Ilustrasi kesehatan jiwa, masalah yang sering dianggap sepele dan tidak penting. Foto: Freepik

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Kesehatan jiwa adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesehatan secara keseluruhan. Menjaga kesehatan jiwa sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik.

Dengan memperhatikan kesehatan jiwa, kita dapat mencegah berbagai penyakit fisik dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Dengan meningkatkan kesadaran dan akses terhadap layanan kesehatan jiwa, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan bahagia.

Namun, kesehatan jiwa sering kali dianggap sebagai sesuatu yang kurang penting dibandingkan dengan kesehatan fisik, karena adanya anggapan jika badan sehat, maka jiwa akan ikut sehat. Padahal, kesehatan jiwa memiliki peran yang sangat krusial dalam kualitas hidup seseorang.

Melansir dari Laman Kemenkes, banyak orang yang tubuhnya sehat, namun perilakunya cenderung menyimpang, mudah cemas, depresi, bahkan sebagian melakukan bunuh diri. Sayangnya, masih banyak orang yang enggan atau takut untuk berbicara tentang masalah kesehatan jiwa, sehingga masalah tersebut seringkali terabaikan.

Dampaknya, penyakit yang diderita seseorang sulit untuk diatasi, terlebih untuk disembuhkan. Orang yang ingin berkonsultasi ke psikolog atau psikiater karena masalah depresi atau kecemasan di dalam dirinya, sering kali distigma sebagai orang yang mengalami gangguan jiwa bahkan gila. Pandangan tersebut sangat berbeda dengan kondisi di era mileneal.

Berdasarkan penelitian pada beberapa tahun terakhir, ditemukan kaitan yang erat antara kesehatan jiwa dengan kesehatan tubuh/fisik seseoarang. Bahkan beberapa hasil penelitan menyebutkan adanya pengaruh kesehatan jiwa terutama depresi dan kecemasan terhadap penyakit kronis, seperti gagal ginjal, gagal jantung, kanker, diabetes melitus, hipertensi, tuberculosis, tukak lambung dan lain-lain. Artinya, jika jiwa seseorang sehat, maka penyakit fisik seseorang akan lebih mudah disembuhkan.

Mengapa Kesehatan Jiwa Sering Terabaikan?

Masyarakat sering kali masih menempelkan stigma negatif dan diskriminasi terhadap orang yang mengalami masalah kejiwaan dan atau gangguan jiwa. Hal ini membuat banyak orang merasa malu atau takut untuk mencari bantuan. Bahkan untuk melakukan skrining kesehatan jiwapun, seseorang sering kali dihantui perasaan takut dikatakan mengalami gangguan jiwa.

Masalah lainnya adalah masih banyak orang yang kurang memahami tentang gangguan jiwa. Mereka sering kali menganggap gangguan jiwa sebagai kelemahan atau tanda kepribadian yang buruk. Berkonsultasi terkait masalah kesehatan jiwa juga dianggap tabu.

Akses terhadap layanan kesehatan jiwa juga masih terbatas, terutama di daerah-daerah terpencil. Psikolog dan atau dokter spesialis jiwa hanya ada di perkotaan. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap upaya seseorang menyelesaikan masalah kejiwaannya.

Kesehatan fisik juga dianggap lebih penting dan mendesak dibandingkan dengan kesehatan jiwa. Hal tersebut dipengaruhi oleh pandangan terkait dengan di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.

Pengabaian terhadap kesehatan jiwa dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, baik bagi individu maupun masyarakat secara keseluruhan.

Beberapa dampak tersebut diantaranya, peningkatan risiko bunuh diri dikarenakan gangguan jiwa yang tidak tertangani, penurunan kualitas hidup disebabkan oleh gangguan jiwa yang mengganggu kemampuan seseorang untuk bekerja, belajar, dan bersosialisasi, peningkatan risiko penyakit fisik, seperti penyakit jantung, diabetes melitus, gagal ginjal dan gangguan pencernaan.

Beban ekonomi dikarenakan penanganan dan pengobatan gangguan jiwa yang terlambat, sehingga membuat seseorang tidak mampu belajar dan bekerja dengan baik yang berdampak pada tidak adanya pemasukan. Dampak pada keluarga dan masyarakat akibat gangguan jiwa yang tidak tertangani dan dapat menyebabkan masalah sosial.

Ning S