RUMAH berderet-deret di punggung gunung itu biasa. Di mana-mana di daerah yang bergunung-gunung ada. Di Dieng, misalnya, atau Kledung di punggung Gunung Sumbing di Temanggung. Juga di Colo, Kudus di Gunung Muria, dengan topografi tanah yang berlereng. Rumah-rumah berjajar bagai tingkatan berundak-undak.
Baca juga Rumah Atsiri Indonesia, Wow Kenikir Bisa Diambil Minyaknya
Tetapi kemudian memang menjadi berbeda, ketika kita berkunjung ke Dusun Butuh, Kaliangkrik, Kabupaten Magelang. Memang jalan ke sana tidak segampang ke Colo di Muria atau ke Dieng.
Maklum, jalan yang tersedia memang sangat terbatas. Sempit, sehingga ketika dua kendaraan berpapasan harus saling minggir. Tetapi provokasi tentang “Nepal van Java” sebagai sebutan kawasan Dusun Butuh itu, memang mengundang orang untuk datang.
Bila kita mengemudi memang harus konsentrasi tinggi. Ya, karena kondisi jalan itu. Padahal pemandangan sangat indah. Gunung Sumbing saat cuaca cerah akan tampak sangat indah. Bila kita membawa kamera, tentu tidak ingin berhenti membidik objek. Gunung saat cerah, atau saat berkabut, sama-sama indah.
Belum lagi ada perempuan tua renta yang menggendong kayu bakar. Kita mungkin akan merasa kasihan. Tetapi ini objek foto yang human interest. Begitu foto terekam dalam kamera, kita ingin buru-buru mengunggah di instagram. Sayang, jaringan seluler memang belum tersedia secara sempurna.
Perkampungan Unik
Memang setelah kita melaju dari Magelang menuju Bandongan, Kaliangkrik, sampai Nepal van Java sebenarnya tidak terlalu jauh. Tetapi aksesibilitasnya itu yang memang membutuhkan perhatian. Sesampai lokasi, mobil atau sepeda motor kita diarahkan ke tempat parkir yang memang disediakan. Masih berupa lahan tanah yang terbuka.
Di tempat parkir ini kita bisa mengaso sejenak minum teh atau kopi, karena di situ memang tersedia resto. Rombongan PWI Jateng bersama Tim Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Provinsi Jateng dalam program Jateng on The Spot singgah dulu untuk makan siang dan minum teh panas di resto ini.
Di sini pula, kita bisa memulai petualangan dengan kamera yang kita bawa. Bila diarahkan ke gunung, maka akan tampak perkampungan yang unik. Rumah bagai berundak-undak. Coba tengoklah di google search, ketik “Nepal” untuk gambar.
Foto negeri Nepal dengan rumah-rumah yang berada di punggung gunung itu memang mirip dengan apa yang kita lihat di Dusun Butuh, punggung Gunung Sumbing. Di era instagram seperti ini, ketika ada orang datang dan memotret rumah-rumah di kampung punggung gunung di Butuh itu, lalu mengunggahnya dengan caption Nepal van Java, maka menjadi viral gambar itu.
“Ya kira-kira baru setengah tahun lalu tempat ini ramai. Dulu yang kampung biasa di gunung. Sepi dan dingin. Orang di sini ya cuma bertani sayuran,” ujar lelaki seorang penjual jagung bakar.
Setelah sejenak minum kopi untuk menurunkan stres karena mengemudi di jalan sempit dan banyak papasan, kita bisa bersiap untuk program berikutnya. Sesi foto atau selfia ria di lahan parkir diskors sejenak.
Kita harus naik ke kampung unik di punggung gunung itu. Masjid besar seakan menjadi ikon kampung itu. Memang cukup megah, tetapi belum selesai pembangunannya. “Pembangunan masih berproses, masjid ini dibangun sejak sekitar 10 tahun lalu dan sampai sekarang belum jadi,” kata penjual jagung bakar yang ngetem di depan masjid.
Jalan atau Ngojek
Untuk naik ke kampung Nepal van Java itu, ada dua pilihan. Jalan kaki, mengitari kampung dengan jalan menanjak dan berilku. Atau naik ojek dengan tariff Rp 25 ribu-Rp 30 ribu pergi-pulang. Kita berjalan memasuki gapura, kemudian mampir ke loket untuk membayar, sebagai syarat masuk kampung. Tidak mahal sih, hanya Rp 8.000 per orang.
Bagi yang jalan kaki ya langsung saja melangkah. Tetapi untuk yang naik ojek, diberi kalung identitas penumpang yang dipakai selama kunjungan. Naik ojek di jalan kampung sempit, menanjak, menikung memang suatu tantangan. Untunglah jalanan kampung itu sudah dicor, sehingga cukup nyaman dilewati.
Tampak orang berjualan sayuran, opak, dan makanan lainnya di tepian jalan kampung itu. Ya, setiap Sabtu-Minggu memang pengunjung sangat banyak. Dan, itu dimanfaatkan oleh warga untuk mengais rezeki dari wistawan yang datang.
Tukang ojek yang mebawa saya naik sebenarnya ya bukan tukang ojek. Dia hanya memanfaatkan hari libur untuk “narik”. “Saya kerja proyek di Jogja, Pak. Ya, mumpung di rumah ada tarikan ya saja jalani. Lumayan, kalau ramai bisa dapat dua ratus lima puluh ribu sehari,” katanya.
Sekali lagi, jalannya ngeri-ngeri sedap. Sebuah air terjun menjadi tujuan pertama. Tidak terbayangkan kalau di sana ada air terjun, meskipun tidak terlalu tinggi. Karena, letaknya persis di belakang rumah warga. Kita harus masuk lorong sempit di antara dua rumah, dan langsung sampai. Airnya bening, karena langsung dari gunung. Di atas sudah tidak ada rumah lagi.
Setelah berfoto-foto di air terjun, perjalanan dilanjutkan ke masjid yang jadi ikon. Konstruksinya memang khas, maklum di tanah miring. Sehingga, beton-beton penyangga dibuat sedemikian rupa. Lantai bawah masih belum tuntas pembangunannya, digunakan untuk parkir kendaraan para pengojek.
Pengunjung pun naik ke lantai atas, yang menjadi halaman masjid. Bagi yang mau sembahyang, langsung bsia masuk. Tetapi kebanyakan, pengunjung hanya berfoto-foto karena lanskapnya sangat indah. Latar belakang gunung menghijau yang memang sangat instagramabel.
Puas berfoto-foto di masjid, tukang ojek mengajak turun ke spot foto berikutnya. Namanya Taman Depok, yang di sana ada bangunan berarsitektur mirip gaya Bali. Lagi-lagi pemandangan memang sangat indah, sehingga banyak yang ingin berlama-lama di sana.
Ternyata ini spot terakhir, mas tukang ojek pun meraungkan motornya meluncur ke tempat pemberangkatan. Kampung ini memang unik, sembai membonceng motor, kita bisa memandang rumah-rumah yang dibangun dengan “dak” atau dicor atapnya. Lantai di atap rumah yang cukup luas itu bisa juga digunakan untuk pentas menari, misalnya.
Sesampai tempat pemberangkatan, kita turun menyerahkan tanda identitas penumpang lalu membayar pada tukang ojek. Dan, itulah akhir petualangan di Nepal van Java.
Parkir Rp 15 Ribu
Saat hendak meninggalkan tempat parkir, mikrobus hiace yang membawa kami dihentikan oleh warga berseragam rompi khas tukang parkir. “Lima belas ribu,” kata petugas parkir itu. Pengemudi kami kaget, dan membayar langsung Rp 45 ribu untuk tiga mikrobus yang membawa rombongan.
Rasanya, tarif parkir sebesar itu memang cukup tinggi. Apalagi fasilitasnya juga belum memadai. Masih berupa tanah, yang bila hujan becek dan tentu merepotkan pengunjung. Hal lain yang menjadi catatan adalah aksesibilitas. Kondisi jalan memang boleh dibilang belum layak. Apalagi sering juga truk-truk lewat, dan menjadikan kendaraan saat berpapasan harus berhenti dulu. Dan, ini bisa menimbulkan kemacetan panjang.
Ya, kita tentu maklum, ini destinasi baru yang digarap oleh warga desa. Tentu diperlukan sentuhan-sentuhan pengetahuan tentang kepariwisataan bagi para pelakunya. Termasuk bagi warga desa. Karena bukan tidak mungkin, kita bisa menginap di sana menikmati sensasi hawa dingin malam. Dan, keberadaan homestay tentu dibutuhkan.
Nepal van Java, masih butuh banyak sentuhan.
Widiyartono R