Oleh: Dr. Muh. Khamdan
JEPARA (SUARABARU.ID)- Tentu terasa aneh jika tiba-tiba penulis menyatakan bahwa Jepara sebagai kota HAM yang seolah-olah ingin menegasikan sebutan lain, seperti Kota Ukir. Namun mempelajari sejarah masa lalu tentang keadilan hukum dan pemenuhan HAM yang pernah ditegakkan penguasa Ratu Shima, sebutan tersebut akan memiliki pembenaran dan layak untuk diangkat kembali dalam reaktualisasi lokalitas Jepara.
Terlebih saat ini masyarakat telah dikagetkan dengan runtuhnya moralitas masyarakat sebagai dampak industrialisasi pabrik di sejumlah kawasan di Jepara.
Ratu Shima adalah penguasa Kerajaan Kalingga sekitar tahun 630-an Masehi, yang diyakini berada di kawasan Keling Jepara. Ratu Shima pernah menguji kesejahteraan ekonomi sekaligus kepatuhan rakyatnya terhadap hukum dengan sengaja menghamparkan perhiasan emas di alun-alun.
Berhari-hari emas tersebut tidak berubah tempat karena masyarakat memang sangat menjunjung hak kepemilikan individu serta kebebasan berusaha sehingga hidup. Akan tetapi, setelah melewati hari ke-40, perhiasan emas hilang sehingga Ratu Shima dituntut untuk mampu menegakkan keadilan dan menjaga kepastian hak kepemilikan warganya.
Tak disangka, keadilan harus tegakkan kepada Putra Mahkota dengan hukum potong tangan karena ada kesaksian seorang perawat kuda dan pengakuan bersalah dari Putra Mahkota sendiri. Keadilan hukum di negeri Kalingga yang berada di Jepara itu terdokumentasi sampai ke negeri Tiongkok dengan nama Ho-Ling.
Memahami kisah di atas, hukum dan HAM dapat berlaku efektif tentu dipengaruhi adanya hubungan harmonis antara aparat hukum bersama rakyat.
Hubungan harmonis ini diharapkan mampu menjadikan adanya pemahaman yang sama mengenai substansi hukum dan mengapa hukum harus begini dan begitu. Ini pula yang mengharuskan adanya komunikasi agar bahasa hukum sekaligus nilai-nilai HAM lebih populer difahami masyarakat.
Masyarakat Indonesia yang mayoritas berada di desa, cenderung memahami hukum maupun penghormatan HAM dari rumusan apa yang tidak boleh dan apa yang harus dilakukan. Rumusan ini identik dengan falsafah “molimo” yang terdiri dari maling (mencuri), mateni (membunuh), mendem (mabuk minuman keras), madon (zina atau prostitusi), dan madat (memakai narkoba).
Rupanya persoalan yang lebih dalam dari sini adalah soal hak asasi warga negara dalam mendapatkan perlindungan dan penegakan HAM. Pembelaan hukum yang belum menjadi bagian dari proses penyadaran hukum pada dasarnya adalah upaya untuk pemenuhan implementasi HAM, baik pada bidang hak sosial politik, hak ekonomi sosial budaya, dan hak pembangunan dalam lingkungan hidup yang baik.
Karena itu, kejadian hukum atas penolakan sejumlah warga tentang penambangan pasir besi maupun sedimentasi laut di pesisir Jepara, sangat mudah disebut sebagai ancaman pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM dapat difahami sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang mengurangi, menghalangi, membatasi, dan memcabut HAM seseorang yang sudah dijamin peraturan perundang-undangan.
Pengertian ini jelas membutuhkan sebuah regulasi atau peraturan sebagai instrumen implementasi HAM. Manakala belum ada pengaturan termasuk proses kewajiban pemenuhan dan penegakannya, maka terlalu sulit seseorang atau komunitas menuntut pemenuhan atas hak-haknya.
Akses keadilan (access to justice) merupakan sesuatu yang penting, terhambatnya hak-hak keadilan masyarakat lebih banyak disebabkan oleh karena ketiadaan akses keadilan yang berpihak pada masyarakat kampung dan miskin. Berdasarkan amandemen kedua UUD 1945 di dalam pasal 28 I ayat 4 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Dengan situasi ini, perlu memegang kembali falsafah Romawi berupa Juris praecepta sunt haec: Honesta vivere, alterum nonlaedra, suum cuique tribuere (peraturan dasar hukum adalah hidup sopan, tidak merugikan orang lain, memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). Program penguatan kampung HAM dapat berpijak dari falsafah tersebut, yaitu mengedepankan kesadaran HAM bagi masing-masing warga masyarakat.
Pelaksanaan-pelaksanaan hak tidak boleh merugikan orang lain serta konflik yang ada dapat diselesaikan dengan nilai-nilai kekeluargaan. Tentunya reaktualisasi dari nilai-nilai keadilan dan HAM Ratu Shima dapat dielaborasikan dalam masa kekinian di Jepara.
Langkah demikian dapat dijalankan dengan memberikan perhatian pengembangan budaya masyarakat untuk lebih menghargai kekayaan khasanah intelektual masyarakat. Terlebih Jepara juga menjadi pusat kekayaan ukiran yang semestinya dihargai untuk dijaga dan dikembangkan sebelum mendapatkan prahara di era perdagangan global.
Sesungguhnya, kampung HAM menghendaki suatu konstruksi masyarakat yang taat terhadap hukum karena timbul pada kesadarannya sendiri (self motivating law awarenes), sekaligus kesadaran tentang hak-hak orang lain.
Dalam hal ini, kesadaran akan identitas kemanusiaan mesti dipertajam untuk diintegrasikan dengan masalah hukum, sebagaimana inklusivitas masyarakat. Jepara sebagai kota yang sejak dulu sudah menghargai kesetaraan gender, dapat dikembangkan dengan pemenuhan hak bagi kelompok disabilitas, penghormatan eksistensi minoritas, dan pemenuhan hak sipil politik serta ekonomi, sosial, budaya untuk semua.
Masyarakat sadar HAM dalam desa HAM di Jepara harus digerakkan kembali sebagai program yang berkesinambungan dengan koreksi moral di masyarakat. Dalam kontestasi pilkada 2024 yang dihelat November ini, reaktualisasi lokalitas dengan mengaca pada kisah keadilan dan pemajuan HAM era Ratu Shima setidaknya harus dilakukan.
Pada proses demikian, upaya menjadikan Jepara sebagai kota HAM dapat diawali dengan komitmen menjadikan Jepara sebagai law center untuk di kawasan Pantura. Mungkinkah?
(Penulis adalah Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta)