Ilustrasi Middle Income Trap. Foto: Freepik

Oleh: MG Westri Kekalih Susilowati

DALAM waktu kurang dari sepekan pada bulan September 2024, Bank Indonesia mencatat arus modal asing keluar (capital outflow) sebesar Rp9,73 triliun pada bulan September 2024.

Capital outflow sebenarnya merupakan hal biasa bagi sebuah perekonomian. Namun, jika hal tersebut terjadi secara konsisten kondisi ini menjadi indikasi ketidakpercayaan investor terhadap perekonomian tersebut sehingga berpotensi bahaya. Padahal, investasi asing dibutuhkan sebagai saranan transfer teknologi untuk keluar dari middle trap income/MTI.

Problem Middle Trap Income

Bagi perekonomian, investasi adalah éngine of growth. Investasi (Pembetukan Modal Tetap Bruto/PMTB) merupakan salah satu komponen Produk Domestik Bruto (PDP) yang berkorelasi positif. Oleh karena ini, kehadiran investasi selalu diharapkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang manatb (steady state growth).

Sebagaimana dikemukakan Harod Domar, ibarat pesawat akan lepas landas yang memerlukan akumulasi energi untuk mendorong pesawat naik, akumulasi modal dalam bentuk investasi diperlukan perekonomian untuk mendorong ekonomi untuk tumbuh. Investasi, baik dalam bentuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA) juga cara untuk mencegah dan menghadapi krisis ekonomi. Adanya investasi akan menjamin keberlangsungan produksi nasional melalui aktivitas dunia usaha dan permintaan agregat.

Secara khusus, PMA diharapkan memediasi perkembangan teknologi yang berdampak pada efisiensi, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 1980an, Indonesia terjebak dalam middle trap income/MTI (perangkap pendapatan menengah). MTI adalah kondisi ketika sebuah negara mampu masuk pada status pendapatan menengah, namun karena berbagai hal gagal setara dengan negara-negara maju.

Artinya gagal bertransisi ke penghasilan tinggi karena mengalami perlambatan aktivitas ekonomi (Gill dan Kharas, 2007). Dengan target pendapatan perkapita tahun 2024 antara USD5.300 sampai USD5.400 (dengan kurs Rp16.000, berarti pendapatan perkapita antara Rp84,8 juta – Rp88,0 juta) berarti Indonesia masih dalam posisi antara 38,41 persen – 39,86 persen terhadap syarat keluar dari MTI pendapatan perkapita USD13.800 (Rp220,8 juta). Posisi yang masih jauh dari yang dipersyaratkan.

Beberapa sumber mengatakan bahwa untuk keluar dari MTI dibutuhkan laju pertumbuhan setidaknya 6 persen pertahun. Dalam perjalanannya, nampaknya era pertumbuhan lebih dari 6 persen pertahun berakhir di tahun 2012 6,03 persen yang menurun dari tahun sebeliumnya 6,17 persen. Selanjutnya perekonomian tumbuh pada kisaran 5,0 persen – 5,4 persen, dan mengalami pertumbuhan negatif pada tahun 2020 sebagai dampak dari pandemi COVID 19. Pertumbuhan ekonomi selanjutnya agak tersendat karena berbagai tantangan internal maupun eksternal. Tantangan eksterna seperti inflasi, tekanan geopolitik, serta perubahan iklim. Secara internal, Indonesia masih dihadapkan pada berbagai persoalan klasik seperti diantaranya kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pendapatan.

Signifikansi Penanaman Modal Asing (PMA)

Untuk tumbuh lebih cepat, dibutuhkan teknologi dan model bisnis modern. Keberadaan teknologi dan bisnis modern akan mendorong terjadinya inovasi sehingga meningkatkan efisiensi dan produktifitas. Tanpa teknologi dan model bisnis modern, akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mencapai posisi pendapatan perkapita USD13.800 (Rp220,8 juta).

Mengenai teknologi, Candra Irawan (2019) mengatakan lebih 80 teknologi yang digunakan di Indonesia adalah teknologi yang berasal dari pihak asing, melalui PMA maupun pembelian. Selain belanja modal yang memperbesar pengeluaran agregat dalam bentuk PMTB dengan semua efek multipliernya, PMA diharapkan menjadi salah satu kanal alih teknologi.