DALAM perjalanan ke luar kota, saat di rumah makan saya bertemu teman lama yang kini jadi PNS. Di daerah itu dia termasuk orang yang dituakan, karena keilmuan dibidang agama lumayan cukup.
Teman itu sejak remaja dikenal selalu mengedepankan berbaik sangka. Kelemahannya, logikanya “kurang jalan” hingga sering dimanfaatkan orang, mulai dari modus harta karun, dana revolusi, merah delima, samurai, dan hal lain yang berbau mistis.
Teman itu mengisahkan, pernah didatangi tamu yang saat ke rumahnya “menyembah-nyembah” mengutarakan ingin numpang hidup. Setelah kenal baik, dia mengaku sebagai pemegang kunci gudang harta karun Bung Karno. Harta itu disebut dana revolusi dan untuk kesejahteraan ummat.
Merasa dapat informasi berharga, dia lalu menghubungi beberapa koleganya yang dianggap mampu menyalurkan harta itu. Lain hari, bersama sebagian jamaahnya, dia mendatangi kediaman “sesepuh” yang sebut saja, Eyang Klawu.
Saat dia datang disambut dengan ritual membakar kemenyan, lalu tuan rumah kesurupan dan berkata, ”Ngger anak dan cucuku, saatnya sudah tiba, saya sekedar penyambung amanah Bung Karno, harta ini akan jatuh ke cucu-cucu yang hadir di sini.”
Dia berucap lagi, “Dan orang yang bisa menyelesaikan masalah ini itu cucuku SN.”
Setelah tuan rumah tersadar dari kesurupan, dia lalu mengajak berunding soal biaya. Akhirnya disepakati rombongan diminta menyiapkan Rp 17.500.000 sebagai biaya sewa mobil boks dinas, untuk mengangkut harta karun.
Sewa mobilnya lebih mahal karena, kata Eyang, membawa harta karun itu risikonya tinggi. SN dan rombongan lalu pulang untuk mengumpulkan dana. Ada yang jual mobil, sawah, ternak, dengan keyakinan nilai uang yang disetorkan itu tidak seberapa dibanding harta karun yang akan di terima.