“Cla-10 (dibaca: Klaten) sebuah potret usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mendobrak batasan tek tertulis melalui Ecoprint. UMKM yang beranggotakan ibu-ibu di sebuah desa itu asal Klaten Jawa Tengah itu memuliakan beragam dedaunan menjadi kain dan produk fesyen yang bernilai jual. Selain menggerakkan ekonomi desa, juga membawa nama Indonesia melalui Ecoprint”
SEBUTIR senja jatuh di sebuah desa kecil di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang subur dengan hijaunya tanaman padi di sana-sini.
Musim kemarau yang masih menggelayut di pekan terakhir September 2023 seolah kehilangan jati dirinya, air masih melimpah merendam akar-akar padi usia remaja itu.
Dari kejauhan di sisi Selatan tampak menjulang Geopark Gunung Sewu di Daerah Istimewa Yogyakarta, sementara di sisi barat daya Gunung Merapi dan Merbabu bersanding di bawah pendar lembayung.
Begitulah sebuah gambaran sederhana di Dukuh Jebugan, Desa Karanganom, Kecamatam Karanganom, Kabupaten Klaten, wilayah yang dijuluki Kota Seribu Umbul (mata air) itu.
Klaten yang juga dijuluki Kota Seribu Candi itu memang punya pesonanya tersendiri dengan alamnya, begitupun potret kearifan lokal kehidupan masyarakat setempat.
Dari tepi jalan utama penghubung Kabupaten Boyolali-Klaten, Dwi Putri Misnawaty (52) menyambut penulis di sebuah ruang pamer atau art gallery bertulis Cla-10 Ecoprint.
Cla-10 (dibaca Klaten) merupakan sebuah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang didalamnya ada potret gerakan pemberdayaan kaum perempuan atau ibu-ibu pada khususnya.
Seperti diketahui di dunia fesyen, ecoprint merupakan teknik cetak dengan menggunakan pewarnaan kain alami dengan motif dari dedaunan, bunga, kayu, dan lainnya. Dari hasil teknik ecoprint ini mampu menghasilkan motif alami yang unik dan natural.
Dwi Putri Misnawaty bersama empat orang lainnya yakni Etik Haryani, Eni Hariyati, Endyah Suci Maharani dan Siti Suparni berupaya terus konsisten mengembangkan Cla-10 Ecoprint, berupa lembaran dewangga atau kain.
Bermula dari Sampah
Sebagai seorang ibu rumah tangga, Dwi Putri Misnawaty (52) berjanji kepada dirinya untuk berbuat sesuatu ketika anaknya dirasa sudah cukup dewasa.
“Yang memang sebelumnya fokus untuk keluarga ketika anak-anak beranjak dewasa saya janji ke diri sendiri. Kalau anak sudah besar saya mau berbuat sesuatu, pada 2017 mulai dari kreasi sampah,” kata dia.
Saat itu dia memulai sendirian, ide mengelola sampah bermula melihat banyaknya barang tak terpakai yang terbuang untuk bisa didaur ulang.
Kreasi kerajinan dari sampah bermula dari pertimbangan banyaknya bahan dari lingkungan sekitar serta tak butuh banyak modal.
Maka jadilah kreasi dari kerajinan sampah menjadi barang bernilai jual yang cukup ekonomis bisa dilakukan seorang ibu rumah tangga sepertinya.
“Saat itu baru 1 RW memanfaatkan sampah. Saya mikir koran satu kg harga Rp 3 ribu, kalau saya bikinkan sesuatau misal tempat minuman gelas bisa laku Rp 50 ribu. Padahal bikin tempat minuman gelas tidak habis berlembar-lembar hanya edisi koran satu harian pun cukup,” kata dia.
Dwi Putri yang amat menyukai kerajinan tangan akhirnya mengajak beberapa orang tetangga untuk berbuat sesuatu yang bisa menghasilkan uang untuk membantu perekonomian.
“Daripada nggak ngapa-ngapain daripada sore-sore ngerumpi,” kata sosok yang murah senyum itu.
Apa yang diharapkan Dwi cukup berhasil hingga dilirik para ibu-ibu dari satu RW yang jumlahnya mencapai 60 ibu-ibu untuk berkarya bersama.
Kreasi kerajinan sampah berbahan koran, plastik, kain perca dan lainnya berkembang hingga bisa menggerakkan kaum perempuan di 7 RW di desa Karanganom.
Dia lantas mendapat perhatian pemerintah desa hingga bebrapa kali mengikuti pameran yang diakomodasi Dinas Lingkungan Hidup setempat.
Dwi Putri Misnawaty sudah cukup berhasil menggerakkan banyak orang hingga memberikan kepercayaan menyerahkan kepengurusan usaha bersama itu kepada sejumlah warga.
“Saya tekankan awalnya Lillahi Taala, keikhlasan yang penting tempat kita bersih (dari sampah). Pokoknya jangan mengharap ada uangnya, yang jelas berapa pun nilainya nanti dibagi sisanya masuk kas. Pengelolaan keuangan penting supaya bisa jalan usahanya,”kata dia.
Memulai Ecoprint Cla-10
Berbekal pengalamannya itu, Dwi Putri Misnawaty dilirik oleh Lazismu Muhammadiyah untuk mencoba hal baru dengan ecoprint pada 2019.
“Saya dapat pelatihan Ecoprint Lazismu Muhammadiyah pusat, soalnya mereka melihat kita sebagai kelomok ibu-ibu yang berkreasi. Selain dapat ilmu, saya juga dapat peralatan seperti kompor, dandang, dan kain-kain. Saat itu pelatihan saya juga mencari 18 ibu-ibu yang mau bergabung,” ujarnya.
Dwi Putri Misnawaty mendapat tantangan baru yang berbeda dengan kreasi daur ulang sampah.
“Kalau ecoprint prosesnya lebih njelimet (rumit) karena lama. Tapi dari awal pokoknya niat pertama tidak melulu materi, coba mengisi waktu dengan yang positif nanti lainnya mengikuti,” katanya.
Berjalannya waktu, dia sudah mulai menguasai bagaimana proses membuat Ecoprint menjadi lembaran Dewangga atau kain motif daun yang bernilai jual itu.
Setahun kemudian saat covid-19 menjadi tantangan tersendiri dalam memulai UMKM Ecoprint Cla-10.
“Akhirnya ada covid-19, saat itu sebelum pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), sempat mengisi pelatihan-pelatihan di banyak tempat. Saat itu masih booming jadinya se-desa ini belum banyak yang bisa Ecoprint. Lalu kita memberanikan diri melatih ke mana-mana dan uangnya bisa mengisi kas Alhamdulilllah,” ujar dia yang sedang bersama Eni Hariyanti serta Siti Suparni anggota lainnya.
Perjalanan UMKM Ecoprint Cla-10 terus berlanjut menjadi trainer untuk pelatihan ke sejumlah instansi hingga ke sekolah-sekolah.
Bahkan kini kata dia, Ecoprint masuk menjadi mata pelajaran muatan lokal di sekolah.
“Mungkin ini kan pembuatannya alami jadi mendukung kearifan lokal, nah ini kan pilarnya kurikulum merdeka jadi mungkin sejalan ya,” katanya.
Memuliakan Dedaunan di Pinggiran Desa
Dwi Putri Misnawaty mencoba menembus batasan tak tertulis di dunia ecoprint, di mana mencoba menggunakan bahan-bahan apa saja hingga dedaunan semak sekalipun. Memang salah satu yang sering digunakan yakni daun pohon Lanang.
“Pada intinya semua daun bisa kita gunakan. Kalau daun Lanang agak susah dapatnya, bibitnya juga mahal bisa Rp 50 ribu per 100 gram, tapi saat itu kan masih pemula ya jadi inginnya sempurna dan bagus,” katanya.
Dia lantas berkreasi menggunakan daun-daunan yang ada dan tumbuh di sekitar desa, ada daun jarak kepyar, jati, talok/kersen, ada mangsi-mangsian yang tumbuh di semak-semak.
“Ada namanya keren-keren daun bidan itu di jalan-jalan di semak-semak banyak. Ada daun marengo, pakis-pakisan. Pokoknya tidak usah yang susah-susah dan yang ada di sekeliling dulu,” ujarnya.
Sementara itu, untuk pewarnaannya menggunakan daun indigo, secang, warna merah ada kayu tingi, kayu teteran, dan kayu-kayuan lain.