Ilustrasi. Reka: SB.ID

JC Tukiman Taruna

PARA pihak pengagum, penggemar, dan praktisi  kecerdasan buatan, hendaklah tidak marah atau tersinggung karena dalam telaah ini kecerdasan buatan disebut-sebut sebagai godaan pendidikan dan bukan (belum?) sebagai keniscayaan.

Memang, sejumlah pihak telah menempatkan kecerdasan buatan sebagai mindset baru zaman maju, bukan sekedar perangkat, alat.  atau media belaka; karena di dalam kecerdasan buatan itu  telah tersedia secara tidak terbatas sumber belajar.

Meski demikian, dalam konteks  nawaniscaya pendidikan, kecerdasan buatan bukan (belum??) sebuah keniscayaan, mengingat kecerdasan buatan itu berupa hasil atau buah dari proses pendidikan,  dan  justru menggoda proses karena penuh iming-iming di dalamnya.

Lebih tepatnya, kecerdasan buatan perlu kita lihat sebagai sebuah pilihan saja, karena  bukan (belum?) sebagai sesuatu yang ideal dalam proses pendidikan  Indonesia saat ini.

Ideal: Tidak boleh Tidak

Pada tahun 2005, Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan RI tahun 1978-1983 menulis artikel berjudul “Ideal: Apa, Mengapa, Bagaimana?”  dan pada alinea pertamanya ditulis: Ada satu perkembangan yang pantas membuat kita, sebagai satu bangsa, menjadi prihatin.

Baca juga Harapan buat Mendikbudristek Baru: Kurikulum Berdiferensiasi

Bila dibandingkan dengan ………………………, sekarang ini kelihatan benar semakin meredupnya ideal (italic/huruf miring oleh penulis) dari kehidupan sehari-hari yang  pada umumnya berpenampilan keren.”

Ideal dan idealis adalah pertanda kekhasan kemanusiaan kita, suatu conditio sine qua non dari aktivitas manusia, dari usaha yang dilakukan secara sadar oleh siapa pun makhluk manusia sebagai keseluruhan.

Ilustrasi. Reka: SB.ID

Ideal mengandung empat unsur penting, yakni (1) suatu ide yang begitu menggugah hingga disempurnakan menjadi ideal; (2) suatu bentuk kesadaran yang sepadan bagi ideal itu untuk tumbuh, berkembang, dan menyatakan eksistensinya; (3) suatu tahap tertentu dalam perkembangan sosial yang, sebagai realitas objektif mendasari konsep ideal tadi; dan (4) kegiatan manusia yang ada maksud dan punya tujuan tertentu.

Maka sesuai asasnya,  pendidikan yang ideal menurut Daoed Joesoef, adalah untuk mengetahui bukan fakta tetapi nilai; kalau diumpamakan tangga, proses dalam pendidikan kita tempuh dengan memanjat dari satu tingkat ke tingkat nilai berikutnya yang lebih canggih.

Tidak ada jalan pintas atau loncat anak tangga untuk memeroleh nilai lebih canggih itu (hal 75). Proses seperti inilah yang disebut keniscayaan, conditio sine qua non, sebuah ideal yang tidak boleh tidak harus berlangsung/terjadi.

Nawaniscaya

Alur pikir ideal pendidikan yang dinarasikan Daoed Joesoef sangatlah jelas, yakni seluruh proses dalam pendidikan disebut (dan harus) berhasil manakala jelas terjadi peralihan dari informasi ke pengetahuan, dan selanjutnya nilai-nilai pengetahuan itu menanamkan kebijaksanaan dalam diri setiap makhluk manusia.

Apa implikasi praktis atas pendekatan filosofisnya Daoed Joesoef tersebut? Alur  peralihan dari informasi ke pengetahuan dengan berbagai nilainya sehingga membekali kebijaksanaan individual dan komunal, mendorong kita untuk serius berpikir hal-hal mendesak-praktis tentang proses pendidikan dewasa ini. Terdapatlah  nawaniscaya  pendidikan, yaitu proses pendidikan yang mau tidak mau harus  bercorak transformatif, cura personalis, humanistis, harmonis, desentralistis, literatif, idealistis dalam nasionalisme dan peradaban berbangsa, futuristis,  serta  penegakan disiplin.

Keniscayaan satu: transformatif. Proses pendidikan harus  bercorak sangat transformatif dengan kata kunci berdaya-ubah. Guru tidak lagi melakukan transfer informasi, melainkan harus mampu mengubah informasi menjadi pengetahuan yang bernilai bagi peserta didik, Guru memiliki dan harus memiliki daya ubah sehingga “batu dapat menjadi roti.”

Guru semacam itu harus ada (tersedia) di mana pun, termasuk di daerah terluar, terpencil, terjauh, dan seterusnya. Meminjam ungkapan yang pernah dipakai oleh Mochtar Buchori (2012) daya ubah dapat ada dalam diri setiap orang (baca guru) apabila ada kesediaan berubah watak dan karakternya.

Keniscayaan dua: cura personalis. Seluruh proses dalam pendidikan itu seharusnya berupa sentuhan/perhatian  pribadi yang semakin intens, berawal dari mengenal nama siswa  satu persatu sejak hari pertama sampai dengan tumbuh-kembangnya yang paling optimum di setiap jenjangnya.

Cura personalis mengakui bahwa setiap manusia (baca siswa) itu unik, masing-masing memiliki keistimewaannya, dan oleh karena itu keistimewaan personal itulah yang dikembangkan optimum, dan tidak mungkin lagi proses pendidikan  mengutamakan pendekatan klasikal.

Keniscayaan tiga: humanistis. Driyarkara menekankan proses pendidikan itu adalah gerak ideal dari hominisasi ke humanisasi.  Proses pendidikan bercorak hominisasi ketika  perkembangan akal dan daya pikir manusia yang diutamakan; padahal buah terbaik proses itu seharusnya ada pada humanisasi, yaitu budi pekerti.

Keunggulan makhluk manusia ada pada sifat kemanusiaannya yang ideal berkembang seperti berbudi luhur, hormat-menghormati kemanusiaan, dan berperikemanusiaan. Meminjam ungkapan yang pernah ditulis oleh Nurcholish Madjid (2002), maka dalam proses pendidikan tidak boleh ada kejahatan terhadap pribadi manusia, juga tidak boleh ada kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)

Keniscayaan empat: Harmonis. Ungkapan yang lebih sering digunakan saat ini untuk harmoni(s) adalah sinergis integratif. Proses pendidikan itu pasti diikat oleh  tiga hal penting ini, yaitu saling keterkaitan, konsep keutuhan, dan kemenjadian (being). Siapa pun tidak mungkin melihat seorang pribadi tanpa melihat keterkaitannya dengan orang lain, lingkungannya, dan alam semestanya.

Bagian yang satu memengaruhi bagian lainnya, maka tidak mungkin berdiri sendiri-sendiri kecuali saling terkait. Dalam konsep keutuhan atau keseluruhan yang ditekankan ialah adanya relasi sinergis antar bagian-bagian dan pasti dapat menghasilkan apa pun yang lebih besar.

Siswa, guru, kurikulum, kebijakan pemerintah dan apa pun yang terkait dengan proses pendidikan,  harus dilihat secara total, utuh, karena semuanya itu menjadi bagian penting bagi setiap pribadi siswa yang ingin terus menjadi (being).

Keniscayaan lima: desentralistis.  Proses pendidikan bercorak desentralistis apabila segala keputusannya demokratis seraya menunjung tinggi asas subsidiaritas.

Demokrasi proses berarti membuka dan terbuka kesempatan pasrtisipasi semua pihak; dan apa yang dapat dilakukan sendiri oleh setiap pihak, hendaknya proses itu tidak diambil alih oleh kekuatan di atasnya. Contoh, kalau siswa sudah mampu mandiri mengerjakan sesuatu, biarlah ia (mereka) berkembang lebih lanjut dalam kemandiariannya itu.

Keniscayaan enam: Literatif. Seluruh proses kemenjadian (being), misalnya berprosesnya siswa klas  I menjadi/menuju ke klas II, harus terutama didorong dalam kemampuan literasinya (baca: membaca). Sampai ke perguruan tinggi pun, kemampuan dan kebiasaan membaca niscaya harus terus ditagih.  

Keniscayaan tujuh: idealistis dalam nasionalisme dan keberadaban berbangsa. Apa artinya bersusah payah dalam proses pendidikan kalau  tidak tertanam jiwa patriotisme dan kehidupan yang menjunjung tinggi keadaban berbangsa dan bernegara. Proses pendidikan harus berhasil menanamkan idealisme berbangsa dan bernegara: 100 persen patriot, 100 persen bangsa Indonesia.

Keniscayaan delapan: Futuristis. Idealisme pasti terkait masa depan; maka proses pendidikan yang futuristis adalah ajakan bermimpi menjadi dan/atau meraih bintang (Daoed Joesoef) atau “Indonesia sebagai imagined community” (Ben Anderson). Kita mungkin tidak pernah akan mampu menggapai bintang, namun bintang menjadi haluan gerakan sebagai pedoman bagi nelayan dan pelaut. Hidup itu adalah masa depan, to govern is to foresee.

Disiplin

Nawaniscaya harus ditutup sebagai bingkai kuat  dengan penegasan betapa  pentingnya penegakan  disiplin. Ada masalah besar dalam proses pendidikan, dan semua masalah itu umumnya berakar pada lemahnya disiplin penyelenggaraannya.

Disiplin hidup kita jelek, bahkan dapat dikatakan bahwa hidup bangsa kita ini tidak mengenal disiplin. Kita pandai mengagumi kehidupan disiplin bangsa lain, tetapi kita tidak pernah berusaha untuk menegakkannya.

Inilah nawaniscaya sembilan: penegakan disiplin.  Kata kunci disiplin sangat sederhana sebetulnya, yakni tepat waktu. Dalam buku kenangan ulang tahun ke-80  Pater Drost, SJ, seorang tokoh sekaliber Frans Seda (2005) mengatakan: “Dua hal yang selalu ditekankan Pater Drost yaitu disiplin dan mutu.” Disiplin mengatur manusia dan masyarakat sehingga bertindak sesuai dengan faham dan nilai moral yang yang dianutnya.”

Dengan disiplin seluruh rangkaian hidup, usaha, dan cita-cita masa depan akan menjadi lebih terarah, dan karena itu pasti lebih efisien. Dengan disiplin terdapatlah jaminan yang lebih kuat, bahkan sasaran pasti tercapai.

“Peliharalah disiplin, dan disiplin pasti akan memelihara Anda,” begitulah bagian penutup tulisan Frans Seda (dalam buku Pendidikan Nasional dalam Reformasi Politik dan Kemasyarakatan. USD, 2005)

JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University (SCU) Semarang