Ilustrasi (klikhukum.id)

Oleh: Hamam Nasirudin

JEPARA (SUARABARU.ID)- Baru mereda sengketa Pilpres 2024 yang sempat memanas dalam perbincangan publik, Indonesia kembali digemparkan dengan keputusan Baleg DPR RI terkait Revisi Undang-Undang Pilkada.

Perubahan threshold partai politik hingga syarat usia calon kepala daerah yang dilakukan oleh Baleg DPR RI sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menjadi pemicu kemarahan rakyat Indonesia yang berujung terjadinya demonstrasi besar-besaran di depan gedung DPR RI Senayan Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia.

Gambar Garuda Pancasila dengan latar belakang biru muda dan tulisan “Peringatan Darurat” yang mewarnai setiap sudut sosial media menjadi awal mula gerakan perlawanan rakyat Indonesia.

Peringatan darurat tersebut menjadi pertanda bahwa demokrasi negara Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan dalam posisi siaga sebab disinyalir perubahan UU Pilkada yang dilakukan oleh Baleg DPR RI telah merusak prinsip demokrasi dan melenggangkan kekuasaan oligarki.

Masyarakat dibuat semakin tidak percaya terhadap sistem demokrasi Indonesia dan menilai bahwa perubahan tersebut hanya menguntungkan sejumlah elite politik saja.

Oligarki yang semakin kentara bahkan secara terang-terangan dipraktikkan menjadi ancaman terbesar bagi keutuhan demokrasi Indonesia. Selain itu, pemerintahan yang dikuasai oleh oligarki yang lahir dari partai-partai borjuasi tidak akan pernah melahirkan kebijakan yang memihak rakyat.

Kelanggengan kekuasaan oligarki di negeri ini dapat kita lihat dari bagaimana partai politik telah dikendalikan oleh penguasa, pengabaian suara-suara rakyat oleh penguasa, dan civil society yang dimatikan. Adapun beberapa fakta yang menunjukkan bahwa kekuasan oligarki tidak pernah mati dan terus beroprasi di Indonesia yang katanya negara demokrasi.

Pertama, Pengendalian partai politik oleh para penguasa. Partai politik yang seharusnya berfungsi sebagai organisasi independen dan menjadi wadah bagi rakyat untuk menampung aspirasi justru menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan para elite tertentu.

Dewasa ini terlihat jelas bagaimana partai-partai besar telah mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang cenderung melindungi kepentingan oligarki. Ketika partai politik ini telah gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai representasi dari rakyat dan malah menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan elit, maka kemungkinan besar demokrasi di negeri ini akan semakin tumpul dan kepentingan publik semakin terpinggirkan.

Kedua, pengabaian suara rakyat oleh penguasa. Salah satu ciri suburnya kekuasan oligarki adalah di mana penguasa telah abai terhadap suara rakyat. Kebijakan-kebijakan yang diambil hanya tertuju pada kepentingan sejumlah elit dan tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat atau bahkan tanpa adanya konsultasi publik terlebih dahulu.

Perubahan UU Pilkada yang dilakukan oleh Baleg DPR RI dalam waktu sehari merupakan wujud konkrit bagaimana suara rakyat tidak lagi menjadi pertimbangan keputusan kebijakan. Tidak ada naskah akademik dan sosialisasi rancangan Undang-Undang, apalagi penyaringan aspirasi dan suara rakyat. Muncul anggapan bahwa UU Pilkada ini ditujukan demi kepentingan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang akan mengusung Kaesang Pangarep sebagai calon wakil gurbenur.

Ketiga, Civil society yang dimatikan oleh para penguasa. Di negara demokrasi, Civil society atau masyarakat sipil memiliki fungsi sebagai pengawas dan penyeimbang kekuasaan pemerintah.

Akan tetapi, dewasa ini peran tersebut mulai melemah dan hilang sikap kritisnya terhadap kebijakan pemerintah. Oraganisasi-organisasi masyarakat sipil besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah mulai kehilangan taringnya dan tunduk pada kebijakan penguasa.

Sungguh ironis ketika rakyat sedang melakukan unjuk rasa besar-besaran terkait RUU Pilkada, Ketum PBNU justru melakukan pertemuan langsung dengan Presiden Jokowi untuk membahas pengelolaan tambang. Sikap PBNU tersebut sangat disayangkan, civil society yang seharusnya menjadi garda terdepan membersamai rakyat menyuarakan keadilan, justru malah tunduk di depan kekuasaan dengan iming-iming izin kelola tambang.

Oligarki di negeri ini tidak akan pernah mati, ia akan terus beradaptasi dan menemukan berbagai cara untuk terus tumbuh subur di tengah perkembangan zaman. Oligarki di Indonesia terus menguat seiring dengan menguatnya kontrol penguasa terhadap partai politik, pengabaian terhadap suara rakyat, dan pelemahan terhadap civil society.

Oligarki yang mengakar kuat akan membuat prinsip-prinsip demokrasi menjadi formalitas belaka dan menghilangkan substansi yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat. Peringatan darurat menjadi peringatan keras bagi kita bahwa demokrasi di Indonesia sedang berada di ujung tanduk dan sedang dikuasai oleh para penguasa.

Prinsip keberlanjutan di pemerintahan yang akan datang juga dapat menjadi pintu olirgarki yang sama. Isu pilkada dengan calon yang di dukung koalisi pemerintah serta partai yang merapat kepada pemerintah menjadi bukti kemunduran pola demokrasi.

Hampir seperti prinsip partai yang senang menjadikan ketua dengan pola aklamasi dan selesai di meja diskusi elit. Demokrasi oligarki akan dijalankan pada pilkada 2024 di mana mereka yang berkuasa adalah pemenang, mereka yang tau bahwa rakyat tidak semua sadar adalah para budak oligarki kekuasaan.

Kita tidak bisa membayangkan bagaimana sosialisasi politik dimatikan, ibu,anak dan generasi saat ini hanya tau bagaimana mereka bertahan hidup tanpa tau hajat hidupnya dikuasai kelompok elit. Sudah saatnya kita sadar bahwa negara dalam keadaan darurat, negara membutuhkan persatuan yang kuat, negara membutuhkan kontrol yang kuat dan negara membutuhkan kesadaran politik seluruh rakyat.

(Penulis adalah Alumni Prodi Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus, tinggal di Jepara)

https://kab-jepara.kpu.go.id/berita/baca/8769/pengumuman-pendaftaran-pasangan-calon-bupati-dan-wakil-bupati-jepara-tahun-2024