun bahasa nasional, fotografer termasuk penari untuk sendratari.

“Selain itu, kami juga memanggil penari-penari dari Bali untuk mengajari masyarakat sekitar Candi Joglo agar dapat memberikan pertunjukan yang atraktif di depan masyarakat,” ujarnya.

Akulturasi Bali-Jawa

Muhadi menjelaskan, pihaknya mulai membangun Candi Joglo sejak 2007 dan terus berkembang hingga mulai dikenal masyarakat sejak 2016. Hingga saat ini, jumlah wisatawan terus mengalir, baik secara personal maupun rombongan. Pada weekend maupun hari libur nasional, jumlah pengunjung berdatangan. Tidak hanya dari wilayah Kabupaten Grobogan saja, tetapi daerah lain seperti Semarang, Solo, Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya.

blank
Tari Pendet ditampilkan seorang wanita yang juga warga setempat. Keterlibatan warga juga dilakukan dengan pertunjukan atraktif di depan wisatawan. Ini menunjukkan adanya akulturasi budaya Jawa-Bali di sini. Foto: Hana Eswe

“Bahkan, ada biro perjalanan wisata yang sudah menyediakan satu paket wisata dengan menggunakan kereta api dari Semarang ke Grobogan dan singgah di Candi Joglo. Kami menyediakan fasilitas kepada pengunjung yakni lengkap dengan kain khas Candi Joglo dan aksesorisnya, jamu sebagai minuman selamat datang, kemudian foto gratis,” jelas Muhadi.

Dikatakan Muhadi, Candi Joglo sendiri dibangun dengan konsep Bali dan Jawa. Akulturasi dua budaya nasional ini menjadi ide dari pria yang memang asal Krangganharjo tersebut. Namun, dua budaya ini bukan hanya sekadar slogan saja, melainkan keterikatan budaya yang tidak lepas dari zaman dahulu kala bahwa Grobogan sebagai peradaban Kerajaan Medang Kamulan yang bercorak Hindu-Jawa.

“Pengembangan-pengembangan yang di-support oleh Candi Joglo sudah pada tahap mengembangkan objek wisata seluas 1 hektar dengan harapan memberikan fasilitas dan tingkat kenyamanan untuk para wisatawan baik dari Jawa Tengah maupun daerah lain. Kami juga berharap dari wisatawan agar memberikan saran dan kritik agar kami meningkatkan kreativitas, termasuk pada pemberdayaan seni dan budaya agar bisa kita tampilkan di hadapan para wisatawan di mancanegara,” ujarnya.

Wisatawan Terhibur

Septiningsih, wisatawan asal Semarang mengatakan, dirinya terhibur dengan berbagai fasilitas yang disediakan di Candi Joglo. Baik pengelolaan serta pemberdayaan masyarakat yang dilibatkan untuk kemajuan objek wisata tersebut.

blank
Wisatawan bisa menyewa pakaian dan aksesoris ala Bali, kemudian berfoto di kawasan Candi Joglo. Foto: Hana Eswe

“Senang bisa terhibur dengan adanya wisata Candi Joglo. Semua replika benda-benda pusaka peninggalan zaman dulu ditampilkan di objek wisata ini. Kemudian, tempat kuliner yang disediakan dan disajikan warga juga lengkap, harga juga masih standar bahkan menurut saya masih lebih murah. Untuk spot foto juga unik dan menarik seperti di Taman Suralaya, fish therapy dan spot lainnya yang disediakan Candi Joglo ini,” komentar Septi, sapaan akrabnya.

Keberadaan desa wisata, setidaknya di Krangganharjo, Kecamatan Toroh Grobogan ini. Ibarat sebuah sarang laba-laba, dan Candi Joglo adalah pusat tempat lama-laba itu berada. Ketika laba-laba bergerak, maka semua sudut dan sisi sarang itu pun bergerak. Inilah yang terjadi. Candi Joglo benar-benar menggerakkan sarang laba-laba itu. Sehingga, pihak desa pun kemudian juga bergerak. Lahan sawah bandha desa (milik desa) pun kemudian dikembangkan menjadi atraksi wisata. Di tempat itu dibangun tempat-tempat selfi, menyesuaikan kondisi masyarakat sekarang yang gemar berfoto di ruang atau view yang instagramable. Warga pun terlibat menjadi penari, pedagang, pembuat suvenir, dan sebagainya.

Benarlah adanya, bahwa pariwisata memang menjadi daya ungkit perekonomian, khususnya untuk desa wisata, sudah pasti mengungkit perekonomian di perdesaan. Kalau sekarang Desa Wisata Krangganharjo sudah mulai moncer, yang lebih penting adalah mempertahankan brand, agar tidak ditinggalkan oleh wisatawan. Pengelola harus kreatif memunculkan hal-hal baru, sehingga wisatawan tak bosan berkunjung, karena suguhan atraksinya yang selalu baru.

Desa Krangganharjo kini benar-benar bersinar, dan wajah-wajah warganya pun makin bercahaya.

suarabaru.id/Hana Eswe.