Oleh: Amir Machmud NS
// selalu ada kisah orang terbuang// patah hati dalam luka sepak bola// di balik luap cinta// industri terkadang tak berkompromi// menepikan sunyi hati// ketika ada luka ideologi// dan hati yang akan membawa// ke mana melabuhkannya// (Sajak “Mesut Oziel”, 2021)
BOLA dan leluhur, bagi Mesut Oziel adalah cinta. Berbunga-bunga hatinya ketika saat itu tiba: membentangkan syal Fenerbahce, klub yang diimpikan dalam cita masa kecilnya. Dan, Liga Turki menjadi pelabuhan tempat ia “menjauh” dari kehirukpikukan industri sepak bola di Eropa Barat yang tak jarang mengetengahkan komplikasi politik yang “fobistik”.
Mengapa ia tak mencoba menikmati akhir karier seperti pernah David Beckham tempuh, Raul Gonzales dan Wayne Rooney lakukan, Zlatan Ibrahimovic, Xavi Hernandez, atau Chicharito pilih; Oziel rupanya tak hanya tergoda bayaran bermain di Major League Soccer, Amerika Serikat. Ia lebih memilih mewujudkan cinta, yang bagai menembus lorong waktu menjejak tempat kelahiran kakeknya dalam kehangatan kultur Istanbul.
Bukankah penuh simbolisme hati ketika ia menerima nomor punggung yang tak lazim di klub barunya itu, 67? Itulah kode pos di Provinsi Zonguldak, Turki, tempat tinggal kakek dan neneknya di Distrik Devrek. Pada 1960-an kakek dan nenek Oezil pindah ke Jerman.
Relasi Oziel dan Fenerbahce termaknai sebagai pertemuan dua hati. Mesut Oziel sedang patah hati berkepanjangan di Arsenal. Dia tidak lagi dibutuhkan, dan “Sari Kanaryalar” — julukan Fenerbahce Spor Kulubu — menyambutnya sebagai sosok yang memang dinanti-nanti. Darah Turki yang mengalir di tubuhnya menciptakan chemistry cepat, karena Oziel yang Jerman menempuh rute karier ke rumah leluhur.
Cinta sudah mengikatnya dari kecil. Fenerbahce adalah klub yang tercetak di benak sejak ia mengenal sepak bola.
* * *
CINTA Oziel di Arsenal seperti terbelah hanya menjadi sekeping kosong hati.
Pemain yang berkemampuan screening ball ala penari ballet dan visioner dalam umpan-umpan ini pernah disebut-sebut sebagai “New Zidane”. Toh, dengan jejak assist yang produktif dan aksi-aksi kelas satu, Oziel terbuang dari barisan Arsenal.
Pelatih Mikel Arteta mencoretnya dari daftar, bahkan dalam kategori cadangan sekalipun. Karena pertimbangan politiskah? Sebelumnya, skema taktik coach Unai Emery juga sering meninggalkan Oziel. Sosok yang paling tahu tentang potensinya dan mampu mengeksplorasi hanya Arsene Wenger, yang pada 2013 merekrutnya dari Real Madrid untuk menjadikannya sebagai episentrum tim.
Wenger paham betapa fantastik Oziel, dan kolaborasi teknis di antara kedua orang ini mampu menghadirkan Sang Ballerina sebagai favorit fans The Gunners. Sampai dia meninggalkan The Emirates, Gooners tetap menunjukkan kesetiaan cinta kepadanya.
Walaupun dibantah dengan justifikasi teknis oleh Arteta dan manajemen Arsenal, sulit dipungkiri, Oziel terbuang dari skuad karena impulsi ekspresi sikap politiknya. Sebagai muslim, terang-terangan dia mendukung suku Uighur di Xinjiang yang banyak terberitakan mengalami diskriminasi politik di Tiongkok. Konon brand Arsenal, termasuk siaran laga-laga di Liga Primer diboikot di Tiongkok karena sebuah unggahan dukungan Oziel di media sosial.
Fobia itu diperparah oleh catatan momen “kebersamaan” Oziel dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 2018. Bersama pemain Jerman berdarah Turki lainnya, Ilkay Gundogan, ia berfoto dengan Erdogan, sosok yang dianggap antagonistik dalam demokrasi Barat.
Setelah mendapat kritikan hebat, Oziel mengumumkan pengunduran diri dari Die Manschaaft, dengan mengunggah pernyataan kecewa. Ia menyebut Asosiasi Sepak Bola Jerman rasis dan “tidak menghormati”. Oziel yang telah mencetak 23 gol dan 40 assist dari 92 caps, dianggap sebagai penyebab penampilan buruk timnas Jerman di Piala Dunia 2018. Ia menulis keluhan tajam, “Saya orang Jerman ketika kami menang, namun dikatakan imigran ketika kami kalah”.
Warna politis bagaimanapun menjadi persepsi bagi sebagian orang ketika mengamati perlakuan Arsenal terhadap Oziel.
* * *
SEJARAH sepak bola bakal memprasastikan jejak kehebatan bakat Oziel. Real Madrid mentransfernya dari Werder Bremen setelah aksi-aksinya yang memikat di Piala Dunia 2010. Sebagai pemain muda, dia sangat menonjol memotori Der Panzer, yang lalu menjadi salah satu nominee terbaik turnamen.
Bersama Loz Blancos, Oziel menjadi “raja assist” yang antara lain melayani Cristiano Ronaldo dengan umpan-umpan memanjakan. Kedua pemain ini menjalin chemistry tak hanya di tengah lapangan. Keduanya punya kesamaan pandangan dalam ekspresi kemanusiaan. Ronaldo menjadi donatur untuk anak-anak Palestina, juga sering mendiskusikan nilai-nilai agama bersama Oziel.
Ketika Oziel dijual ke Arsenal, Ronaldo mengungkapkan kemarahan dan menyebutnya sebagai berita buruk. “Dia orang yang sangat tahu gerakan saya di depan gawang,” tuturnya.
Dalam pandangan Arsene Wenger, Oziel unggul dalam visi dan skill eksepsional. Kelembutan sentuhan bolanya mirip gerakan dribel Zinedine Zidane. Sesekali, umpan daerah yang dia kirim seperti asal-asalan, namun mata elang Oziel menjadi naluri, betapa ia melihat ada teman sedang bergerak untuk mendapatkan bola di ruang yang dia buka.
Catatan umpan menjadi bukti ia bukan pemain egois, lebih mementingkan kemenangan tim ketimbang menonjolkan ambisi mencetak gol. Jumah 253 assist dari 653 laga memosisikan Oziel sebagai peringkat keempat pemain Abad 21 yang menorehkan umpan matang terbanyak setelah Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, dan Luis Suarez.
Keistimewaan ini membuat dia lebih banyak menjadi pelayan bagi rekan-rekannya. Pelatih tim nasional U-21 Jerman, Horst Hrubesch pernah mengatakan, “Kami di sini memuji Wayne Rooney, Ronaldo, atau Messi, tetapi harus kita puji Messi kita sendiri. Messi kami adalah Mesut Oziel”.
Sedangkan rekannya di Real Madrid, Xabi Alonso memuji Oziel sebagai “jenis pemain yang Anda tidak menemukannya hari ini. Dia mengerti permainan, melihat hal-hal, menggabungkan dan berkembang antara garis-garis, tim lawan…”
Di tengah riuh industri kompetisi, sepak bola sejatinya penuh petualangan raga, hati, dan rasa. Oziel telah menunjukkan bakat menonjol sejak mulai bermain di klub Schalke 04, matang bersama Werder Bremen, mendunia di Real Madrid, dan sempat menjalani fase luar biasa ketika bermain untuk Arsenal dari 2013 hingga 2020.
Dalam kenyamanan rasa di Fenerbahce, akan dibuktikan sejauh mana ikatan cinta mampu terekspresikan ke kanvas permainan, loyalitas, dan kontribusi.
Dunia menunggu Mesut Oziel membuktikannya…
Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah