Oleh : Supriyanto
Mungkin tidak banyak orang Jepara yang mengenal nama Subandi. Sebab laki-laki yang lahir di Desa Langon, Tahunan, Jepara 10 April 1968 ini hanya seorang seniman dan guru mulok seni ukir. Selama 25 tahun ia nyantrik di sejumlah brak mebel di daerahnya. Subandi sendiri sejak usia 12 tahun telah mulai belajar mengukir. Saat itu ia baru saja lulus SD.
Subandi juga tidak pernah merasakan sekolah kejuruan ukir. Apalagi pendidikan tinggi. Bahkan mencoba pun tidak pernah ia lakukan. Subandi sadar benar, dengan kemampuannya. Ia tidak berani menggapai mimpi lewat jenjang bangku sekolah.
Karena itu selepas menamatkan pendidikan di SMP, Subandi memilih bekerja di brak – brak mebel yang ada di Langon, Tahunan dan Sokodono. Dari satu brak ke brak lain ia belajar bagaimana pahat dan ayunan palunya dapat menghasilkan karya yang bernilai.
Tujuannya bukan saja agar ia dapat menghidupi anak dan istrinya kelak, tetapi Subandi ingin agar seni ukir ada pewarisnya. Sebab ia melihat seni ukir telah semakin ditinggalkan oleh anak-anak muda. Itu pula yang membuatnya terus gelisah.
Beruntung Subandi memiliki istri Uswatun Hasanah yang sangat mnendukung kesetiaannya untuk melestarikan seni ukir. Mereka menikah tahun 2005. Saat itu usia Subandi 37 tahun. Pasangan ini sekarang dikaruniai 3 orang anak. Anak pertama sekolah di Matholiul Huda Bugel, ke dua di SMP Surodadi, dan yang terkecil di MI Masalihil Huda Tahunan. Untuk membantu suaminya, Uswatun Hasanah juga bekerja sebagai sales Yakult
Subandi sendiri beberapa tahun kemudian baru menyelesaikan pendidikan Kejar Paket C. Pendidikan setingkat SMA ini diselesaikan pada tahun 2005. Ia sekolah atas dorongan istrinya. Sebab ia mulai mendapatkan undangan untuk memberikan pelatihan-pelatihan seni ukir.
Menjadi pelatih seni ukir
Karena kemampuannya, pada tahun 2004, Subandi menjadi Instruktur ukir di lembaga pendidkan Ukir Jepara atau yang dikenal dengan FEDEP. Kemudian pada tahun 2006 Subandi mendapatkan tawaran menjadi Guru Honorer untuk mengampu Mulok Seni Ukir di SD Negeri 2 Sukodono. Pucuk dicinta ulam tiba, demikian pikir Subandi. Sebab dengan demikian ia merasa bisa menyemai kecintaan dan ketrampilan anak-anak pada seni ukir.
Subandi mendapatkan tugas khusus untuk mengampu muatan lokal seni ukir pada kelas 4, 5 dan 6. Karena itu ia hanya masuk 2 hari dalam seminggu. SD Negeri 2 Sukodono merupakan salah satu sekolah yang konsisten melestarikan Seni Ukir Jepara sejak usia dini.
Benar juga, siswa SD Negeri 2 Sukodono kemudian banyak meraih prestasi dalam ajang lomba Seni Ukir Jepara diantaranya adalah Juara 1 Lomba Seni Ukir tahun 2007, 2008 dan 2009.
Kiprah Subandi ini kemudian mengantarkannya mendapatkan berbagai tawaran untuk menjadi instrukur seni ukir. Ia memberikan pelatihan ukir bukan hanya di pulau Jawa seperti Jakarta, Blora, Banjarnegara, tetapi juga sampai Riau dan Papua.
Memang pada tahun 2008 ia diminta Disperindag Papua untuk memberikan pelatihan Ukir Prahu Khas Port Numbay bagi pengrajin Papua. Bahkan kemudian kiprah Subandi di Papua ini diketahui oleh Kementerian Luar Negeri. Usai dari Papua Subandi mendapatkan tawaran Kementerian Luar Negeri untuk memberikan pelatihan Seni Ukir bagi pelajar dan mahasiswa di Laos. Tentu Suibandi sangat bangga dapat menjadi duta budaya bangsa.
Saat ini Subandi juga mendapatkan kepercayaan dari Disdikpora Jepara menjadi salah satu Tim Pengembang Kurikulum Mulok Seni Ukir SD, walaupun ia tidak memiliki ijasah guru.
Ingin dirikan tempat pelatihan Seni Ukir
Subandi juga tidak mengerti, apakah kelak pengabdiannya sebagai guru mulok ukir akan mendapatkan perhatian dan penghargaan khusus dari pemerintah, seperti guru honorer lain yang bisa diangkat menjadi pegawai negeri.
Ia hanya menjalaninya seperti air mengalir karena cintanya pada seni ukir. Sebab walaupun ia memiliki kompetensi dalam mengajar seni ukir, Subandi sadar ia hanya mengantongi ijazah Kejar Paket C. Apalagi usianya kini telah 53 tahun.
Yang justru diharapkan oleh Subandi adalah adanya perhatian dari pemerintah untuk para pengampu mulok ukir. Namun seandainya harapan itu tak tergapai, ia akan terus setia untuk melestarikan seni ukir. Sebab ia ingin anak-anak muda kembali mencintai seni ukir yang semakin ditinggalkan para pewarisnya.
Karena itu Subandi sejak tahun 2009 juga membuka les ukir dirumahnya di wilayah RT 06 / RW 03 Desa Langon Kec. Tahunan, Jepara. Murid di brak Subandi ada yang dari Jepara, Kudus, Kendal, Demak dan Semarang. Untuk murid dari Jepara Subandi tidak memungut biaya. Sedangkan dari luar daerah ada biaya untuk makan.
Subandi juga memiliki mimpi dan bahkan cita-cita untuk mendirikan sebuah Lembaga Pendidikan atau Kursus Mengukir bagi pemuda-pemuda Jepara. Harapannya melalui lembaga ini, ia dapat ikut menjaga kelestarian Seni Ukir Jepara yang mulai tahun ke tahun mulai kurang di minati oleh anak-anak muda .
Tentu untuk mewujudkan ini ia sangat memerlukan uluran tangan pemerintah di semua tingkatan atau siapapun yang terpanggil. Sebab ia mengaku tidak memiliki jaringan. Bahkan untuk menyusun proposal saja ia mengaku tidak mampu.
Kini di rumahnya, Subandi memiliki brak kecil dengan 3 orang tenaga kerja. Disamping ada beberapa murid yang sedang belajar menjadi perajin ukir. Sedangkan barang yang dikerjakan adalah kerajinan seni ukir. Untuk motif, ia mengaku tergantung pesanan pembeli.
Subandi sendiri mengaku, walaupun sangat mencintai seni ukir, namun kondisi perajin ukir Jepara sangat berat. Sebab upah yang diterima tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkannya. Itu pula yang menurut Subandi membuat seni ukir banyak ditinggalkan oleh anak-anak muda.
Kini Subandi berharap, Seni Ukir dapat kembali menjadi Mulok Wajib Potensi Daerah Kabupaten Jepara untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs. Sebab hanya dengan cara itu dapat menumbuhkan kecintaan anak-anak pada pelestarian seni ukir Ia juga berharap di Jepara ada SMK yang memiliki jurusan Seni Ukir hingga ketika siswanya keluar telah mahir dan bersedia dengan setia menjaga marwah budaya Jepara. Bukan kriya kayu yang jam pelajaran untuk ukir sangat minim.
Sayang Subandi hanya seorang seniman ukir yang memiliki sebuah brak kecil. Ia sangat mencintai seni ukir warisan leluhurnya. Namun ia juga sadar, mimpi, harapan dan keinginan untuk melestarikan seni ukir sering kali terhambat takdirnya sebagai wong cilik.
Penulis adalah Admin SD Negeri 2 Sukodono.
Penyunting Hadi Priyanto