blank
Maman (wajah disamarkan). Foto: Catur Pramudito

MAMAN, seorang pengidap gangguan jiwa yang telah sembuh, tentu sembuh artinya dapat kembali ke masyarakat. Berbaur dan berinteraksi pada ruang-ruang sosial. Tak ada yang berbeda antara Maman dengan yang lain, ia paham bagaimana berucap, menimpali obrolan dan bahkan berkelakar selayaknya orang-orang.

Barangkali sepanjang hidup, baru kali ini bertemu pengidap gangguan jiwa yang “waras” serta melebur dalam masyarakat. Ia tidak hilang atau dikucilkan, justru mengisi peran-peran kosong dalam lingkar sosial : Yang jenaka dan tak pandai menyimpan amarah.

Maman adalah seorang pengamen, saban hari menyisir pasar hingga deret ruko perkotaan Salatiga. Orang semacam Maman mungkin memang tak kenal berkendara, bertolak dari rumah ia berjalan kaki sampai kota, dan di sanalah dirinya lengkap menjadi masyarakat.

Sore itu aku bertemu Maman tak sengaja, ia hadir membawa riang dan gelak tawa tanpa kesan lain yang harus dimengerti. Ia polos saja seperti bocah yang terperangkap dalam keluguan dan masa bodoh. Maman tentu tak berkehendak semacam itu, dirinyalah yang dikehendaki.

Lantas dalam-dalam aku renungi, ia tak mungkin punya kesadaran menjadi Maman yang suka membadut atau mengatur sedemikian rupa bagaimana ia harus bertopeng di depan orang-orang. Dirinya mengalir begitu saja menjadi Maman. Tapi apakah benar ia sadar dirinya lain? Tentu sadar lebih dari sekadar mengetahui.

Menampar Kemunafikan

Menjadi masyarakat mungkin meneguhkan perannya sebagai bagian yang ditertawakan. Menyakitkan bagi orang biasa, namun barangkali tidak bagi Maman. Ia bukan badut pasar malam yang melepas kostumnya selepas kerja. Dimana tak ada lagi keriangan atau candaan konyol selain getir menampik kenyataan bahwa dirinya badut pekerja. Maman tidak.

Ia sepenuhnya dikehendaki, bukan Maman yang melepas topeng ketika pulang ke bilik kecilnya. Justru dialah yang menampar orang-orang tentang kemunafikan mereka sendiri. Ketika Maman yang lugu tampak bodoh dan lucu, ia sebenarnya mengingatkan bahwa yang pantas ditertawakan adalah kemunafikan diri sendiri.

Kemunafikanku dan kita semua yang waras tapi tak becus mengelola prasangka kepada sesama. Sibuk membangun batas sekeliling rumah untuk memberi jarak atas ketidakmampuan kita mengatasi prasangka, serta merta menutup perlahan kedua mata. Wajar memang, sebab jaman menuntut manusia untuk pandai menutup diri. Selain ruang gerak sosial yang kian sempit dan gerah, manusia hari ini berada pada pola-pola kerja yang brutal dan ironis, membikin rumah menjadi nafas terakhir menjadi manusia.

Tak Bisa Didikte

Maman adalah produk manusia lintas masa yang hadir sepanjang zaman. Terlepas diterima atau tidak, mereka memiliki satu kesamaan yang tak pernah berubah. Kita sebut itu sebagai kekurangan, kebodohan atau konotasi negatif lainya. Tapi kurasa Maman adalah nilai seutuhnya sebagai manusia, pribadi yang tak punya andil atau kepentingan atas konstruksi sosial. Ia berjalan di luar kesadaran perihal konstruksi itu, membangun dunianya sendiri melalui kacamata yang sama sekali berbeda. Mereka itulah autisme dan lainya. Manusia-manusia yang tak dapat didikte oleh masyarakat, berjalan di seberang batas-batas dan mendefinisikan dunia lewat cara-cara yang paling sunyi.

Tentu sangat naif mengkerdilkan persoalan yang kompleks dengan Maman sebagai pribadi. Tapi aku hanya ingin bilang, bahwa Maman adalah manusia yang berhenti. Ia produk masa lampau ketika kita sedang merangkak keluar dari gua-gua dan mendapati bahwa hidup adalah ketidakpastian yang menyenangkan.

Sementara kepastian hari ini justru membawa manusia pada arah hidup yang tak menentu. Menghabiskan waktu dengan melipat-lipat wajah kita agar membentuk rupa-rupa modern, yang tak lain justru merobek memori-memori kita sendiri tentang menjadi manusia. Sementara Maman adalah bentuk semula lembaran utuh yang tak pernah usang.

Tapi kita luput menyadari itu, Maman selalu segar dalam ingatan kita sebagai bagian dari “Yang lain”, tanpa pernah berpikir bahwa sebenarnya kita sendirilah sekumpulan orang aneh dan bodoh. Misalnya rasa keterasingan komunal terhadap realitas, menunjukan muara dari kebodohan atas konstruksi kemajuan yang tak disadari.

Tak lain tak bukan, kitalah manusia sebagian. Yang telah robek, tak lengkap serta lekat terhadap rasa kehilangan. Maka bukan lagi Maman yang harus kita manusiakan. Tapi kita yang seharusnya belajar menjadi Maman: Memamankan Manusia.

Catur Pramudito Damarjati