WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Komisi II DPRD Kabupaten Wonogiri Pimpinan Supriyanto, menginginkan ada upaya untuk memaksimalkan pengembangan pantai selatan Wonogiri, menjadi destinasi wisata bahari. Berkaitan ini, Rabu (15/1/25), Komisi II bersama dinas terkait, melakukan kunjungan kerja ke Pantai Sembukan, Paranggupito, Wonogiri.
Wacana untuk memaksimalkan pengembangan pantai selatan Wonogiri sebagai destinasi wisata bahari, disambut baik oleh Kanjeng Raden Arya (KRA) Drs Pranoto Adiningrat MM. Budayawan Jawa peraih anugerah Bintang Budaya yang juga Abdi Dalem Keraton Surakarta ini, menyatakan, wacana itu perlu didukung oleh semua pihak.
Pranoto yang pernah menjabat Kepala Bappeda dan Kepala Dinas Pariwisata Pemuda Olahraga (Disparpora) Kabupaten Wonogiri, menyatakan, Pantai Sembukan Paranggupito memiliki nilai lebih,, yang tidak dipunyai oleh pantai lain.
Di sepanjang pantai selatan Pulau Bali dan Pulau Jawa (Jatim, Jateng dan Jabar) dikenal memiliki potensi wisata bahari yang elok pemandangan alamnya. Tapi tidak semua pantai selatan tersebut, memiliki nilai lebih dari aspek spiritual.
Pantai Sembukan Paranggupito, di Kecamatan Paranggupito, Kabupaten Wonogiri, Jateng, dipercaya sebagai salah satu Gerbang Keraton Kanjeng Ratu Kidul. Setiap Bulan Sura, masyarakat adat di Paranggupito, Wonogiri, Jateng menggelar Labuhan Laut Selatan. Ini erat kaitannya dengan kepercayaan tentang keberadaan Gerbang Ratu Kidul.
Di sepanjang pesisir selatan Pulau Bali dan Jawa, disebutkan setidak-tidaknya ada 17 lokasi yang dipercayai sebagai Gerbang Keraton Ratu Kidul. Ke-17 Gerbang Ratu Kidul tersebut, diiantaranya terdiri atas Pantai Nusa Penida Bali, Pantai Parang Kursi di Ringinagung, Pesanggrahan, Banyuwangi (Jatim), Gunung Kembang (Lumajang), Pantai Gondo Mayit (Blitar), Kali Dawir (Tulung Agung) dan Pantai Sine. Berikut Pantai Watu Karung (Pacitan). Kemudian Pantai Sembukan Paranggupito (Wonogiri, Jateng), Pantai Ngobaran (Gunungkidul), Parangkusumo (Yogyakarta), Pelabuhan Ratu Sukabumi (Jabar).
Kamar Khusus
Pemilik hotel di pantai selatan Jawa dan Bali, menyediakan ruang khusus bagi Sang Ratu. Yakni Kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach yang dirawat dan diberi hiasan serba warna hijau, yang setiap hari dilengkapi suguhan (sesaji) sebagai persembahan untuk Ratu Kidul.
Hal sama juga dilakukan di Kamar Nomor 303 Hotel Inna Samudera Beach di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jabar, yang di dalamnya dipajang lukisan Kanjeng Ratu Kidul karya Seniman Kesohor Basuki Abdullah. Untuk Yogyakarta, di Kamar Nomor 33 Hotel Queen of The South di dekat Pantai Parangtritis.
Di Pantai Sembukan Paranggupito, terletak 70 Kilometer arah selatan Ibukota Kabupaten Wonogiri, atau sekitar 100 Kilometer dari Keraton Surakarta Hadiningrat, dibangunkan rumah Paseban (pendapa) lengkap dengan kamar khusus.
Labuhan Suran di Pantai Sembukan Paranggupito, diawali prosesi kirab pembawa sesaji kepala kerbau atau kepala sapi, termasuk usungan gunungan ulu pemetu (aneka ragam hasil bercocok tanam), untuk dilabuh ke laut. Juga menyertakan Songsong Agung (payung kebesaran), barisan Putri Domas dan pangombyong (peserta kirab) berbusana Kejawen. Malam harinya digelar wayang kulit semalam suntuk di rumah Paseban.
Pranoto, pernah beberapa kali memimpin Labuhan Sedekah Laut di Pantai Paranggupito. Ratu Kidul, saat akan bertandang ke Keraton Surakarta Hadiningrat, ditandai kemunculan angin besar dari Laut Selatan menuju ke utara, melewati wilayah Kabupaten Wonogiri dan Sukoharjo.
Sosok Agung
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan sosok agung yang dimuliakan dan dihormati. Itu sebagaimana dituliskan di sejumlah kepustakaan, seperti Serat Darmo Gandul, Babad Kadhiri, Babad Tanah Jawi, Babad Diponegoro dan Serat Centhini.
Kanjeng Ratu Kidul (bukan Nyi Roro Kidul) awalnya adalah Putri Kencanasari dari Kerajaan Pajajaran, yang diusir dari keraton karena menjadi korban fitnah ibu tirinya. Selanjutnya, dia bertapa meminta keadilan penguasa alam semesta, dan dikabulkan menjadi Ratu Abadi Penguasa Laut Selatan.
Sejak Danang Sutawijaya (Panembahan Senapati), Kanjeng Ratu Kidul menjadi istri spiritual Raja-raja Mataram Islam Tanah Jawa, baik Raja di Kasunanan Surakarta Paku Buwana (PB) maupun Raja-raja di Kasultanan Yogyakarta Hamengku Buwono (HB).
Dari kepercayaan tersebut, diciptakan Tari Bedhaya Ketawang (pada masa PB I), yang digelar setiap upacara besar Tingalan Jumenengan (peringatan naik tahta) Raja Surakarta. Tarian sakral tersebut, diyakini sebagai persembahan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Saat itu, Raja Surakarta duduk di samping kursi kosong yang disediakan untuk Kanjeng Ratu Kidul.
Saat Sultan HB IX wafat pada Tanggal 3 Oktober 1988, Majalah Tempo menulis bahwa para abdi dalem keraton melihat penampakan Kanjeng Ratu Kidul, untuk menyampaikan penghormatan terakhirnya kepada Sri Sultan sebelum dimakamkan di Imogiri, Bantul, Yogyakarta (Makam Raja-Raja Yogyakarta dan Raja-raja Surakarta).(Bambang Pur)