blank
Ilustrasi Kiai, (foto: Pramono Estu)

Oleh: Zakariya Anshori Chamim

JEPARA (SUARABARU.ID)- Tema HSN tahun ini “Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan” seolah mengisyaratkan perlunya estafet perjuangan kiai agar dapat dilanjutkan oleh para santri. Ketersambungan sanad keilmuan menjadi salah satu ciri utama para santri, terutama di kalangan santri nahdliyyin.

Kiai menjadi figur sentral dalam pesantren. Perannya sangat signifikan dalam mempersiapkan, bahkan terkadang juga menentukan masa depan para santri.

Sering kali kiai memberikan ‘rambu-rambu’ kepada santrinya. Ini boleh dikaji, ini tidak boleh dipelajari. Keyakinan akan berkah dan kemanfaatan ilmu juga tergantung kepatuhan santri kepada kiainya. Tak jarang kiai juga turut menentukan perjodohan para santrinya.

Dalam buku “Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa”, Antropolog Clifford Geertz berhasil memotret dengan cerdas dan kreatif serta mampu menggambarkan ‘peta budaya’ yang dibentuk oleh warga dari konflik dalam kepercayaan dan agama. Geertz membagi perilaku keberagamaan dalam kebudayaan Jawa menjadi: Abangan, Santri, Priyayi.

Melalui kajian menyeluruh tentang agama Jawa, Geertz mampu menelusuri seluk-beluk dan kedalaman kehidupan spiritual Jawa serta masalah integrasi politik dan sosial yang dicerminkan dalam agama, seraya menyadari bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi.

Dari perilaku beragama inilah peran kiai sebagai “cultural broker” atau perantara budaya menjadi penting.

Melalui peran sebagai perantara budaya inilah, sosok kiai menjadi rujukan para santri dan pengikutnya dalam kontestasi politik tertentu.

Dalam konteks pemilukada 2024, baik pemilihan Gubernur Jawa Tengah maupun pemilihan Bupati Jepara, sosok dan peran kiai kembali dipertaruhkan.

Apakah kiai bisa menjadi saluran aspirasi para santri berdasarkan kompetensi dan prestasi yang dimiliki?

Ataukah hanya sekedar berburu kompensasi , semata-mata demi gengsi, amunisi dan reputasi?

Jargon politik, seperti: “santri memilih santri” atau “santri nderekke kiai”, seolah kehilangan maknanya.
.
Pendekatan emosional kelompok relawan santrine guse, bolone guse, komunitas peci ireng (kopi) dan sebutan lainnya, seolah belum mampu menggoyahkan pragmatisme politik yang berkembang selama ini.

Pendekatan fiqh dalam politik kaum santri, khususnya di dalam NU, sedikit demi sedikit mulai pudar.

Politik Islam Rahmatan lil Aalamin yang berpedoman pada akidah Ahlussunnah wal Jamaah dan mengedepankan amar ma’ruf nahi munkar, seolah hanya ‘omon-omon’ saja.

Pada momentum Hari Santri Nasional 22 Oktober 2024 yang bertema “Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan”, para kiai, gus dan santri diharapkan mampu menjadi garda terdepan perjuangan politik mengobarkan semangat “Resolusi Jihad” untuk merengkuh dan meraih masa depan Indonesia yang lebih baik.

Selamat Hari Santri, Mari gunakan hati nurani dalam mengabdi kepada Ilahi dan berbakti pada negeri.
Semoga Tuhan memberkati. Amin.

(Penulis pernah mejabat sebagai Ketua Ketua Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PCNU Jepara 2010-2015)