blank
Seniman Rumah Seni Lalonget Madura, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, saat manggung di Museum Lima Gunung, (Suarabaru.id/Dok MLM)

 

MAGELANG- Seniman Rumah Seni Lalonget Madura, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, manggung di Museum Lima Gunung, Magelang, beberapa hari lalu.  Mereka tampil mengusung karya teater berjudul ‘Retorika Kerinduan’.

Pementasan disutradara A Hamzah Fansuri Basar dan para pemain terdiri atas Jufriyanto, Raudhatul Hasana, Agus Wedy, Khalilur Rahman, Dicki Pranata, Ianatus Shaleha dan Horri Kiswantoro itu berlangsung sekitar satu jam dilanjutkan diskusi dengan para penonton, terutama kalangan pegiat panggung pertunjukan di Kabupaten dan Kota Magelang.

‘’Lakon ini tentang kegelisahan terhadap kampung halaman, ada kehangatan yang dulu kita dapatkan, tetapi sekarang tidak ada lagi,’’ kata Hamzah usai pertunjukan di pusat gerakan kebudayaan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang itu.

Rumah Seni Lalonget Madura menjadikan Magelang sebagai salah satu di antara tiga kota pementasan kelilingnya, dengan mengusung lakon  yang disiapkan sejak dua bulan lalu. Sebanyak dua kota lain di mana mereka pentas, Kota Solo pada Senin (8/7) malam dan Jepara pada Jumat (12/7) malam.

Lakon yang pentaskan menarik dan komunikatif, diselipi dialek dan tembang khas Madura serta tabuhan bunyi-bunyian dan properti lainnya. Ceritanya tentang kerinduan terhadap tradisi ‘Tera Bulan’ dalam masyarakat Madura ketika terjadi bulan purnama.

‘’Ketika bulan purnama terjadi interaksi sosial dan nilai humanisme yang begitu kental, dibumbui dengan nyanyian anak-anak, permainan tradisional, ritual memohon hujan ‘ojhung’, dongeng, tarian dan sebagainya,’’ ujar alumnus Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 2012 itu.

Dia menerangkan, banyak hal yang menyebabkan orang-orang Madura pergi menginggalkan  kampung halamannya dan melupakan tradisi ‘Tera Bulan’, salah satunya motif ekonomi.

Tradisi itu, lanjut dia, sekarang cenderung ditinggalkan karena tuntutan kerja dan perkembangan zaman yang menghadirkan lingkungan baru mereka, serta masifnya penggunaan gawai.

Dia menyebut praktik kehidupan sosial masyarakat Madura telah berubah dari humanis ke mekanis. ‘’Pada kondisi inilah kerinduan diaktifkan sebagai jembatan untuk menghubungkan keadaan masa lalu dan kini. Jembatan itu bernama pertunjukan,’’ terangnya.

Hamzah mengutarakan, sebagai kelompok masyarakat, Suku Madura memiliki identitas budaya yang mereka praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Antara lain terkait dengan bahasa, ritual, permainan tradisional, nyanyian, tarian, sastra, filsafat, dan sistem ekonomi.

Seniman teater Magelang Tri Setyo “Gepeng” Nugroho menyebut sukses Rumah Seni Lalonget Madura ‘menaklukkan’ panggung Museum Lima Gunung antara lain karena, secara komunikatif menghadirkan pesan-pesan dalam lakon tersebut.

‘’Tidak mudah menaklukkan ruang (Monumen Lima Gunung dan Studio Mendut Kabupaten Magelang, red.) ini, tetapi grup ini bisa. Secara keseluruhan kami paham maksud, visual per adegan-adegan, bahasa tubuh komunikatif, ungkapan ide gagasan yang dinamis,’’ tuturnya.

Pada pidatonya tentang politik kebudayaan sebagai bagian penting membangun eksistensial kesenian, budayawan dan pimpinan tertinggi Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, memberikan sejumlah buku tentang Komunitas Lima Gunung kepada Rumah Seni Lalonget Madura. (Suarabaru.id/Doddy Ardjono)