Oleh: Amir Machmud NS
TIGA nama, tiga raja.
Kenang dan simaklah mereka: “Raja Bola” Pele, “The Greatest” Muhammad Ali, dan “Der Kaizer” Franz Beckenbauer.
Orang-orang besar, tiga penguasa di dua cabang olahraga ini pernah memberi warna dan menguasai pemberitaan media pada masanya, dalam rentang 1950-an hingga 1980-an.
Ketiganya dikenal sebagai atlet-atlet yang sadar tentang fenomena mediatika, paham tentang tuah budaya pop yang bakal menjadi penentu “pasar” dalam industri olahraga.
“Flamboyanisme” terasa benar dalam tampilan mereka.
Kini tinggal Franz Beckenbauer yang masih hidup. Pele, yang bernama asli Edson Arantes do Nascimento, Jumat (30/12) dinihari WIB meninggal dunia dalam usia 82, sedangkan Ali — dengan nama lahir Cassius Clay — sudah pergi abadi pada 3 Juni 2016.
The Greatest
Muhammad Ali, yang sempat mengklaim diri sebagai The Greatest mendapat julukan mediatika sebagai Si Mulut Besar. Dia suka bersesumbar menjelang duel-duelnya sebagai jagoan kelas berat dunia.
Dia menjadi magnet karena pernyataan-pernyataan yang kontroversial, “memasarkan dirinya” dengan aneka “ulah” yang menjadi sumber perhatian media. Ketokohan Ali bukan hanya tampak di ring tinju. Dia juga ditakzimi sebagai figur berpengaruh.
Klaim naratif “terbang seperti kupu-kupu, menyengat seperti lebah” menjadi salah satu ungkapan paling sohor pada masanya.
Ketampanan, karisma, dan pencapaian prestasi Ali menjadikannya sebagai “lelananging jagat”. Ali adalah play boy.
Dia mewariskan “ilmu pemasaran” bagi industri olahraga profesional. Cara yang sama, dengan “bermulut besar”, mirip yang pada masa sekarang ditempuh oleh Jose Mourinho.
Petinju penuh pesona itu meninggal dunia pada 3 Juni 2016 dalam usia 74.
Pele
Pele berkarakter jauh lebih kalem, namun dalam hal keflamboyanan dan reputasi sebagai penakluk lawan jenis, peraih tiga kali (1958, 1962, 1970) Piala Dunia itu sama dengan Muhammad Ali.
Pada masa-masa puncak tinju dunia yang ingar-bingar karena kejayaan Ali, dunia sepak bola juga menobatkan Pele sebagai “raja”.
Keterampilan mengolah si kulit bundar, persembahan untuk tim nasional Brazil, rekor-rekor, dan keteladanan yang diwariskan untuk sepak bola dunia telah menjadikan olahraga ini sebagai magnet tujuan bagi anak-anak muda.
Pecinta sepak bola mengidolakannya dan terobsesi menjadi pemain nomor 10 yang berkemampuan ala Pele.
Hingga akhir hayat, para rival dan sahabat selalu respek dan mengakui Pele sebagai bakat terhebat yang pernah dilahirkan di semesta sepak bola.
Bahkan hingga sepak bola dunia tak henti membandingkan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo pada satu dekade terakhir, Pele masih juga dipersaingkan dengan Diego Maradona, “Sang Dewa” Argentina yang sudah lebih dulu meninggal dunia pada 2020.
Pele hidup dan berkembang di tengan seniman-seniman bola hebat Brazil. Dia juga sempat mengalami masa-masa persaingan yang hebat dengan Gianni Rivera, Josep Masopust, Bobby Charlton, dan Franz Beckenbauer.
Der Kaizer
Dan, Beckenbauer melengkapi daya tarik “pasar” olahraga yang telah “dibuka” oleh Muhammad Ali dan Pele.
Kapten tim nasional Jerman Barat dan Bayern Muenchen ini memperkenalkan gaya bermain seorang bek tengah, sebagai libero dengan visi bermain yang anggun. Cara dia mematahkan serangan sungguh indah. Kepemimpinannya juga menonjol.
Dia punya teknik bertahan yang anggun sebagai sweeper, sosok terakhir sebelum kiper, dan visi membangun serangan dari lapis paling bawah. Beckenbauer memainkan peran itu dengan anggun di Piala Dunia 1966, 1970, dan puncaknya pada 1974.
Dua kali dia menerima anugerah Ballon d’Or, pada 1972 dan 1976. Dalam sejarah, hanya dua pemain belakang pasca-Beckenbauer yang mampu menggaet trofi Pemain Terbaik Dunia itu, yakni Mathias Sammer pada 1996 dan Fabio Cannavaro pada 2006.
Tanda-tanda keistimewaan sudah terlihat pada Piala Dunia 1966. Dia terpilih sebagai Pemain Muda Terbaik.
Tampan, berkarisma, dan anggun, tak berlebihan dia dijuluki “Sang Kaisar”. Daya tariknya di dalam maupun keflamboyanannya di luar lapangan membuat dia dikenal sebagai play boy.
Di antara tiga “raja”, kini tinggal Franz Beckenbauer yang masih ada.
Selamat jalan, Pele…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah