KUDUS – Toleransi sudah menjadi budaya yang mendarah daging di wilayah Kudus. Sejak dahulu masyarakat Kudus sudah terbiasa dengan akulturasi dan toleransi di segala lini kehidupan, termasuk pada makanan.
Hal itu disampaikan Notty J Mahdi, pakar antropologi Universitas Indonesia dan peneliti batik, “Bincang Budaya Merawat Budaya dan Merayakan Persatuan” yang diselenggarakan di Aula Klenteng TTID Hok Hien Bio, Sabtu (9/2).
Menurutnya, makanan dan pakaian adalah contoh nyata bagaimana toleransi itu bekerja di Indonesia. Semua berawal dari akulturasi yang terjadi sejak zaman dahulu. “Dari mulai seni, busana, hingga makanan, banyak yang merupakan campuran dari budaya peranakan dengan budaya Indonesia,” katanya.
Notty mencontohkan makanan soto. Makanan ini adalah makanan peranakan. Hanya saja dulu orang peranakan membuat soto dengan kuah yang hambar, tidak ada rasanya. “Namun orang Indonesia yang memang memiliki rempah-rempah yang banyak, kemudian mengolahnya menjadi sajian yang penuh cita rasa,” tuturnya.
Soto memang menjadi salah satu makanan khas Kudus. Karena jika teringat akan Kudus, maka yang diingat makanannya adalah soto. “Lantas ada juga namanya lentog. Coba perhatikan pada kemasan lontongnya. Lentog yang memakai lontong itu, juga tidak lepas dari budaya peranakan. Di mana dipercaya bahwa semakin panjang lontong, semakin panjang usia dan rejeki kita. Nah, sekarang lontong bahkan sudah menjadi makanan yang dikonsumsi sehari-hari masyarakat Indonesia, termasuk di Kudus,” tegasnya.
Lantas dalam hal berpakaian, akulturasi itu terlihat jelas pada kain batik. Termasuk di Kudus yang memang terkenal dengan keindahan batiknya, yang disukai oleh masyarakat dari luar Kudus.
“Orang-orang peranakan yang sudah jatuh cinta dengan batik Kudus, sering memesan batiknya di sini (Kudus, red). Karena menurut sejarahnya, warna biru yang dihasilkan pembatik Kudus itu lebih bagus dari warna biru yang dihasilkan pembatik dari daerah lain. Karena itu, dari dulu keduanya sudah saling bersatu untuk menghasilkan karya yang bagus,” paparnya.
Hal itu juga diakui Bupati Kudus HM Tamzil. Menurutnya, batik Kudus dari dulu memang menyimpan sejarah tersendiri. Pihaknya sejak awal menjabat lalu, sudah mengembangkan batik ini agar bias lebih maju dan semakin dikenal.
“Dulu melalui Dekranasda daerah, kita kumpulkan calon-caon pembatik yang mau belajar kembali mengenai batik Kudus. Kini batik Kudus sudah semakin terkenal dan semakin bias menjadi budaya Kudus yang akan terus berkembang,” tuturnya.
Tamzil menambahkan, persatuan dan kesatuan yang ada di Kabupaten Kudus khususnya, terbentuk dengan sedemikian rupa. Inilaah yang juga perlu dijaga sehingga akan menjadi aset tersendiri. “Kita harus menjaganya dengan baik. Saling menghormati satu sama lain, menjadi kunci dari upaya itu. Karena kudus juga menjadi salah satu mutiara Indonesia,” imbuhnya.
Selain Bupati Kudus HM Tamzil beserta jajaran Muspida Kudus lainnya, acara ini juga diikuti berbaagai elemen masyaakat. Termasuk tokoh agama, tokoh masyarakat, komunitas, serta anak-anak muda yang tergabung dalam berbagai kesenian seperti teater dan barongsai.
Sementara itu, Presiden Direktur PT Nojorono Stefanus JJ Batihalim yang jadi pembicara di acara tersebut, mengatakan jika Indonesia yang kaya ini, merupakan sebuah mutiara yang indah. “Karena itu harus terus dijaga. Karena sejak zaman dahulu, persatuan sudah menjadi nafas kita, maka mutiara ini kitalah yang menjaganya,” terangnya.
Akulturasi budaya yang terjadi, menurut Stefanus, justru membuat Indonesia menjadi negeri yang indah. Contohnya adalah bagaimana budaya masyarakat Kudus yang menghormati budaya orang lain.
“Yang Mulia Sunan Kudus mengajarkan kepada masyarakat untuk tidak menyembelih sapi, karena sapi adalah mahluk suci bagi agama lain. Ini contoh nyata bagaimana toleransi terjadi. Budaya yang ada, juga banyak yang merupakan budaya peranakan. Tetapi semua menyatu dan saling menghormati,” katanya. Suarabaru.id/tm