JAKARTA, (SUARABARU.ID) – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berani menindak dan memberikan sanksi kepada peserta Pilkada Serentak 2020 yang melanggar protokol kesehatan, agar pesta demokrasi ini tidak menjadi klaster COVID-19 baru.
“Salah satu media penyebaran COVID-19 yang paling berisiko adalah kontak fisik antarmanusia atau melalui benda. Untuk itu, kontak fisik dan kerumunan orang dalam setiap tahapan pilkada harus diminimalkan, salah satunya dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi,” ujar Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Ia menegaskan agar Pilkada Serentak 2020 tidak menjadi klaster baru, diperlukan kemauan kuat dari seluruh kandidat yang berkompetisi dalam pilkada untuk mengedukasi para pendukung. Edukasi agar disiplin menjalankan protokol kesehatan, bukan justru mengabaikan dan menggelar acara yang menimbulkan kerumunan, katanya pula.
Hingga 11 September 2020, dari 390 kabupaten/kota yang menyelenggarakan pilkada, 45 kabupaten/kota di antaranya berstatus zona merah, sedangkan 152 daerah lainnya mempunyai risiko sedang, 72 daerah risiko rendah, 26 kabupaten/kota yang tidak ada penambahan kasus baru, dan hanya 14 kabupaten/kota yang belum terdampak COVID-19.
Sedangkan rasio angka kesembuhan pasien COVID-19 di Indonesia sebesar 76,48 persen, lebih baik dari rasio angka kesembuhan global sebesar 69,55 persen. Namun di sisi lain, rasio angka kematian penderita COVID-19 di Indonesia masih besar, yakni 3,55 persen, lebih tinggi dari rasio angka kematian dunia sebesar 2,88 persen.
“Data tersebut harus menjadi perhatian semua pihak, khususnya kandidat yang maju dalam pilkada agar tak main-main dalam menerapkan protokol kesehatan, sehingga pilkada tidak menjadi jurang kematian bagi warga,” kata Bamsoet.
Keputusan Pemerintah bersama DPR RI untuk tetap menyelenggarakan pilkada, dikatakannya untuk memastikan hak konstitusional rakyat terpenuhi, khususnya untuk memfasilitasi pergantian kepemimpinan kepala daerah.
Penundaan pilkada, kata dia, menyebabkan kepala daerah digantikan pelaksana tugas yang dalam menjalankan tugasnya tidak dapat mengambil atau menentukan kebijakan strategis.
Ant-Wahyu