JC Tukiman Tarunasayoga
TIBA saatnya –dan adil rasanya– kita sekarang ini ngrasani wong sugih, yukk. Tetapi dengan satu syarat, ya. Apa satu syarat itu? Anda harus terbilang orang yang ora sugih, bukanlah orang kaya. Mengapa? Ya……. ngrasani wong sugih kok Anda sendiri tergolong brewu, kaya raya; jeruk ngombe orange, namanya. Siap ya?
Pertama, jebul sekarang ini wong sugih tuh, akihhhhhhhhhhh……banget. Dulu, orang memiliki uang/harta bernilai jutaan rupiah, disebut jutawan, dan sudah tergolong sebagai wong sugih, wong brewu.
Tetapi sekarang, ……… pretttttt…… kalau hanya punya jutaan rupiah saja, ora kepetung. Merayakan pesta ulang tahun saja, saat ini banyak sekali orang yang menghabiskan uang berjuta-juta, termasuk misalnya ulang tahun atau menjodohkan hewan piaraannya.
Kecil……. kalau hanya ratusan juta!!! Mau iri, mau protes, mau melaporkan? Silahkan, lha wong ya dhuwit-dhuwitku dhewe. Mengapa semurah-hati itu, sampai-sampai menganggap “kecil” untuk sebuah pesta berbiaya ratusan juta?
Yahhh…… pasti mereka itu tergolong miliarder. Hai orang-orang mlarat, ketahuilah, bahwa saat ini, orang disebut wong sugih kalau orang itu memiliki harta kekayaan dalam hitungan bermiliar-miliar. Mau iri, mau protes, mau melaporkan? Silahkan, lha wong ya dhuwit-dhuwitku dhewe.
Kedua, kekayaan itu identik dengan kebahagiaan dalam hal ora bisa disimpen, tidak bisa tidak terungkap. Orang yang (sedang) bahagia, pasti akan meluapkan kebahagiaannya itu dengan banyak cara: tertawa, sumringah wajahnya, crita-crita, pesta-pesta, berdoa khusuk berlama-lama, dsb. dst.
Baca juga Eling Ancasmu
Kesedihan bisa ditutup-tutupi, misalnya berwajah tidak sedih; namun tidaklah demikian halnya dengan kebahagiaan. Kebahagiaan itu tidak bisa ditutup-tutupi; dan demikianlah halnya dengan kekayaan.
Wong sugih mesti entah dengan cara tersembunyi atau pun terang-terangan, pasti akan meluapkan bukti kayanya. Kalau pesta pun yang diundang juga (pasti) sesama orang kaya. Ora mungkin mengundang wong mlarat seperti yang sedang baca ini (maaf!!), ehhhhh ….. yang menulis ini.
Sugih-singgih
Cukupkah dengan sebutan miliarder? Sangat membatasi kalau hanya berhenti dalam sebutan miliarder; sebab dalam faktanya, saat ini banyaklah orang yang harta kekayaannya triliunan: satu triliun itu seribu miliar. “Bayangke, Man!!”
Apa ya sebutan untuk orang-orang berkekayaan triliunan itu? Benarkah sebutan taipan itu? Embuh kono, sebuten dhewe, aku ora melu-melu. Membayangkan betapa banyaknya saja, wis semlengeren; namun puji Tuhan masih bisa membayangkan, hehehehe.
Memang masyarakat berhak bertanya: Orang-orang brewu sugih mblegedhu itu asal mulanya dari mana dan bagaimana, ya? Tanpa bermaksud menuduh siapa pun, izinkan saya mengupas orang yang disebut sugih-singgih.
Makna sugih, ialah (1) duwe bandha akeh, memiliki harta banyak; dan (2) kadunungan apa-apa sing akeh cacahe, menguasai sejumlah hal dalam jumlah banyak (tanah, barang-barang, dll).
Sedang seseorang tergolong/disebut disebut sugih-singgih, ialah kalau orang itu ya sugih, ya duwe pangkat. Maksudnya, orang itu di samping kaya, juga mempunyai kedudukan mentereng. Tentu masyarakat mlarat bertanya-tanya (berhak juga): Sugihe amarga pangkat drajade, atau pancen wis sugih, apamaneh banjur duwe pangkat?
Intinya, orang-orang iri pasti bertanya: Si Polan itu kaya dulu baru (dapat) menduduki jabatan/pangkat tinggi; ataukah karena punya jabatan/pangkat tinggi, maka ia berangsur-angsur sugih?
Tentu harus ditegaskan lagi lewat pertanyaan: Berhakkah masyarakat mempertanyakan asal-usul kekayaan seseorang? Adakah hak orang brewu kaya raya, sugih-singgih, yang dilanggar jika dipertanyakan asal-usul kekayaannya?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini, namun berdasarkan ajaran social, rasanya dapatlah dinalar runtut pertanyaan itu. Bukankah manusia itu tidak mungkin hidup sendirian karena masih banyak manusia lainnya di sekitarnya?
Itulah kehidupan sosial dengan berbagai ikutan tuntutannya sehingga siapa pun mau atau tidak mau, senang atau pun tidak suka tetaplah harus berjiwa sosial, sampai-sampai apa pun yang ada dalam diri setiap orang itu juga bersifat sosial.
Termasuk harta kekayaan. Makna terdalamnya, ialah silahkan Anda kaya raya, sugih brewu blegedhu, sugih-singgih; namun seyogianya jangan mencederai nurani orang-orang tidak kaya, dengan cara Anda unjuk-kekayaan sedemikian menyakitkan.
Masyarakat yakin kok, Anda pasti sudah dan terus dermawan, meski begitu dermawan saja tidak cukup (karena Anda diberkati kaya); masih ada tuntutan sosial lainnya, yakni pandai-pandailah unjuk-kekayaan meskipun Anda memang sedang berbunga-bunga bahagia polllll. “Sakitnya, tuh……. di sini, lho !!
Selamat menikmati karunia kehidupan: si kaya sugih-singgih selamat menikmati karunia kehidupanmu; si miskin dan hidup pas-pasan, nikmati juga karunia kehidupan ini. Mari tetap bersinergi dalam kehidupan sosial ini: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Soegijapranata Catholic University