Cerpen Karya: Wurry Srie
MATAHARI pagi baru saja menampakkan diri, saat kubuka pintu rumahku yang sudah lama keropos pinggirnya dimakan rayap. Pintu yang hanya kubuka ketika aku di rumah. Sengaja kuambil cuti dua hari, karena ingin menyaksikan dengan jelas prosesi sedekah bumi di desaku kemarin. Hari ini, hari kedua cuti dan aku ingin di rumah saja.
Tidak biasanya jalan kecil depan rumahku sepi. Hanya satu dua motor yang lewat, padahal mbak sayur kampung sebelah dan para pekerja pabrik sepatu biasa lewat jam-jam segini. Pagi yang benar-benar sepi. Mungkin mbak sayur juga lagi libur sepertiku, dan para pekerja pabrik juga sedang ambil cuti demi sedekah bumi yang hanya ada setahun sekali.
Prosesi sedekah bumi atau biasa disebut “kabumi”, di desaku memang unik. Saking uniknya, banyak wartawan dari berbagai media datang meliput. Ada arak-arakan “jembul”, yaitu semacam gunungan yang terdiri dari susunan beberapa bilah bambu dipotong kecil-kecil, dibentuk sedemikian rupa hingga menjadi seperti rambut keriting. Keunikan ini hampir tidak dijumpai di daerah lain. Ada beberapa jembul yang mewakili setiap dukuh yang ada. Tidak ketinggalan, pertunjukan wayang kulit digelar malam sebelumnya.
Bentuk jembul yang besar dibutuhkan sejumlah orang yang kuat dan tangguh untuk memikulnya menuju rumah kepala desa. Usai upacara, setiap jembul dibawa kembali ke dukuh masing-masing. Nah, di sini para penonton, pengiring maupun pemikul kadang tak
bisa menguasai diri. Selalu ada insiden yang tidak bisa dicegah meski banyak aparat keamanan yang siap siaga. Dari yang bentrok sesama pemuda antar dukuh atau ada dendam lama yang sengaja dilampiaskan pada hari itu.
* * * * *
Udara pagi kali ini benar-benar dingin. Ada yang bilang, sedang musim bunga dan dinginnya membuatku malas kemana-mana. Kemarin belum sempat beres-beres kamar tidur sebelah, yang biasa dipakai abangku sekeluarga bila datang sebulan sekali. Ya, kami yatim piatu dua bersaudara. Berulangkali abang dan kakak ipar memintaku tinggal bersama mereka, tetapi aku tolak. Aku ingin mandiri dan menempati rumah peninggalan orang tua yang tak seberapa besar.
Pagi masih juga sepi dan belum tampak aktivitas warga yang berarti. Mungkin sebagian masih kecapekan dengan acara kabumi kemarin. Aku langkahkan satu kaki keluar pintu sambil menengok kiri kanan, tetap sepi. Hanya dalam hitungan detik sebelum aku
membalikkan tubuh kembali masuk rumah, terdengar kegaduhan di kejauhan. Suara orang-orang bersahutan tidak jelas apa yang diomongkan. Seakan ada puluhan orang yang bicara bersamaan. Suara itu makin lama makin dekat, dan aku tergoda untuk mencari tahu ada apa gerangan.
Benar saja, suara ribut-ribut itu makin dekat dan tibalah di depan rumahku. Tak terhitung warga yang akhirnya keluar rumah, termasuk aku, ingin tahu apa yang sedang terjadi. Terlihat seorang pemuda berkulit gelap digiring beberapa warga dalam keadaan tangan terikat di belakang. Ada lebam di dahi dan pipi kanan dengan topeng kain di rambut tampak habis dipakai. Mereka membawa pemuda tersebut ke rumah kepala desa yang ada di dekat jalan utama.
Dadaku berdegup kencang ketika aku dan tetangga mendekat ke barisan warga yang menggiring pemuda itu. Tepat ketika jarak tempatku berdiri dengan pemuda tersebut sangat dekat, dia melirik sekilas padaku. Walau sesaat, sorot matanya seolah mengancam yang membuat detak jantungku makin tak beraturan. Rambut gondrong dan jalannya sedikit pincang mengingatkan aku pada seseorang. Andai aku tak mampu menguasai diri, mungkin aku sudah lari dari lokasi saat kulihat ada tiga goresan luka di pipi kirinya yang masih memerah. Agar tak mengundang curiga, aku tetap di tempat bersama para tetangga hingga iring-iringan itu menjauh.
* * * * *
Malam itu, aku pulang dari tempat kerja di pabrik accu bersama teman-teman satu mobil antar jemput. Tepatnya hari terakhir sebelum kuambil cuti. Di tengah jalan tiba-tiba salah satu ban mobil bocor, sehingga kami serombongan agak kemalaman sampai rumah. Penumpang terakhir yang turun adalah aku. Itu pun tak sampai rumah karena gang sempit depan rumahku tak bisa dilalui mobil.
Sejauh ini keadaan desaku aman-aman saja. Belum pernah ada kejadian serius yang mengkhawatirkan. Kelompok ronda bapak-bapak masih tetap ada, tetapi lebih sering di lokasi dekat kelurahan. Badan yang letih dan kumal sepulang kerja membuatku ingin segera masuk rumah, mandi lalu tidur.
Tidak ada firasat apa-apa, dan dengan tenang aku pun membuka pintu yang masih terkunci seperti biasa. Baru dua langkah masuk rumah, tiba-tiba ada yang merangkul tubuhku dengan kasar dari belakang. Tangan kasar yang satunya mencoba membekap mulutku dengan sangat kuat. Ada aroma menyengat dari desah nafasnya. Aku sadar, aku dalam bahaya.
Tidak kusangka, seolah ada kekuatan tersembunyi dalam tubuh letihku. Aku tidak panik dan aku masih bisa berfikir jernih untuk membaca situasi. Dengan posisi tangan kirinya masih merangkulku sementara tangan kanan membungkam mulutku, ada celah yang sungguh tidak ia sadari. Aku coba sekuat tenaga melumpuhkan kakinya dengan cara menjegalnya sambil tangan kananku menyikut perutnya bagian bawah. Dia jatuh lalu bangun lagi berbalik menyerangku.
* * * * *
Kami duel hebat dan aku tahu dia mulai sempoyongan lantaran pengaruh minuman keras. Ini sangat menguntungkan bagiku. Serangannya kepadaku lebih banyak meleset dari sasaran. Persis ketika dia berusaha menindih tubuhku, kuraih topengnya dengan kekuatan penuh, sekaligus kucakar wajahnya. Dia spontan mengaduh lalu ambil langkah seribu sambil memegang pipi kirinya yang aku yakin terluka oleh kukuku.
Beberapa detik berikutnya, aku masih menata napas sembari berusaha berdiri menuju pintu dan menguncinya rapat. Kuhempaskan tubuhku di kursi lawas ruang tamu sambil mengucap syukur berulang-ulang. Sulit bagiku untuk percaya apa yang baru saja terjadi, tetapi ini nyata.
Malam itu aku tak mampu mengenali wajahnya dengan jelas karena bertopeng. Namun, cara jalannya yang sedikit pincang dan rambut gondrongnya masih melekat di ingatanku manakala dia lari. Tidak sia-sia aku belajar bela diri tapak suci sejak SMP. Dikaruniai tubuh tinggi, kuat, dan sehat tak henti-hentinya aku syukuri. Apa yang terjadi bukan karena aku yang hebat, tetapi semata-mata ada yang melindungi aku.
Setelah yakin iring-iringan sudah tak tampak, aku masuk rumah sambil masih deg-degan atas apa yang barusan kulihat. Sempat kudengar dari para tetangga, pemuda tersebut adalah penduduk kampung sebelah yang sudah lama menjadi incaran aparat kepolisian. Keonaran yang terjadi saat sedekah bumi kemarin tak lepas dari ulahnya. Para pemikul jembul yang kebanyakan pemuda telah ia racuni dengan miras bahkan sudah berani mengedarkan narkoba pula.
— Juli 2023 —