Romelu Lukaku menyatakan permintaan maafnya pada sang pelatih, Thomas Tuchel, yang ditayangkan Chelsea TV. Foto: tangkapan layar/dok chelseafc.com

Oleh: Amir Machmud NS

// di manakah hati dan rasa bermukim?/ atas nama profesionalisme sepak bola/ ketika uang jadi panglima/ ketika pasal-pasal kontrak jadi pengikat/ ronta hati bisakah dicegah?/ luap rasa mungkinkah diadang?/ yakinilah, sepak bola ada untuk manusia/ dan manusia ada/ bukan dalam kendali sepak bola//
(Sajak “Luka Romelu Lukaku”, 2022)

COBA simaklah lewat aneka indikator, betapa pemaknaan profesionalitas dalam industri olahraga tak mungkin dilepaskan dari gejolak hati dan rasa manusia.

Dalam semesta liga-liga sepak bola, betapapun kuat cekaman gurita kapitalisme, hati tetap kuat bicara. Rasa pun tak pernah bisa dihentikan menyapa.

Dan, itulah sejatinya gambaran relasi antara pemain dengan klub, dengan fans, dengan pelatih, juga antarpemain; pun hubungan pelatih dengan subsistem yang sama.

Maka simaklah kisah ini: tentang Romelu Lukaku.

Dia menyajikan bukti, betapa relasi hati manusia memberi pengaruh luar biasa untuk memastikan apakah seorang pemain merasa “at home” atau tidak di sebuah klub.

Bomber Chelsea itu berseteru dengan pelatih Thomas Tuchel, menyusul wawancaranya di televisi Sky in Italy, pada pengujung tahun.

Lukaku mengaku tidak nyaman dengan taktik bermain klubnya. Dia malah merindukan balik ke Internazionale Milan, klub Liga Seri A Italia yang musim lalu dia antar meraih scudetto.

Wawancara itu menyulut kemarahan Tuchel yang lantas memarkirnya dalam laga penting melawan Liverpool. Pemain asal Belgia itu dianggap membuat gaduh, justru ketika The Blues sedang menghadapi serangkaian kondisi tidak kondusif lantaran Covid-19.

Pemain berdarah Zaire itu juga menerima “pukulan telak” dari suporter garis keras Inter, Curva Nord. Pada bursa transfer musim panas lalu, Interisti dikecewakan oleh kepindahan Lukaku ke Stamford Bridge. Kini mereka menyatakan menolak pemain yang sempat disebut-sebut sebagai “Raja Milan” itu.

Ada apa sesungguhnya dengan Big Rom? Mengapa dia justru seperti melukai diri sendiri?

Menemukan “Rumah”
Kegelisahan Lukaku sejatinya adalah ungkapan hati untuk menemukan “rumah yang nyaman”.

Dalam usia 28, dia sudah bertualang di sejumlah klub. Dari Anderlecht, Chelsea, West Bromwich Albion, Everton, Manchester United, lalu menemukan sinar di bawah arahan Antonio Conte di Inter Milan pada musim 2019-2021.

Rupanya, Rom masih penasaran dengan Chelsea yang dia anggap pernah menyia-nyiakan potensinya. Maka ketika pemilik klub London itu, Roman Abramovich mengirim utusan untuk membujuknya kembali ke London, dia menyambut dengan suka cita.

Comeback ke Chelsea diwarnai pekan-pekan menjanjikan. Dia menjadi bomber idaman yang meruapkan kegembiraan fans. Tiga gol dari tiga laga awal mengisyaratkan dia bakal menjadi elemen penting tim.

Akan tetapi, setelah terlilit cedera dan terpapar Corona, keran golnya mampat. Dia sempat tidak mencetak gol dalam delapan laga, dan baru dalam dua penampilan terakhir kembali unjuk ketajaman.

Kenyamanan Lukaku terusik oleh taktik Tuchel yang tidak cocok untuknya. Sang pelatih cenderung lebih memercayai Kai Havertz, pemain asal Jerman yang fasih memainkan peran false nine.

Dan, rasanya ada kekurangtepatan mengemas curhat, terutama ketika dia terang-terangan menyatakan rindu kepada Inter. “Saya selalu memiliki Inter di hati saya. Tidak tahu, apakah akan kembali ke Inter. Saya sangat berharap itu terjadi,” katanya.

Legenda Lazio Paolo di Canio yang pernah memperkuat West Ham United menilai, wawancara itu menunjukkan kelemahan seorang atlet yang menyerah setelah enam bulan. Seperti dikutip Football Italia, Di Canio menyatakan, mungkin karena Lukaku tiba dengan arogansi seseorang yang tidak menyadari level yang sebenarnya (detik.com, 3/1-2022).

Ya, kegusaran Tuschel pun bisa dipahami, seperti halnya sikap Curva Nord yang tak lagi menghendakinya.

Akankah Lukaku kehilangan kedua-duanya? Chelsea yang pernah dia anggap sebagai pelabuhan, lalu kini Inter — yang musim lalu memujanya sebagai sosok penyelamat dan penentu?

Padahal pula, Chelsea adalah klub impiannya saat remaja. Wikipedia mencatat, ketika bersama rombongan sekolah Sint-Guida Instituut berkunjung ke London pada 2009, Lukaku mengatakan, “Suatu hari nanti saya akan bermain di Stamford Bridge, untuk Chelsea”.

Kisah masa lalu itu menautkan kembali Lukaku dengan cita-citanya, ketika Chelsea tak segan merogoh kocek hingga Rp 1,8 triliun untuk menjemputnya dari Inter.

Setelah dipinang The Blues dari Anderlecht pada 2011, dia nyaris “menganggur”. Sepanjang 2011-2014 hanya 10 kali bermain tanpa mencetak gol. Dia dipinjamkan ke West Bromwich Albion, lalu ke Everton, sampai dipermanenkan Everton pada 2014.

Masa-masa produktif di Everton dengan 53 gol dari 110 laga memincut Manchester United. Dua tahun bersama MU, dari 66 pertandingan dia mencetak 28 gol, dan ketajamannya memulih setelah pindah ke Inter.

Masa-masa Sulit
Kemelut hati di alam profesional seperti kisah Romelu Lukaku banyak pula terjadi dan menimpa pemain lain.

Sebagai pemain profesional, dia sadar harus mampu melewati masa-masa sulit ini. ”Secara fisik saya baik-baik saja. Tetapi saya tidak senang dengan situasi di Chelsea. Tuchel memilih bermain dengan sistem lain,” ungkapnya.

”Saya tidak akan menyerah. Saya akan menjadi profesional. Saya tidak senang dengan situasinya, tetapi saya profesional dan tidak bisa menyerah sekarang…”

Titik persoalannya tentu bagaimana memperbaiki komunikasi dengan Tuchel. Dan, akhirnya itulah yang dia lakukan. Menurut Tuchel, seperti dikutip dari Sky Sports (detik.com, 5/1-2022), Lukaku sudah meminta maaf, memberi keterangan soal jawaban kontroversial yang mengungkit kondisi di Chelsea saat ini, dan dia telah kembali berlatih.

Dalam praktik operasional taktik, bukankah seorang pelatih memang selalu punya ego tersendiri? Dia mengetengahkan filosofi dengan keyakinan yang akan ditransformasikan ke klub untuk dijalankan para pemain penggawanya.

Perdebatan diyakini ada, tetapi diskusi-diskusi dalam penyamaan visi dan persepsi permainan tentu menjadi tanggung jawab pelatih.

Ada pemain yang ditempatkan dalam posisi yang mungkin tak dia sukai. Ada peran-peran yang menuntut tanggung jawab lebih. Dan, itu menjadi dinamika dalam doktrinasi taktik pelatih. Pun, kediktatoran pelatih adalah hal biasa, bagian dari seni pendekatan dalam pernak-pernik industri kompetisi.

Kata Tuchel, ”Saya akan terbuka dengannya, seperti apa yang saya lakukan dengan pemain lain. Masalah ini akan secepatnya saya selesaikan secara tertutup”.

Legenda Newcastle United Alan Shrearer menguatkan, seperti disampaikan kepada BBC, ”Menangani klub sepak bola sudah cukup sulit. Lebih sulit lagi dalam keadaan sekarang. Manajer tidak tahu apa yang terjadi dari hari ke hari karena Covid-19. Dia tidak tahu siapa saja yang bisa dimainkan…”

Silang Cinta
Dalam cinta, yang langsung atau tidak langsung terungkap di balik impulsi Lukaku, kita tentu menangkap posisi sang pemain bagai “maju kena mundur kena”. Chelsea klub impiannya, sedangkan hatinya tertambat di Giuseppe Meazza.

Dengan komplikasi yang sama, yakni kegusaran Thomas Tuchel dan penolakan suporter Inter, tak mungkin Big Rom hanya menuruti kata hati yang bahkan berpotensi merusak peta jalan kariernya.

Dengan hati dan rasa, ketika sudah menegaskan sikap profesional tidak akan menyerah, Lukaku perlu memoderasi persepsi untuk membangun kembali komunikasi dengan Tuchel.

Chelsea pasti melihat potensinya. Tuchel pun tentu paham bagaimana mengeksplorasi pemain bintang yang tak jarang memperlihatkan perilaku tidak biasa.

Masalahnya, mengapa Lukaku harus melukai diri sendiri?

Walaupun telah mengklarifikasi persoalan, bukankah sudah telanjur ada “luka” dalam relasi dengan elemen-elemen klub? Satu-satunya jawaban adalah kontribusi sesuai peran dan kompetensinya.

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —