KOTA MUNGKID(SUARABARU.ID) –Acara Bakti Pepunden dan Pasar Tiban di Dusun Nerangan, Desa Mangunrejo Kajoran, dilaksanakan beberapa hari lalu.
Salah satu peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Novita, ketika dihubungi hari ini, Jumat (7/10), menilai Ritual Bakti Pepunden adalah tradisi Jawa dalam berbakti kepada kedua orang tua maupun leluhur yang telah mewariskan nilai-nilai spiritual dalam pengenalan diri umat manusia dan Tuhannya. Juga pelestarian dan pemanfaatan alam, demi keberlangsungan hidup umat manusia. “Pepunden adalah museum sejarah kehidupan umat manusia yang terus dikenang dan memberikan pelajaran bagi kehidupan penerusnya untuk masa kini maupun masa depan,” katanya.
Selanjutnya Novita menyampaikan bahwa Pasar Tiban Nerangan itu merupakan revitalisasi dan pelestarian terhadap pasar yang sebelumnya pernah ada di dusun tersebut. Menurut dia, cerita kakek-nenek bahwa dahulu Dusun Nerangan adalah tempat transit bagi para petani dan pedagang yang mengantarkan hasil buminya dari Gunung Sumbing menuju Kabupaten Purworejo. Dusun Nerangan ramai dengan pedagang yang beristirahat di kedai yang menyediakan ronde, wedang jahe, nasi pecel, getuk. Dengan begitu hadirnya Pasar Tiban Nerangan sebagai bagian spiritual Dusun Nerangan dalam pemanfaatan hasil bumi untuk peningkatan perekonomian masyarakat.
Pasar Tiban Nerangan juga sebagai representasi pasar budaya yang tidak hanya menjualbelikan kuliner tradisional, tetapi juga menampilkan aneka ragam kesenian dari komunitas Brayat Panangkaran sebagai budaya tradisional yang sarat dengan nilai spiritualitas kearifan lokal.
Acara bakti pepunden dilakukan di makam Mbah Munawir. Pepunden merupakan tinggalan bersejarah berupa artefak sekaligus prasasti sosial yang sarat dengan nilai-nilai spiritual. “Itu patut dilestarikan dan sebagai identitas karakter bangsa,” kata Penyuluh Kementerian Agama, Kiai Sholeh.
Sesepuh Dusun Nerangan, Tongatin, menerangkan bahwa Mbah Munawir adalah cikal bakal pendiri Dusun Nerangan. “Penamaan dusun berkaitan erat dengan makna dari nama Mbah Munawir yang berasal dari Bahasa Arab yang berarti terang,” jelasnya.
Dia berharap, Nerangan sebagai dusun yang warganya terus menyebarkan nilai spiritual. “Nilai spiritual, kerukunan dan rasa memiliki bersatu padu merawat dan melestarikan budaya dan tradisi untuk kemajuan serta kesejahteraan dusun,” imbuhnya.
Kades Mangunrejo, Padang, menambahkan, nilai spiritual yang telah dicontohkan oleh almarhum Mbah Munawir sebagai penuntun bagi generasi penerus dalam memakmurkan dusun. “Mbah Munawir memakmurkan dusun dengan tradisi pertanian, perkebunan maupun peternakan yang dilandaskan pada nilai spiritual memayu hayuning bawana,” tuturnya.
Menurut Ketua Komunitas Brayat Panangkaran, Borobudur, Sucoro, acara 20 tahun Ruwat Rawat Borobudur untuk menyinergikan berbagai even kebudayaan. Itu sebagai implementasi dari nilai-nilai spiritual kehidupan yang ada di masyarakat. “Nilai-nilai spiritual menyatu dan bersahabat dengan alam dalam mencapai keseimbangan serta keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, antarsesama maupun alam semesta,” kata Sucoro.
Terkait kegiatan di Nerangan, Sucoro mengatakan, dia berupaya menyinergikan festival kesenian tradisional, even budaya dan tradisi yang masih terjaga dan terlestari di Dusun Nerangan. Yakni ritual Bakti Pepunden dan Pasar Tiban Nerangan. Untuk penyelenggaraan acara itu dia bekerja sama dengan Ikatan Remaja Nerangan Sumbersari (Irnas).
Acara di Nerangan itu sekaligus sebagai acara pungkasan Ruwat Rawat Borobudur tahun ini.
Eko Priyono