“Pasir hitam di pesisir Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, ternyata ladang subur. Cabai Pantai Kulon Progo (PaKu) jadi unggulan pertanian setempat yang menyuplai stok ketahanan pangan cabai nasional. Hasil panen yang bagus ditunjang alat pertanian modern penyiraman otomatis berbasis energi listrik yang lebih efisien. Kolaborasi juga diwujudkan, pemuda desa berinovasi membuat alat cahaya perangkap hama serangga berbasis listrik energi baru terbarukan (EBT)…”
KUPU-KUPU berwarna hijau muda beterbangan di sejumlah desa di Utara Jalan Daendels Pantai Selatan (Pansela) Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, Sabtu 26 Oktober 2024. Hujan mengguyur lebat pada malam hari tadi. Itu cukup membanjiri areal persawahan dengan tanah yang retak-retak disengat kemarau.
Sejak matahari terbit, serangga musiman itu terbang keluar dari kawasan hutan, dan kebun-kebun kelapa yang merimbuni permukiman desa. Melayang bermigrasi dari Timur ke Barat menyeberangi jalan-jalan desa. Menemani semringah petani yang bersiap mengolah tanah menyambut musim penghujan ini.
Menuju seberang Selatan Jalan Daendels, di Kalurahan Bugel, Kapanewon Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, suara debur ombak sayup-sayup menderu. Berjarak 200 meter dari garis pantai ke Utara, hamparan tanaman cabai merah keriting, dan rawit tumbuh subur di lahan berpasir hitam. Pohon-pohon kelapa tumbuh rapi meneduhkan tanaman tumpangsari di bawahnya itu.
Cabai merah keriting merona mewarnai kebun sejak beberapa hari lalu. Rimbunnya hampir menyamai lebatnya pertumbuhan daun. Pun dengan cabai rawit yang tumbuh lebih tinggi mencapai pinggang orang dewasa. Dahannya cukup kuat menyangga lebatnya buah.
Sukarman (66), Ketua Kelompok Tani Gisik Pranaji, Padukuhan II, Kalurahan Bugel, Kapanewon Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, siang dan malam terus memantau kebun. Awal musim penghujan ini komoditas cabai setempat sudah siap panen raya.
“Puncak panen, hitungannya pada pertengahan November (2024),” kata Sukarman.
Sukarman menjelaskan, di sepanjang Pantai Kulon Progo terdapat 11 kelompok tani yang mengelola luasan lahan sekira 600 hektar. Saat ini sekira 300-350 hektar ditanami komoditas yang dikenal sebagai Cabai Pantai Kulon Progo (PaKu).
Dia merinci setiap 1.000 meter persegi lahan berpasir hitam itu, rata-rata mampu menghasilkan panen cabai merah keriting sebanyak 1,5-2 ton tiap musim tanamnya. Sementara cabai rawit menghasilkan 0,8-1 ton.
Komoditas hortikultura lain yakni melon juga tumbuh subur pada lahan seluas sekira 100 hektar, dan semangka 250 hektar. Pada dua komoditas buah itu, tiap 1.000 meter persegi bisa panen mencapai tiga ton.
“Puncak panen biasanya bisa mencapai 60-70 ton. Dijual melalui pasar lelang, dibeli pedagang didistribusikan ke berbagai daerah termasuk ke Jakarta,” kata Sukarman.
Dari luasan 600 hektar lahan itu, kini menjadi tulang punggung perekonomian lebih dari 100 kepala keluarga. Dalam satu kelompok tani rata-rata terdapat 100 KK. Adapun jumlah rata-rata setiap satu KK mengelola 2.000-5.000 meter persegi lahan.
“Bervariasi jumlahnya (lahan),” kata Sukarman.
Listrik, Efisiensi, dan Ketahanan Pangan
Apiknya hasil pertanian komoditas hortikultura cabai, melon, semangka, hingga bawang merah di wilayah itu tak hanya mengandalkan pupuk, dan kesuburan tanah. Terdapat dukungan akses infrastruktur jalan hingga akses pengairan yang memadai sebagai jantungnya pertanian.
Sukarman bercerita, dahulu sebelum era awal 1980-an infrastruktur pengairan wilayah tepi pantai pesisir Kulon Progo masih tidak memungkinkan menunjang pertanian. Hari ini petani tentu semringah, sebab akses pengairan sudah mencukupi.
Bukan hal yang mudah menyediakan infrastruktur pengairan untuk pertanian di wilayah pesisir pantai itu. Petani setempat telah mendapat opsi pengairan baik dari aliran irigasi, dan air tanah.
Saat itu listrik belum menjangkau wilayah pertanian di pesisir Pantai Kulon Progo. Petani hanya mengandalkan alat penyedot air berupa pompa diesel dengan bahan bakar minyak (BBM). Meski infrastruktur itu sudah memadai, Sukarman menilai hal itu masih boros pengeluaran.
Petani butuh alternatif energi baru yang lebih efisien. Apalagi, kini sistem pengairan pada kebun cabai itu mulai banyak menggunakan penyiraman otomatis berupa sprinkler. Ya, petani pilihannya jatuh pada energi listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero).
Sukarman membandingkan penggunaan BBM dan listrik untuk menunjang kebutuhan pengairan tanaman cabai menggunakan teknologi sistem irigasi sprinkler tersebut. Di mana bisa menghemat biaya pengeluaran hingga 75 persen.
“Sprinkler dinyalakan selama 30 menit setiap hari. Penyiraman dua kali per hari. Pagi 15 menit, dan sore 15 menit,” kata Sukarman.
Dia mengatakan, bila penyiraman itu menggunakan mesin diesel, maka tiap lahan seluas 1.000 meter persegi akan menghabiskan bensin 0,5 liter. Artinya bila luasan lahan satu hektar akan menghabiskan lima liter BBM.
“Ini kalau menggunakan BBM. Kalau menggunakan listrik biayanya hanya seperempatnya saja,” ujarnya.
Kemudian untuk komoditas melon, dan semangka, penyiramannya menggunakan sistem irigasi drip infus. Penyiraman dilakukan saat pagi hari selama sekira 15 menit.
Infrastruktur kelistrikan PT PLN sudah menjangkau dan mendukung ketersediaan dan keberlangsungan pertanian cabai di salah satu wilayah lumbung cabai nasional itu. Ketersediaan cabai cukup penting di Indonesia, mengingat bumbu pedas itu merupakan bahan pokok yang sering mengundang inflasi.
Kehadiran energi listrik PT PLN pada kawasan penghasil cabai di pesisir pantai Kulon Progo, DI Yogyakarta itu merupakan bentuk dukungan dan kolaborasi untuk dunia pertanian mendukung ketahanan pangan.
PT PLN saat ini punya program Electrifying Agriculture (EA) juga mendukung tumbuhnya sektor pertanian, perkebunan, hingga perikanan di Indonesia sebagai negara agraris dan maritim.
General Manager PT PLN UID Jawa Tengah & DI Yogyakarta, Sugeng Widodo, menjelaskan, penyaluran program Electrifying Agriculture di wilayah kerjanya pada tahun ini hingga September 2024 mencapai 6.246 pelanggan.
“Total jumlah daya yang terpasang mencapai 22.746 megavolt-ampere (MVA),” kata Sugeng, Kamis 14 November 2024.
Dia memerinci, jumlah pelanggan Electrifying Agriculture pada sektor pertanian dan perkebunan atau produk Super Panen pada tahun ini hingga September 2024 sebanyak 5.214 pelanggan.
“Atau sebanyak 83,5 persen dengan jumlah daya tersambung total 16,43 MVA atau 72,2 persen,” kata dia.
Selanjutnya, pelanggan Electrifying Agriculture pada sektor peternakan atau produk Super Chicken pada tahun ini hingga September 2024 total sebesar 761 pelanggan atau 12,2 persen. Jumlah daya yang tersambung total mencapai 3,6 MVA atau 15,7 persen.
Terakhir pada program Electrifying Agriculture sektor perikanan atau produk Super Chuan pada tahun ini hingga September 2024 total sebesar 226 plg atau 3,6 persen. Jumlah daya yang tersambung total 2,4 MVA atau 10,5 persen.
PLN Dukung Sektor Agrikultur
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, menambahkan, program Electrifying Agriculture merupakan inovasi untuk mengajak para pelaku di sektor agrikultur untuk beralih menggunakan alat-alat dan mesin produksi berbasis listrik sehingga lebih maju dan modern.
Melalui program itu, kata Darmawan, PLN ingin mendukung pelaku usaha di sektor agrikultur untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi operasional, dan menjadi lebih ramah lingkungan.
“Kami berupaya menciptakan Creating Shared Value (CSV) bagi masyarakat. Kami yakin dengan penggunaan berbagai inovasi teknologi agrikultur berbasis listrik membawa pelaku usaha menjadi lebih modern yang membuat produktivitas mereka meningkat signifikan dibandingkan dengan menggunakan energi fosil,” kata dia Darmawan.
Program ini juga menjadi bagian dari langkah strategis perseroan dalam upaya mendukung pengentasan kemiskinan melalui sektor ketenagalistrikan.
“Lewat program kami juga mendukung Pemerintah untuk menguatkan ketahanan pangan nasional,” kata Darmawan.
Lebih lanjut, Program Electrifying Agriculture disebut semakin diminati para pelaku usaha di sektor agrikultur seperti pertanian, perikanan, perkebunan hingga peternakan.
Capaiannya hingga akhir 2023, jumlah penyaluran program ini lebih dari 241.700 pelanggan. Angka tersebut meningkat sekitar 25 persen dibandingkan tahun 2022 yang hanya sebesar 193.058 pelanggan.
Dirincikan, hingga akhir tahun 2023, total daya tersambung program EA sebesar 3.647 Mega Volt Ampere (MVA) atau tumbuh sekitar 16 persen dari 2022 sebesar 3.128 MVA.
Konsumsi listrik program EA juga mengalami peningkatan. Pada akhir tahun 2023, konsumsi listrik mencapai lebih dari 5,12 Terawatt hour (TWh), meningkat sekitar 9 persen dibanding akhir tahun 2022 sebesar 4,66 TWh.
Tantangan Hama
Petani di pesisir Kulon Progo itu tentu punya tantangan lain. Sukarman mengatakan, bertani tanaman cabai tidak mudah dan murah dan tiba-tiba mampu panen besar. Salah satu hantu bagi petani cabai yakni hama serangga, terlebih bila musim pancaroba seperti sekarang ini.
“Cabai dan bawang merah hamanya banyak, apalagi masuk musim penghujan,” ucap Sukarman.
Ada dua tipikal serangga yang bisa merusak tanaman, yakni ragam kupu-kupu hingga kutu-kutuan. Hama serangga ada yang aktif pada siang dan malam hari. Bila sudah bertelur, maka hama serangga seperti klaper (salah satu jenis kupu-kupu) akan sangat merepotkan petani.
“Satu hama jenis kupu-kupuan telurnya kan banyak, kalau menetas semua merepotkan sekali. Ulatnya kecil, begitu menetas dia masuk ke dalam cabai. Kalau dilihat sepintas tidak kelihatan ulatnya, tapi di dalamya sudah ada dan tidak bisa dikendalikan dengan obat (pestisida),” kata dia.
Bila hama sudah menyerang, penggunaan pestisida yang tidak ramah lingkungan akan digunakan secara berlebih. Padahal pada kondisi biasa saja penyemprotan pestisida untuk pencegahan hama bisa dilakukan 2-3 hari sekali.
“Karena sekarang ini penggunaan pestisida itu sudah luar biasa banyak (untuk cabai). Padahal musim seperti ini serangan hama ulat itu banyak. Kalau tanaman sudah kena (diserang) ulat kemungkinan 70 persen akan gagal panen itu untuk cabai maupun maupun bawang merah,” kata dia.
Dia memerinci, sekali penyemprotan memerlukan pestisida yang harganya Rp250 ribu bahkan lebih. Penyemprotan itu dilakukan dua hari sekali. Kemudian dua-tiga hari selanjutnya dilakukan penyemprotan lagi.
“Kalau luasan lahan 1.000 meter persegi bisa habis Rp5-10 juta hanya untuk beli pestisida kimia kalau sedang terserang hama,” katanya.
Padahal lahan pertanian Cabai PaKu di Kulon Progo yang dipimpinnya bisa mencapai 650 hektar. Penggunaan pestisida kimia yang tidak ramah lingkungan tentu mengkhawatirkan. Hal itu juga bisa membuat modal petani kewalahan.
Kolaborasi dengan Klaper-X Berbasis EBT
Ihsan Muchlis Amirudin (20), pemuda desa setempat yang juga anak petani mengembangkan sebuah alat cahaya perangkap hama serangga yang dinamai Light Trap Insect Klaper-X. Dia menaruh perhatian akan masalah hama yang kerap menyerang tanaman cabai.
Sejak duduk di bangku SMK jurusan elektronika atau pada 2020, dia mulai mengembangkan Klaper-X berbekal alat-alat dari barang bekas. Di antaranya pipa plastik, plat besi, baskom penampung air sabun, baterai, komponen kelistrikan, panel surya, dan lain-lain.
“Awalnya dari awal Covid-19 pada 2020. Di Desa Bugel banyak keluhan serangan hama yang menyerang tanaman. Petani masih menggunakan cara konvensional menanganinya dengan pestisida yang mahal dan tidak ramah lingkungan,” kata Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu.
Klaper-X yakni dengan menggunakan lampu ultraviolet yang tersambung dengan daya baterai dari energi ramah lingkungan panel surya mini berkapasitas 6 Va. Tugasnya sebagai pencegahan sebelum hama berkembang biak.
“Awalnya buat tiga lalu dipasang sendiri di sawah. Lalu tetangga melihat dan meminta dibuatkan. Ya cuma dibuatkan saja, kan belum untuk dijual saat itu karena ingin membantu,” kata dia.
Cara kerja alat ini ditempatkan di kebun-kebun cabai. Pada malam hari akan menyala untuk menarik perhatian serangga. Serangga akan jatuh terjebak pada baskom di bawahnya yang telah berisi air sabun.
Selama setahun lebih dia melakukan riset, pengembangan, hingga penyempurnaan alat. Kini, Klaper-X dinilai cukup berhasil sebagai pencegahan hama tanaman, bahkan disebut bisa mengurangi 75 persen penggunaan pestisida. Kemudian mampu meningkatkan hasil pertanian hingga berkali lipat.
Alat ini sudah terjual setidaknya 2.500 unit ke pelosok nusantara hingga saat ini. Dinas Pertanian setempat hingga Ditjen Hortikultura Kementerian Pertanian sudah memesan alat ini untuk diujicobakan ke berbagai daerah.
“Kalau luar daerah, dipesan dari Gunungkidul, Malang, Aceh, Bali. Yang pesan ada dari instansi pemerintahan dan masyarakat umum. Mereka tahu alat ini ada yang melihat YouTube,” kata dia.
Lebih lanjut, pengembangan Klaper-X bahkan sudah didaftarkan sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Ihsan butuh waktu riset dan pengembangan setidaknya setahun dalam penyempurnaannya.
Sukarman mengaku senang dengan hadirnya alat tersebut sebagai pencegahan hama. Alat itu, kata dia, sebetulnya sangat efektif karena banyak sekali hama yang tertangkap.
“Kalau dengan pestisida belum tentu kena, tapi pakai alat ini hampir pasti kena. Misalnya kupu-kupu (klaper), itu induknya kena sebelum dia bertelur. Klaper itu telurnya jadi ulat, ini kalau sudah jadi ulat susah sekali dikendalikan, maka ditarik dengan lampu alat ini. Maka kalau menjebak klapernya lebih dahulu lebih aman,” kata dia.
Sukarman berharap akan banyak petani setempat khususnya mulai pasang alat cahaya perangkap hama serangga untuk solusi mengendalikan hama cabai. Tantangan, dia terus mengedukasi petani agar mulai menggunakan alat yang lebih ramah lingkungan daripada penggunaan pestisida kimia.
“Tapi memang perlu terus mengedukasi. Namanya masyarakat umum merasa kalau belum pakai pestisida itu belum marem (mantap) begitu. Sekarang dari kampus UNY itu beli dibagikan ke petani, da merasakan dampaknya,” katanya.
Sebagai solusi pencegahan hama, dia berharap pemerintah harus lebih banyak merespon dan memberi dukungan harus lebih kuat untuk kesuksesan hasil panen cabai menjaga ketahanan pangan.
Bermula Lahan Marjinal
Suburnya kebun-kebun cabai di pesisir Kulon Progo itu punya sejarah panjang. Sebelum 1980-an daerah berpasir hitam di tepi pantai tersebut awalnya hanya lahan marginal yang terbengkalai dan tidak subur.
Saat itu infrastruktur sumber pengairan belum ada, pun dengan angin laut yang disebut punya kadar garam, dan korositas tinggi. Pada akhirnya tidak populer untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian.
Hingga pada awal 1980-an keadaan mulai berubah 180 derajat. Pasir hitam yang gersang mulai menghijau untuk pertanian. Masyarakat setempat mulai mendapat pendampingan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kulon Progo.
Lahan berpasir hitam yang ternyata subur itu mulai dimanfaatkan untuk budidaya cabai. Sumber Daya Alam (SDA) dimanfaatkan penuh, dengan sentuhan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), ditunjang teknologi pertanian.
Sukarman, bilang, pada saat itu lahan-lahan di tepi pantai tersebut minim infrastruktur, dan semua masih manual. Infrastruktur jalan belum ada, begitupun hal yang sama pentingnya yakni akses irigasi yang baik, sehingga dibutuhkan peran pemerintah.
“Setelah mendapatkan bantuan jaringan dan irigasi, dan jalan usaha tani, lahan tersebut berkembang dengan sangat pesatnya. Kami mendapat pendampingan dari Dinas Pertanian Provinsi maupun Kabupaten, serta Perguruan Tinggi,” katanya.
Untuk menunjang perekonomian yang terintegrasi, juga sudah dibuat pasar lelang. Petani dimudahkan, usai memetik cabai lalu bisa langsung di antar ke pasar lelang. Panitia pasar lelang menghubungkan yang punya peran menghubungkan produk ke pedagang. Artinya petani tidak usah terlalu pusing memikirkan pemasarannya.
Posisi tawar petani juga sudah meningkat, dengan pemasaran yang bisa dilakukan daring. Cabai juga diolah menjadi abon cabai atau serbuk cabai kering, sambal kemasan, hingga olahan pedas lainnya.
Lumbung Cabai
Data dari Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kulon Progo, wilayah berjuluk ‘The Jewel of Java’ itu punya 58.627 hektar terbagi 87 Kalurahan, 12 Kapanewon, 1 Kelurahan, dengan 933 Dusun. Khusus luas lahan di pesisir pantai mencapai 2.930 hektar.
Pada 2021, Sutedjo, Bupati Kulon Progo saat itu, bilang, sumbangan perekonomian tertinggi wilayah setempat berasal dari sektor pertanian sebesar 14,56 persen.
“Potensi lahannya cukup luas, panjang pantai 25 km telah berinovasi (pengembangan komoditas cabai). Cabai PaKu telah menjadi satu dari 12 daerah pemasok cabai nasional,” kata Sutedjo Melansir YouTube Kulon Progo TV, yang dikelola Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kulon Progo yang diunggah 1 Juli 2021.
Lebih lanjut, data yang diunggah pada laman pertanian.kulonprogokab.go.id 29 Agustus 2024, komoditas Cabai PaKu mampu menyuplai 70 persen kebutuhan cabai di DI Yogyakarta. Secara nasional bahkan mampu menyumbang 21 persen dari kebutuhan cabai nasional.
Bank Indonesia juga kerap menyalurkan teknologi pertanian untuk sentra pertanian tersebut. Cabai merupakan salah satu komoditas kebutuhan pokok masyarakat yang rawan membuat inflasi, sehingga perlu dijaga stok dari hulu.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kulon Progo juga berupaya membuat program untuk memperbaiki produksi sebagai nilai tambah bagi para petani. Salah satunya inovasi cabai Pantai Kulon Progo (PaKu) yang diolah menjadi cabai kering, hingga sambal kemasan.
Diaz Azminatul Abidin