blank
Dukungan luar biasa dari suporter yang langsung datang ke stadion, plus netizen yang mendukung di dunia maya, menjadi penambah semangat Timnas Indonesia. Foto: dok/pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// pada akhirnya adalah rasa/ pada akhirnya adalah harga diri/ keamanan dan kenyamanan/ menjadi ukuran sikap dan perilaku/ dan, kita pasti bisa…//
(Sajak “Jaminan Keamanan”, 2024)

BAHRAIN membuat respons psikologis dengan aksen “mind game”, perang urat syaraf terhadap Indonesia.

Asosiasi sepak bolanya, BFA menyampaikan permintaan kepada AFC/FIFA berisi poin-poin konsiderans agar pertandingan Grup C Pra-Piala Dunia Zona Asia yang merupakan hak kandang Indonesia, dipindah ke negara netral.

Bahrain merasa ada ancaman atau atmosfer intimidatif dari perkembangan unggahan netizen fans tim nasional Indonesia di media sosial.

Semua merupakan imbas dari hasil laga di Riffa yang berakhir 2-2 pada 10 Oktober lalu. Indonesia merasa seharusnya menang 2-1, sampai kemudian wasit Ahmed Al-Kaf dari Oman yang memimpin pertandingan memberi tambahan waktu tiga menit sampai terciptanya gol penyama skor, padahal extra time enam menit sudah berakhir.

Kekecewaan yang diikuti berbagai ekspresi unggahan di media sosial itu juga dilengkapi protes resmi PSSI ke AFC, tetapi tidak mendapat respons memadai.

Yang berkembang justru sikap Bahrain dan AFC, yang memandang tidak ada masalah dengan pertandingan tersebut. Bahkan BFA belakangan meminta agar laga kedua, 25 Maret 2025 digelar di negara netral demi keamanan tim mereka.

PSSI melalui exco Arya Sinulingga sudah memberi tanggapan atas permohonan Bahrain ke AFC, dengan menjamin kemananan dan keselamatan seluruh awak tim. Kesantunan dan keramahan bangsa Indonesia dalam melayani tamu, termasuk bukti kelancaran putaran final Piala Dunia U17 2023, menjadi penguat jaminan.

Respons AFC terhadap permintaan Bahrain malah memicu kemarahan netizen Indonesia. Mereka menilai, AFC bersikap cepat menanggapi sikap BFA, sementara merespons lambat komplain Indonesia ketika tentang kontroversi dalam laga di Bahrain.

AFC menyatakan telah mengetahui kekhawatiran BFA atas keselamatan dan keamanan timnas mereka pada laga tandang Grup C melawan Indonesia, 25 Maret 2025. AFC memandang masalah ini secara serius dan berkomitmen penuh untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan seluruh pemain, ofisial, dan fans terhadap segala macam pelecehan dan ancaman.

Mereka akan mendiskusikan masalah ini lebih jauh dengan FIFA, BFA, dan PSSI untuk menciptakan lingkungan yang aman dan terjamin untuk seluruh pemangku kepentingan dalam laga tersebut.

Imbas Kekecewaan
Setidak-tidaknya, saya mencatat dua hal dalam masalah ini.

Pertama, perkembangan ofensif di media sosial, terutama yang masuk ke medsos BFA, sejatinya adalah imbas kekecewaan fans sepak bola Indonesia atas apa yang berlangsung di Riffa. Kepemimpinan kontroversial wasit Al Kaf sulit diterima, yang bagi timnas Indonesia lebih menjadi tambahan referensi tentang atmosfer ketidakobjektifan.

Bukankah memang ada wasit-wasit yang berkemungkinan menimbulkan persoalan? Dan, yang bisa dilakukan PSSI adalah mengirim nota protes ke badan sepak bola internasional terkait.

Kedua, kejadian-kejadian tidak sportif suporter Bahrain di Stadion Nasional di Riffa juga menjadi referensi yang lain. Sebelum kasus wasit Al Kaf, mereka mengganggu Jepang dengan sinar laser yang diarahkan ke wajah sejumlah pemain, walaupun Bahrain akhirnya kalah 0-5.

Jejak buruk ini tidak bisa disepelekan, dan itu dilengkapi dengan performa kontroversial wasit yang memimpin pertandingan melawan Indonesia.

Maka saling introspeksi seharusnya menjadi sikap terbaik. Kalau Bahrain tidak mau terintimidasi ketika nanti tandang ke Jakarta, seharusnya mereka tidak berlindung di balik permohonan memindah laga ke AFC. Artinya, mereka “kena mental” menanggapi serangan netizen.

Netizen, di mana pun, akan mengunggah sikap “selalu benar” dengan apa yang disampaikan. Mereka bisa mengekspresikan apa saja. Sekarang pun sudah bisa disimak suara mereka, mengunggah apa saja menanggapi permintaan Bahrain agar laga kandang melawan Indonesia dipindah ke negara lain.

Pendewasaan
Dinamika ini, pada satu sisi menjadi poin momentum pendewasaan suporter sepak bola Indonesia. Walaupun kita memahami sikap netizen, namun unggahan-unggahan ekstrem yang berisi pelecehan, intimidasi, dan ancaman fisik; jaminan keamanan perlu menjadi pertimbangan demi posisi timnas sendiri, yang sedang berjuang.

Lalu apakah pendewasaan bisa diukur dari ungkapan-ungkapan di media sosial?

Itu hanya sebagian dari indikator sikap. Bahwa fans sepak bola biasa “berteriak”, atau orang Jawa bilang “ndelok” = “kendele alok”, beraninya hanya berujar.

Kata Arya Sinulingga, “Soal di media sosial, ya namanya netizen Indonesia itu ramai saja, tetapi sebenarnya mereka ramah dan baik. Bangsa kita sangat ramah…”

Jadi bukankah sesungguhnya itu merupakan hal alamiah?

Persoalannya, apa kaitannya dengan potensi perilaku? Bagaimana menjaga perilaku agar tetap dalam koridor aman dan nyaman?

Sikap dan perilaku umumnya juga berpangkal pada pemicu. Tidak selalu, secara tiba-tiba terungkap reaksi tanpa terlebih dahulu ada aksi. Boleh jadi, postingan-postingan ekstrem bisa muncul dalam menanggapi kondisi ekstrem sebelumnya. Toh kita juga telah membuktikan mampu memberi pelayanan yang baik dan jaminan keamanan ketika menjamu tim-tim lain sebelumnya.

Maka AFC dan FIFA harus memberi sikap adil dengan mempertimbangkan semua ekosistem dari laga di Riffa. Dinamika yang sekarang berkembang tak mungkin terlepas dari pernak-pernik laga pertama itu, walaupun untuk memperkuat sikap menolak bermain di Indonesia, Bahrain juga berusaha menggandeng pihak ketiga seperti organisasi hak asasi manusia internasional, dan media.

Pada sisi lain, menjamin keamanan dan kenyamanan ketika tahun depan Bahrain away ke Jakarta, juga bakal menguji kedewasaan kalangan sepak bola kita, dari pemerintah, federasi, hingga kelompok-kelompok suporter.

Setelah kekalahan 1-2 dari Cina dan Qiangdu, hasil imbang 1-1, 0-0, dan 2-2 melawan Arab Saudi, Australia, dan Bahrain, semua unsur tim harus terdorong untuk bersatu padu memaksimalkan laga-laga selanjutnya, terutama di kandang sendiri. Jangan sampai permohonan Bahrain menjadi “mind game” yang mempengaruhi kita, dan dijadikan justifikasi oleh otoritas sepak bola Asia dan dunia.

Pada sisi lain, kemanan dan kenyamanan tim mana pun untuk berlaga di Indonesia, menjadi pertaruhan dan harga diri bangsa. Di semua bidang…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah