blank
Th. Dewi Setyorini

Oleh : Th.Dewi Setyorini (Psikolog)

HIDUP adalah sebuah perguliran yang setiap orang akan menjalaninya. Entah suka entah tak suka, entah susah entah senang. Terkadang dijalani dengan semangat dan pasrah, kadang dengan keterpaksaaan, tak jarang dengan mengeluh dan komplain sepanjang waktu.

Kesemua itu menjadi sebuah pekerjaan rumah yang setiap orang memiliki alurnya sendiri. Boleh dikata hidup dengan berbagai dinamikanya adalah sebuah keniscayaan yang perlu dijalani oleh siapapun tanpa memandang usia.

Baca Juga: Terjebak Gadget Akibat Pandemi

Dalam banyak kesempatan, saya sering mendengar atau membaca postingan  atau sambil lalu membaca status seseorang tentang bagaimana perasaannya. Ada yang susah, ada yang senang, ada pula yang mengumpat, intinya menuliskan campur aduk perasaannya yang ingin dibagi kepada banyak orang.

Tak perlu memberikan penilaian apakah itu benar salah, baik atau buruk, setiap orang memiliki medianya sendiri bagaimana mengekspresikan kekacauan atau keriangan hatinya. Itulah dinamika manusia sesungguhnya.

Perguliran hidup tak selalu menyenangkan pun tak selalu menyedihkan. Ada saat susah ada saat senang. Ada saat mendung ada saat hujan rintik-rintik. Ada saat badai namun tak jarang pelangi menghias setelah hujan seharian.

Itulah hidup. Tak selamanya mendung berarti akan turun hujan. Tak selamanya langit akan cerah. Pun tak selalu kita dapat mengharap kehidupan akan berjalan sebagaimana yang kita mau. Bahkan lebih sering kita menjalani hidup yang tak sepenuhnya kita mau.

Lantas, apakah kita harus berlari dan menghindar, atau lebih baik menggulirinya dengan berbagai campur aduk perasaan yang ada?

Banyak Pilihan

Bahkan, dalam hidup yang menawarkan banyak pilihan, kita dihadapkan pada keterbatasan pilihan selain semata menjalani. Kadang pilihan yang ditawarkan sama tak enaknya dan kita harus menelannya bulat-bulat.

Ibarat pil pahit yang harus kita minum demi sebuah harapan yang bahkan kita tak tahu harapan seperti apa. Mungkin saat memutuskan pilihan itu, kita mengetatkan geraham, menahan sesak di dada, sambil merasakan tetesan air mata yang tak berhenti mengalir.

Dalam banyak kesempatan, kadang kita dipaksa memilih justru saat kita sendiri tak ingin memilihnya. Semua itu adalah sebuah keniscayaan hidup yang memang kita jalani.

Tak semua persoalan dapat dan boleh kita bagi kepada orang lain dengan berbagai alasan. Dalam banyak hal antara lelaki dan wanita berbeda dalam merespon persoalan.

Tak semata karena masalah pendidikan atau kebiasaan. Namun lebih pada hakikat bahwa lelaki dan wanita ditakdirkan dengan pola yang berbeda dalam memandang persoalan.

Wanita akan lebih nyaman saat ia dapat berbagi perasaan kepada orang lain, yang dalam hal ini bisa teman, anak, pasangan hidup, atau orang yang dipercaya.

Kebutuhan Sharing

Kebutuhan untuk sharing inilah yang membuat wanita membutuhkan kehadiran orang lain untuk mendukungnya, memahami perasaan, dan sekaligus menerima serta memberikan pengukuhan atas apa yang dirasakan dan dialami.

Berbeda dengan lelaki yang melihat persoalan dari sudut pandang logika, rasio, dan objektivitas. Saat mereka dihadapkan pada persoalan, maka akan diupayakannya sekuat mungkin untuk mencari solusi dengan caranya sendiri.

Berbagi masalah kepada orang lain hanya akan menunjukkan sisi lemahnya sebagai manusia dan ini pantang baginya karena mengingkari rasionalitas yang dimiliki.

Apapun itu, perguliran manusia akan dihadapkan pada banyak cerita dengan berbagai episode hidupnya. Jika menghitung, berapa sakit hati yang dirasa, air mata yang tertumpah, kesedihan yang dirasakan, patah semangat, putus asa, bahkan keinginan untuk mengakhiri hidup jauh lebih cepat dari jatah waktu yang diberikan?

Bahkan semakin lama semakin dirasa hidup tak lebih mudah dari hari kemarin. Tantangan dan kompetisinya makin berat dan bertambah berat dari hari ke hari. Terlebih pandemi Covid-19 boleh dikata membawa manusia dalam titik nadir hidup yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Sering kali kita merasa hidup ini hanya persoalan demi persoalan. Dari sejak pagi bangun tidur hingga akan tidur kembali. Tak ada yang tak menimbulkan persoalan. Semua itu memang tergantung pada bagaimana kita melihat, bagaimana mindset kita, dan bagaimana kita menyikapinya.

Persoalan akan selalu dipandang persoalan bagi sebagian orang, dan bagi yang lain, persoalan adalah sebuah tantangan hidup yang harus direspon dengan antusiasme dan semangat. Tentu, kita tak bisa mengharap semua orang akan memiliki pandangan yang sama.

Point Pentingnya Adalah:

  1. Apapun bentuk kehidupan yang kita jalani, apapun dinamika hidup yang kita rasakan, jangan pernah lupa, bahwa kita pun berhak bahagia. Sekecil apapun bahagia itu kita layak mendapatkannya. Ini yang sering orang lupakan. Kadang kita berusaha untuk selalu menyenangkan orang lain, membahagiakan orang lain, namun kita lupa, bahwa kita sendiri butuh bahagia.
  2. Jika kebahagiaan kita melihat orang yang kita sayangi bahagia, kita pun perlu jujur, betulkah itu? Atau ini hanya semacam rasionalisasi atau alasan yang tak sepenuhnya kita amini dengan segala keikhlasan batin yang ada.
  3. Bahagia itu sederhana, tak perlu banyak syarat, tak perlu banyak alasan. Untuk bahagia kita tak perlu harus memiliki kekayaan, kecantikan, kegantengan, kepintaran, atau segala materi yang dapat dilihat. Namun bahagia itu sederhana.
  4. Hanya kita sendiri yang mampu menciptakan kebahagiaan, bukan orang lain. Enyahkan segala pikiran dalam diri kita bahwa kebahagiaan kita ditentukan oleh orang lain. Alangkah sulitnya jika hal itu benar adanya. Jika orang yang kita harapkan memberi kebahagiaan ternyata tak sebagaimana yang kita mau, maka hilanglah kesempatan untuk menjadi bahagia. Kebahagiaan hanya kita sendiri yang mampu ciptakan. Maka ciptakanlah kebahagiaan itu.
  5. Bagaimana kita menciptakan kebahagiaan itu? Bersyukur dan berterima kasih. Kata yang sederhana namun sarat makna. Mungkin selama ini kita melihat bahwa ada banyak orang yang jauh lebih segalanya dibanding kita, sedangkan kita tak berarti apapun. Kita lupa, bahwa di atas langit ada langit. Kita lupa bahwa tak ada manusia sempurna. Setiap orang selalu dihadapkan pada dua sisi, lebih dan kurang. Di antara segudang kelemahan, akan selalu ada kelebihan. Setiap ciptaan diberi dua anugerah sekaligus, kelebihan dan kekurangan, dan itulah yang membuat hidup menjadi lebih seimbang. Ada saat kita perlu kembali pada diri, sejenak merengkuh diri dalam hakiki ciptaan yang sempurna. Dalam kelemahan ada kekuatan, dan dalam kekuatan ada kelemahan. Itulah hakekat dalam setiap penciptaan.
  6. Jangan pernah lupa, bahwa bahagia itu adalah sebuah energi yang akan meremajakan usia, menggairahkan hidup, dan menjadi tambahan daya untuk menjalani kompleksitas hidup yang akan kita tempuh. Bayangkan jika kita sendiri tak mampu menghadirkan bahagia itu, maka hidup akan diretas menjadi lebih singkat, daya hidup akan meredup, energi dinamis kita akan musnah. Jadi, milikilah bahagia itu, rengkuh sehangatnya dan biarkan meski sesaat kita rasakan menembus jauh ke dalam relung hati dan biarkan ia merasuki tiap bagian tubuh kita, membiarkan energinya menyusup hingga seluruh nadi kita berdenyut, sambil kita rasakan bahwa hidup tak sepenuhnya pedih.
  7. Terakhir, Jangan Pernah Lupa Bahagia, karena bahagia itu sederhana dan hanya kita yang rasakan. Jadi, Jangan Lupa Bahagia.

(Th. Dewi Setyorini, Psikolog Founder of Rumah Pemberdayaan, House of Healing)