blank
Xavi Hernandez. Foto: barca

blankOleh: Amir Machmud NS

// waktu membawa palu penentu/ ia bertahan dalam utuh sejarah/ ia berubah dalam tuntutan adaptasi/ atau bergerak atas nama revolusi//
(Sajak “Ke Mana Tiki-Taka”, 2023)

BARCELONA seharusnya tak tercegah untuk bertahan memuncaki klasemen dan mengangkat trofi La Liga, musim ini.

Ya, seharusnya!

Kata “seharusnya” ini beraksen “syarat”, yakni kebergantungan pada sejauh mana konsistensinya merawat “etalase performa”.

Dengan segala romantikanya, Xavi Hernandez telah membawa aura perubahan. Benar-benar bergerak: dari Barcelona yang tertatih-tatih dan “renta” di musim-musim terakhir, menjadi tim yang kembali tampak layak memanggul nama besar.

Pun, perubahan yang dia bawa seperti letikan api revolusi: dari Blaugrana yang lekat dengan citra keindahan tiki-taka, menjadi Azulgrana yang sesekali mengalirkan bola dalam alur pragmatis; tak elok-elok amat tetapi mematikan.

Xavi, sang arsitek, pada masanya adalah salah satu elemen terpenting seni sepak bola indah Barca dan Spanyol. Dia seniman dan pemimpin yang menggerakkan orkestrasi, mengatur irama permainan. Dialah poros kerancakan possession football warisan Johan Cruyff yang dikembangkan oleh Pep Guardiola.

Dia sempat mengarsiteki All Sadd di Liga Qatar, dan membentuk klub itu bercita rasa keindahan tiki-taka. Tangan dingin Xavi membangun citra kelayakan diri sebagai pelatih Barca masa depan; dan itu tak lama dilewati sesegera kegagalan Ronald Koeman untuk membawa perbaikan Pasukan Camp Nou.

Barca yang anjlok secara performa, psikologi, dan tradisi, perlahan-lahan dia bimbing kembali ke “jalan yang benar”, dia bawa membuka memori “cara menang”, dan “ingat jalan kejayaan”.

Xavi pun sempat mengalami fase meragukan pada musim lalu. Dalam 50 laga pertama, dia hanya menghadirkan 28 kemenangan, 11 seri, dan 11 kekalahan. Dan, itu dicatat sebagai raihan terburuk pelatih Barcelona sejak 2001.

Langkah-langkahnya jelas. Dia padukan penggawa-penggawa muda dengan rekrutan elite. Dimatangkannya Gavi, Pedri, Ferran Torres, Ronald Araujo, dan Ansu Fati. Direkrutnya Robert Lewandowski, Raphinha, Franck Kessie, Pablo Torres, Marcos Alonso, Andreas Christensen, dan Eric Garcia. Dipertahankannya Marc-Andre ter Stegen, Oesman Dembele, Sergi Roberto, Frenkie de Jong, Jordi Alba, Jules Kounde, dan Sergio Busquets.

Perlahan tapi Pasti
Lewat dinamika performa dalam dua musim terakhir, perlahan-lahan Xavi mulai membawa pasukannya bersaing dalam perburuan gelar.

Memimpin klasemen dengan selisih 11 poin dari Real Madrid, Busquets dkk memperlihatkan soliditas barisan belakang, keseimbangan lini tengah dalam transisi menyerang dan bertahan, serta kedalaman skuad di lini serang. Lewandowski dan Raphinha memberi jaminan ketajaman Barca pada musim ini.

Barca-nya Xavi memang belum seelok masa-masa kejayaan tiki-taka. Sesekali kombinasi permainan menyerang nan aduhai itu muncul sebagai etalase dasar permainan Xavi, namun ia juga memberi keleluasaan ekspresional dengan bola-bola direct ke barisan penyerang.

Apakah ini “revolusi kecil”, atau sekadar konsekuensi untuk bersikap pragmatis? Dia paham tak mudah menemukan 11 pemain yang secara total mampu memainkan tiki-taka dalam kemurnian filosofinya?

Satu trofi, Supercopa de Espana 2023 sudah dibendaharakan. Pembuktian progres capaian Xavi dinanti di ujung musim La Liga nanti, setelah kegagalan pahit di panggung Liga Champions yang men-down grade Barcelona sebelum ini.

Lika-liku Barca mirip dengan “kasus serupa” di Liga Primer. Manchester United mengarungi perjalanan rumit. Setan Merah kehilangan “maqam” tradisi, jatuh bangun mengejarnya, dan di bawah Eric ten Hag perlahan-lahan mulai menemukan titik cerah untuk kembali…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah