blank
Penerima program ‘Satu Rumah Satu Sarjana’ Rasid Ariyanti (22), dan Silvia Heni Kharisma Dewi (21) mengerjakan tugas akhir skripsi di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis 17 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Anak-anak petani, pedagang, buruh, dan pekerja serabutan di Desa Wringinputih, Kabupaten Magelang, kini bisa bermimpi. Balkondes Wringinputih binaan PT Pertamina mampu berikan akses beasiswa program ‘Satu Rumah Satu Sarjana’. Virus kebaikan ditularkan, supaya pemuda-pemudi desa miliki SDM yang unggul dan mampu menjadi penggerak di desa. Balkondes Wringinputih diharapkan bermetamorfosis, menjadi etalase ekonomi kerakyatan, pariwisata, budaya, dan lingkungan...”

KAPUK putih beterbangan di udara. Membebaskan diri dari kelopak tua buah pohon randu (Ceiba pentranda) yang menjulang di tepi jalan dan pematang. Pecah di ujung tangkai, menebarkan biji-biji di tanah, dan kapuk yang tersangkut di pucuk rerumputan. Kemarau akan pamit, dilengserkan musim hujan.

Dari kejauhan, Bukit Menoreh tampak menjulang dan memanjang dari Tenggara ke Barat Daya. Punggungnya membelakangi Matahari tenggelam. Pohon-pohon kelapa berjajar di sepanjang jalan Desa Wringinputih, Kabupaten Magelang. Tanaman pepaya dan singkong di kebun-kebun menghijau.

Selepas langit merah di Barat, Rasid Ariyanti (22), dan Silvia Heni Kharisma Dewi (21) bergegas menuju Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis 17 Oktober 2024.

Dari dusun sekitar, Rasid dan Silvia mulai rutin datang ke Balkondes Wringinputih Pertamina untuk mengerjakan tugas akhir. Berbekal laptop, dan buku-buku, keduanya bertekad rampungkan skripsi di musim hujan yang segera datang.

Rasid merupakan mahasiswi semester VII jurusan Ilmu Keperawatan, Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma). Adapun Silvia juga mahasiswi semester VII dari jurusan Administrasi Publik, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

“Ini tadi lagi ngerjain skripsi. (Sekarang) seringnya di Balkondes ini. Ini lagi kerjakan sempro (seminar proposal), ya semester ini semoga bisa lulus,” ujar Rasid.

Bila menyelesaikan studi pada semester ini, baik Rasid dan Silvia akan menjadi lulusan pertama dari program beasiswa ‘Satu Rumah Satu Sarjana” yang digagas oleh manajemen Balkondes Wringinputih sejak 2021

Rasid tak pernah bermimpi bakal berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di bangku perkuliahan. Sebelumnya, anak pertama dari dua bersaudara itu merupakan lulusan SMK jurusan Multimedia yang hendak melamar kerja di pabrik.

“Awal kuliah 2021. Tahu (program beasiswa) dari tetangga, kan niatnya gak kuliah. Lulus SMK pernah ikut seleksi bekerja di PT (perusahaan) tapi ada Covid 19, ya sudah di rumah saja. Lalu saya ditanya tetangga mau kuliah atau kerja? Kalau mau, bilangnya ada beasiswa dari Balkondes Wringinputih,” ujarnya.

Ayah Rasid bekerja sebagai pedagang sayur, dan ibunya seorang Ibu Rumah Tangga yang juga membantu ayahnya. Dengan penghasilan dari profesi itu, agaknya cukup sulit membiayai kuliah Rasid.

Akan tetapi sejak dapat beasiswa kuliah, dia didukung penuh oleh kedua orang tuanya. Bapak dan ibunya akan menanggung biaya lain-lain untuk menunjang perkuliahan Rasid.

Usai lulus nanti, Rasid ingin bekerja di rumah sakit sekaligus menambah ilmu pengetahuannya kemudian mengaplikasikannya di desa. Dia berharap, derajat kesehatan masyarakat di Desa Wringinputih khususnya bisa meningkat.

“Kerja sekaligus menambah pengalaman, ilmunya nanti bisa dipakai untuk masyarakat di lingkungan sekitar. Sekarang misalnya banyak anak anak cuci darah. Nah itu dari pola makan dan gaya hidup yang tidak ideal. Saya punya ilmu kesehatan nanti mau sosialisasi ke anak-anak dan masyarakat,” kata Rasid.

Pun dengan Silvia, bersyukur betul bisa berkesempatan mengenyam pendidikan sesuai keinginannya. Lulusan SMA N 1 Muntilan itu hampir putus kuliah saat Covid 19.

Dia lantas mendaftar seleksi beasiswa sejak semester III di Balkondes Wringinputih. Itu sangat membantunya, apalagi sang ayah seorang pekerja serabutan dengan pendapatan Rp70 ribu-Rp100 ribuan.

“Saya kan semester tiga dapat beasiswanya. Saya angkatan kuliah 2021, dan waktu semester III, Covid 19 melanda. Bapak saya kena PHK (pemutusan hubungan kerja) dan kekurangan biaya. Mulai krisis ekonomi yasudah cari dana terus akhirnya dapat informasi beasiswa ini,” kata dia.

Adapun biaya kuliah per semester yang harus dibayar Rp3.650.000. Balkondes Wringinputih membiayai penuh hingga lulus. Silvia punya harapan supaya ilmu pengetahuan di bangku kuliah bisa berguna untuk Balkondes Wringinputih dan masyarakat desa setempat.

“Semoga Balkondes lebih maju dan memberi manfaat untuk masyarakat desa. Setelah ini kami diwajibkan mengabdi untuk kegiatan di Balkondes. Kami diminta berkontribusi dalam konsep maupun pelaksanaan kegiatan-kegiatan di sini,” kata dia.

blank
Penerima program ‘Satu Rumah Satu Sarjana’ Rasid Ariyanti (22), dan Silvia Heni Kharisma Dewi (21) di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis 17 Oktober 2024, bertekad lulus pada semester VII ini. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Sumber Daya Manusia

Rizal Arif Windriatmoko, Direktur Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guyub Rukun yang mengelola Balkondes Wringinputih, mengatakan, Rasid dan Silvia merupakan dua dari 20 orang penerima beasiswa program ‘Satu Rumah Satu Sarjana’ sejak 2021.

Lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Ekonomi dan Manajemen 2016 itu sadar betul, bila Sumber Daya Manusia (SDM) akan menjadi aset berharga untuk memajukan desa ke depan. Sejak didapuk oleh Kepala Desa Wringinputih menjadi Direktur Bumdes Guyub Rukun, dia mulai banyak membuat terobosan penting.

“Pada 2021 kami membuat program ‘Satu Rumah Satu Sarjana’. Alasan utamanya karena kami merasa, yang pertama desa itu maju dan berkembangnya harus menjadi tanggung jawab masyarakat lokal. Bukan pendatang atau yang lain. Sehingga masyarakat yang diharapkan sadar, bahwa kemajuan atau kemunduran desa itu tanggung jawab masyarakat. Yang kedua ingin pemuda desa nantinya yang bisa menggerakkan masyarakat,” katanya.

Rizal menceritakan, keinginan memberikan beasiswa kepada pelajar lulusan SMA dengan harapan angka putus sekolah bisa berkurang dari tingkat tamatan SMP menuju SMA/SMK. Data statistik yang diperolehnya, banyak anak desa hanya lulusan tamatan SD dan SMP.

Alasan pertama angka itu, jumlah sekolah negeri tingkat SMA hanya satu yang dikeroyok lulusan SMP di 20 desa dari Kecamatan Borobudur. Hal itu menjadi tantangan. Apalagi dari segi ekonomi, masyarakat menengah bawah terbukti melimpah merujuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dari Dinas Sosial setempat.

“Sekitar 632 KK itu yang termasuk kategori perlu adanya bantuan. Itu sekira 39 persen dari populasi masyarakat di desa. Mereka masuk kategori itu, bagaimana mereka bisa membiayai sekolah anak saat masalah ekonomi saja mereka kalangan dari menengah ke bawah,” kata dia.

blank
Seorang pelajar melintas di depan Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat 18 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Penggerak dan Dampak

Desa Wringinputih, dirasa sangat butuh orang-orang penggerak. Seseorang itu harus punya wawasan kuat, cinta akan desanya sendiri, dan harus aktif berorganisasi. Dengan begitu, kata Rizal, mental dan karakter sudah mau berbagi kepada orang lain terbentuk.

“Kami merasa bahwasanya mental dan karakter tersebut, hanya bisa dirasakan oleh mereka yang merasakan atmosfer bangku perkuliahan. Akhirnya kami memberikan beasiswa dari pendapatan bumdes yang jadi program unggulan kami,” katanya.

Harapan terbesarnya, Rizal ingin setelah para pemuda itu lulus, bisa mengabdikan keilmuannya untuk program-program di desa selama 2-3 tahun ke depan. Dengan begitu mereka merasakan bila kemampuannya bisa digunakan untuk masyarakat setempat.

“Virus-virus kebaikan bisa tersebar ke pemuda-pemuda desa sekitar. Sehingga namanya kebaikan seperti sebuah rantai, tidak berhenti kepada 20 anak itu dan lanjut ke pemuda-pemudi lainnya,” ujar pria 30 tahun itu.

Rizal menguraikan, mayoritas pekerjaan warga desa yakni petani dan buruh, juga perantau. Untuk anak muda banyak yang menjadi buruh pabrik, seperti di kayu lapis, dan plastik di Kabupaten Magelang.

Adanya Balkondes Wringinputih cukup membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat desa. Dahulu terdapat empat orang karyawan, sekarang mencapai 15 dari beragam usia. Pendapatan perbulan Rp800 ribu pada awalnya.

“Sekarang ada yang sudah UMK Magelang yakni Rp2,2 juta tergantung tingkatan jenjang tanggung jawab masing-masing,” kata dia.

Bumdes Wringinputih juga sudah menggandeng para pelaku UMKM, dan ibu PKK, untuk menggeliatkan ekonomi pada setiap event yang dibuat. Pemuda dusun juga dilibatkan dalam hal pengaturan keamanan.

“Itu akan menjadi energi positif. Banyaknya model lapangan pekerjaan yang ditunjukkan maka bisa menginspirasi anak-anak desa. Mereka bisa menjadi pemandu wisata. Mereka yang di kota juga bisa pulang dan menggeluti dunia pariwisata,” katanya.

Program beasiswa ‘Satu Rumah Satu Sarjana’ diharapkan jadi mercusuar, bagaimana pemuda desa bisa memiliki penghasilan tanpa merantau ke kota. Bumdes berniat mendidik mereka menjadi wirausaha, sehingga bisa memberikan banyak lapangan pekerjaan untuk masyarakat. Mentalitas wirausaha yang harus dibangun.

blank
Seorang ibu melintas di depan Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat 18 Oktober 2024. Bangunan sudah direvitalisasi dengan arsitektur Jengki dan diresmikan PT Pertamina pada Juli 2023. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Sejarah 

Untuk diketahui, Balkondes Wringinputih sudah dirancang pemerintah pusat untuk mendukung Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Candi Borobudur, dan diresmikan pada 2017 oleh Presiden RI ke 7 Joko Widodo (Jokowi).

Saat itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno diminta pemerintah untuk membangun Balkondes di 20 desa di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, termasuk Wringinputih yang dibina PT Pertamina.

Harapan terbesarnya Balkondes akan jadi pemicu aktivitas pariwisata di setiap desa di Kecamatan Borobudur. Dengan begitu aktivitas ekonomi pariwisata tak hanya tersentral di wilayah terdekat Candi Borobudur.

Rizal mengisahkan, masyarakat terdampak pariwisata sangat sedikit sebelum adanya Balkondes yang dibangun BUMN di 20 desa di Kecamatan Borobudur yang. Hal itu disebabkan, kebanyakan masyarakat terdekat Candi Borobudur saja yang paling merasakan dampaknya. Tingkat kesadaran masyarakat akan potensi pariwisata di Kecamatan Borobudur masih minim.

“Sehingga dampaknya belum terlalu terasa. Terbukti sampai saat ini masih demikian. Misalnya wisatawan dari Yogyakarta ke Borobudur terus balik ke sana lagi. Kita warga lokal menyebutnya numpang kencing saja. Bahkan ada tagline kebanyakan masyarakat mengetahui Candi Borobudur itu milik Yogyakarta, itu menjadi sangat miris bagi kita warga Magelang,” kata Rizal.

Pada 2016 ada Undang-Undang Desa mengharuskan adanya bumdes untuk pengelolaan unit usaha Balkondes Wringinputih. Tujuan pertama meningkatkan kesadaran potensi pariwisata kepada masyarakat setempat.

Kemudian yang kedua, Balkondes Wringinputih bisa menjadi etalase bagi desa tersebut. Di mana saat wisatawan berkunjung, maka mereka bisa tahu ada potensi apa di desa tersebut. Mulai dari karakter masyarakatnya, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), nilai historis, dan lain sebagainya. Diharapkan desa-desa di Kecamatan Borobudur bisa jadi penyangga kegiatan pariwisata di KSPN Candi Borobudur.

blank
Panel surya sebagai energi ramah lingkungan dipasang menerangi beberapa titik di Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis 17 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Arsitektur dan Budaya

Rizal menguraikan, awal mula Balkondes Wringinputih dibangun dengan arsitektur bambu dan atap sirap, serta rumah-rumah joglo. Hal itu merujuk potensi alam Wringinputih yakni adanya Pasar Papringan. Atas dasar itulah dibangunkan Balkondes yang berbahan utama bambu mengangkat kearifan lokal.

Rizal merupakan sosok dalam kepengurusan yang ketiga. Saat itu dia diminta Kepala Desa dan Tokoh Masyarakat untuk menjadi Direktur Bumdes Guyub Rukun pada 2020. Berjalannya waktu, bumdes mengelola unit usaha tambahan selain Balkondes Wringinputih.

“Awalnya satu unit usaha Balkondes.Tahun 2020 kami adakan konsolidasi membahas potensi-potensi ekonomi yang bisa dikelola Bumdes Guyub Rukun. Akhirnya 2020 sudah ada tiga unit usaha kami, yakni Balkondes, Pasar Desa, dan Kebun Kelengkeng. Ini awal mula kami mengelola,” kata dia.

Selanjutnya, pengelola bumdes banyak menerima masukan lalu mulai merapikan data dan administrasi lalu dilaporkan ke Pertamina. Akhirnya, Pertamina menambah dukungan bangunan dan fasilitas lain yang dibutuhkan untuk mendukung usaha Balkondes.

“Pada 2021 kami diberi kepercayaan. Bukti nyata pada 2020-2021 tingkat pendapatan kami di Balkondes Wringinputih naik hampir lima kali lipat dari tahun sebelumnya. Padahal itu masa Covid 19. Angkanya masuk M (miliar),” kata dia.

Rizal mengatakan, Pertamina terus memberikan dukungan yang baik. Hasil dari berbagai macam progress yang telah diinovasikan Bumdes. Balkondes Wringinputih telah menjadi pusat pengembangan sosial budaya, berkolaborasi membuat sanggar tari Omah Guyub, yang diinisiasi oleh tiga anak di Desa Wringinputih.

“Akhirnya sekarang setiap tahun sudah membuka pelatihan kepada anak-anak mulai dari TK sampai perkuliahan. Sudah ada 150 anak, yang setiap pekannya selalu latihan di sini,” kata dia.

Selanjutnya, kata Rizal, ada pula sanggar gamelan, di mana ada sekitar 30 anak yang tergabung. Dengan begitu, Balkondes tidak hanya tempat pintu gerbangnya wisata, akan tapi rumah produktif masyarakat Desa Wringinputih.

“Akhirnya Pertamina bangun ulang atau renovasi. Berdasarkan data dari Sucofindo, karena bahan baku bambu proses perawatan mahal sehingga kami terbebani pengeluaran besar di sana. Pada Agustus 2022-Juli 2023 Pertamina melakukan revitalisasi bangunan dengan tema Jengki. Itu diresmikan pertengahan tahun 2023,” kata dia.

Arsitektur itu dibuat karena dikatakan sebagai khas bangunan orang Jawa. Dikatakan Rizal, dahulu ada sebuah kebosanan masyarakat Jawa akan bangunan berbentuk Joglo. Masyarakat dengan perkembangannya ingin lebih ada model keterbaruan yang bahan utamanya batu bata.

“Maka dibentuk arsitektur Jengki yang menyerupai bangunan zaman kolonial Belanda. Akan tetapi arsitekturnya berbeda. Biaya perawatannya lebih efisien, sehingga dana tersebut bisa dialihkan untuk hal yang lebih bermanfaat,” ujar Rizal yang juga pengusaha swasta itu.

Panel surya juga sudah terpasang di Balkondes Wringinputih. Energi yang disebut lebih ramah lingkungan itu mampu memberikan penerangan di beberapa titik. Mulai di resepsionis, dan fasilitas penerangan keseluruhan.

blank
Wisatawan memanen buah di Kebun Kelengkeng yang menjadi agrowisata, di Desa Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. (Dok; Bumdes Guyub Rukun)

Lima Bisnis Unggulan Bumdes

Hingga 2024, pendapatan Bumdes Guyub Rukun berkembang tak berhenti pada Balkondes Wringinputih saja. Setidaknya ada lima unit usaha yakni Balkondes, Kebun Kelengkeng, Pasar Desa, TPS 3R, dan yang kelima pelayanan unit terpadu bayar pajak kendaraan bermotor, dan Pajak Bumi Bangunan (PBB).

Bisnis selain Balkondes Wringinputih, yakni Kebun Kelengkeng untuk agrowisata. Pohon kelengkeng ditanam pada lahan seluas 1,5 hektar terletak di dua titik tanah desa dengan 314 pohon. Pohon kelengkeng itu varietasnya Kateki di mana diklaim memiliki keunikan.

“Buahnya lebih besar bijinya lebih kecil, dagingnya lebih besar, kadar airnya lebih rendah. Maka dari segi ketahanan jauh lebih kuat kalau misalnya didiamkan dalam ruangan bisa sepekan,” kata Rizal.

Untuk produktivitas, panen terakhir bisa dapat tiga ton. Saat ini pohon masih berbuah jadi masih belum terakumulasi total. Kebun Kelengkeng itu sudah memasuki masa panen yang ketiga dan keempat secara bertahap.

Pasar Desa dan Unit Pelayanan Terpadu

Rizal menerangkan bisnis yang ketiga yakni pasar desa yang dibuat di dua dusun, yakni Dusun Gayu dan Grongsongan dengan sistem sewa tempat. Setidaknya ada total 50 pedagang yang tersebar menjadi dua kategori.

“Yang terdiri dari pedagang los dan pedagang kios. Dagangnya setiap hari, namun pasar tradisional mulai pukul 06-00–10.00 WIB,” ucap Rizal.

Bisnis selanjutnya ada pelayanan unit terpadu bayar pajak kendaraan bermotor di Balkondes Wringinputih yang bekerja sama dengan Samsat. Kemudian ada loket pembayaran Pajak Bumi Bangunan (PBB), dan lainnya.

blank
Aktivitas di TPS 3R Merti Bumi, di Desa Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat 18 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

TPS 3R

Bisnis selanjutnya, yakni Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (3R). TPS 3R mulai dikelola Bumdes pada 2023, namun sudah ada pembangunan 2020 dari program pemerintah yang dikelola KSM (kelompok swadaya masyarakat).

Saat ini sudah ada 680-an pelanggan yang sampahnya dijemput di mana tersebar di Desa Wringinputih dan sekitar. Sampah berasal dari sembilan dusun di Wringinputih, dan desa sekitar.

Di TPS 3R dilakukan pemilahan, di sana ada sampah organik dan anorganik. Sampah anorganik sebagian ada yang kita lakukan daur ulang P5 saja, sisanya dijual ke pengusaha rongsokan.

“Kemudian yang organik dilakukan untuk bahan budidaya maggot, serta pembuatan pupuk kompos. Dalam satu atau dua bulan, produksi pupuk kompos bisa panen 8 kuintal. Maggot, kami jualnya dalam bentuk basah ataupun kering. Kami mungkin satu-satunya TPS 3R yang sudah jalan sampai tahap penjualan maggot kering,” kata Rizal.

Pihaknya juga berkolaborasi dengan universitas untuk riset-riset. Adapun penjualan Maggot kering kebanyakan dibeli pembudidaya Ikan Koi, hampir dua pekan sekali atau sebulan sekali habis. Kemudian yang basah biasanya dibeli pemancing.

Rizal mengaku mendapat kontak untuk ekspor Maggot kering dan minyak Maggot kering untuk ekspor ke China. Akan tetapi, kapasitas untuk saat ini masih skala lokal dahulu, karena sumber pakan terbatas. Namun ke depan punya pandangan ke arah sana, dan siap melakukan bimbingan.

Produksi maggot, ujar Rizal, setiap bulan mencapai ratusan kilogram. Dua hari didapat sekitar 30 kilogram basah. Artinya dalam satu bulan sekitar 450 kg, namun kalau jadi kering ada penyusutan 65 persen.

“Maggot basah dijual Rp5 rb, kalau kering Rp50 ribu,” katanya.

blank
Aktivitas memilah sampah di TPS 3R Merti Bumi, di Desa Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat 18 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Pilah Sampah

Diakuinya, biaya bulanan dari TPS 3R berbiaya cukup besar. Beban terbesar pada ongkos bayar tenaga untuk pemilahan. Hal ini menjadi tantangan, sampai saat ini Bumdes masih berikan kontribusi subsidi ke TPS 3R agar operasionalnya bisa tertutup.

“Dengan berbagai macam aktivitas yang kami lakukan, mayoritas pendapatan 80 persen dari iuran pelanggan. Sisanya 20 persen dari aktivitas lainnya,” ujarnya.

Dia berharap sampah sudah terpilah dari rumah tangga, agar beban operasional TPS 3R akan berkurang. Dia ingin hal itu bisa mengikis biaya yang selama ini sudah ada. Pihaknya mengaku sudah ada perencanaan untuk bisa menyelesaikan itu.

Saat ini dia ingin coba fokus ke budidaya maggot terlebih dahulu, dan ke depan bumdes bisa fokus produksi telur Maggot saja. Lalu pengirimannya bisa diserahkan ke TPS di setiap dusun. Sehingga sampah organik bisa diserap setiap dusun.

“Dan kami membeli dari setiap hasil panen maggot tersebut untuk bisa kering. Kami ingin menghidupkan bank sampah di setiap dusun. Sehingga sampah organik dan anorganik bisa selesai di dusun. Kami akui itu masih panjang prosesnya, itu bukan hal yang mudah. Maka coba selesaikan dari hulunya dahulu, membuat percontohan yang pas maka selanjutnya kami bisa menerapkannya ke masyarakat,” urainya.

Dihubungi Suarabaru.id, Pakar Lingkungan dari Universitas Diponegoro (Undip) Prof Sudharto P Hadi, menjelaskan, tentang peran besar bank sampah yang konsisten dan berkelanjutan. Tumbuhnya bank sampah bisa memperpanjang usia teknis Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di sebuah kota/kabupaten.

“Sampah kontribusinya besar untuk memperpanjang teknis usia TPA. Kalau pemerintah kota harus mencari lokasi TPA baru itu tidak mudah. Ada tantangan konflik sosial,”kata dia.

Dia mencontohkan TPA Piyungan di DI Yogyakarta yang sudah penuh. Umur teknisnya sudah habis dan sudah penuh, sehingga tak lagi menerima sampah dari wilayah sekitarnya. Dampaknya, tumpukan sampah di sembarang tempat.

“Bahkan ada guyonan itu, lempar sampah sebagai olahraga. Itu dampak TPA yang penuh” kata dia.

Lebih jauh, mantan Rektor Undip itu bilang, bank sampah itu potret pemilahan limbah dari hulu atau i sumbernya. Masyarakat,  difasilitasi agar sampah yang selama ini dianggap bencana anorganik,  ada botol, plastik, dibuang membebani lingkungan. Barang-barang itu dibuang termasuk di sungai, sehingga sungai itu laiknya mall sampah.

“Dengan hadirnya bank sampah maka ada ruang. Imbalannya dapat sejumlah uang atau tabungan berdasarkan nilai sampah yang didapat,” katanya.

Lebih lanjut, bank sampah yang bagus, kata dia, bukan hanya sampah anorganik yang dibuat produk bernilai lain. Dalam pengembangannya, manfaat mengolah sampah organik bisa dibuat menjadi pupuk .

“Kalau itu dilakukan dengan baik bisa mengurangi beban TPS dan TPA,” tuturnya

blank
Hasil pengelolaan Maggot kering di TPS 3R Merti Bumi, di Desa Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat 18 Oktober 2024. (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Target Jangka Pendek dan Panjang

Rizal melanjutkan, punya target jangka pendek dan panjang. Terutama meningkatkan omset Balkondes Wringinputih. Diharapkan tahun depan bisa meningkat 30% dari sekarang.

“Intinya omset kami tembus miliar, harapan kami bisa lebih baik dari tahun sebelumnya. Lalu bisa memberi manfaat untuk pembangunan desa,” katanya.

Secara bisnis, Bumdes Guyub Rukun merinci pendapatan unit usaha paling besar dari event dan penginapan di Balkondes Wringinputih. Event menyumbang 40% pemasukan, dan 40% disumbang penginapan di Balkondes.

Untuk menambah pemasukan, pihaknya sedang mengkaji ecotourism bersama penggiat wisata. Paket khusus 10 orang menginap dan wisata lengkap selama dua hari tiga malam untuk mengenalkan sejarah dan potensi desa. Sekaligus merasakan menjadi masyarakat desa Wringinputih.

“Untuk produk UMKM utama kami, ada olahan singkong, pepaya, kelapa. Maka otomatis akan ada kegiatan yang ditunjukkan seperti ‘bedol telo’. Hasilnya dibawa ke UMKM untuk diolah menjadi makanan keripik singkong, getuk, jetkolet. Selanjutnya ada pepaya larinya ke arah manisan, kalau kelapa lebih kepada mengambil nira menjadi badheg (minuman nira kelapa) dan gula jawa,” ujar Rizal.

blank
Rizal Arifin Triatmoko, Direktur Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Guyub Rukun menunjukkan peta potensi wilayah Desa dari Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Wringinputih, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis 17 Oktober 2024. . (Foto: Diaz Azminatul Abidin)

Sendang Pule

Potensi unggulan yang akan disuguhkan yakni sejarah desa dan mitos asal-usul nama Wringinputih. Wisatawan akan dikenalkan salah satu potensi wisata desa Sendang Pule yang berada di dusun Wringinputih.

Di sana ada mata air, di mana ada pohon beringin berwarna putih tak kasat mata yang dipercayai masyarakat. Pohon itu jadi silsilah atau asal usul nama Desa Wringinputih, yang diartikan dalam Bahasa Indonesia yakni Beringin Putih.

“Pohon Beringin warna putih ini sifatnya tidak nyata. Yang bisa melihatnya janin, yakni ibu-ibu yang hamil janinnya bisa melihat. Maka itu menjadi sebuah pantangan untuk tidak melewati mata air tersebut,” kata Rizal.

Di wilayah itu, lanjut Rizal, juga dilarang memelihara hewan yang sifatnya berwarna putih, seperti angsa, kucing, ayam, dan semua yang berwarna putih. Wilayah itu menjadi satu-satunya desa di Kecamatan Borobudur, di mana kalau ada orang yang melanggar maka anak yang akan dilahirkan akan menjadi warna putih keseluruhan.

“Atau yang kita sebut albino. Ada empat anak di desa kami yang dalam kondisi albino. Sekarang sudah dewasa, anaknya pun albino itu tidak terputus. Lalu setelah kami jelaskan tentang silsilah itu kami akan sajikan beberapa sajian lain yang menarik yang ada di Desa Wringinputih,” katanya.

Dari sisi kuliner, paket wisata unggulan itu akan menghadirkan kembali makanan khas kerajaan di masa lampau.

“Jadi jaman dahulu kalau ada bangsawan yang datang ke masyarakat itu disuguhkan makanan apa saja sih. Risetnya kami dari wawancara masih banyak sesepuh desa yang usianya 70 tahun, 80 tahun mereka yang bercerita. Sekaligus bertanya arsitektur rumah di sini dahulu akan seperti apa.” Kata dia.***

Diaz Azminatul Abidin