blank
Ertania Johana Maryasmara, S. Pd, Pendidik PAUD  Sekolah Kucica Ungaran, Kabupaten Semarang (Foto: Dok.Pribadi)

Oleh: Ertania Johana Maryasmara, S. Pd

Refleksi sederhana dari kardus bungkus pasta gigi

Coba tanyakan, dua kata apa yang belakangan ini sering terdengar di telinga para pendidik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di era kepemimpinan Mendikbud Nadiem Makarim. Apakah serempak akan menjawab “Merdeka belajar”?  Bagai sebuah benang panjang, ada baiknya dua kata ini kita tarik ke belakang untuk melihat kembali maksud dari Mendikbud yang akrab dipanggil sebagai Mas Mentri ini menekankan pentingnya “merdeka belajar”. Awalnya pada Rapat Koordinasi Bersama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/ Kota, Mas Mentri menyampaikan setiap komponen pendidikan yang terdiri dari sekolah, guru, siswa idealnya memiliki kebebasan. Kebebasan yang dimaksud tentu saja masih dalam koridor pendidikan nasional yakni kebebasan untuk berinovasi, dan kebebasan untuk belajar dengan mandiri  serta kreatif.

Konsep Merdeka Belajar a la Mas Mentri Nadiem Makarim terdorong karena ingin  menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu sebagaimana yang selama ini terjadi. Merdeka belajar sejatinya juga tidak hanya berlaku bagi peserta didik, namun juga berlaku bagi pelaku pembelajar lainnya tanpa kecuali guru atau pendidik di tingkat PAUD.

Pengalaman penulis sebagai pendidik PAUD memperlihatkan masih ada saja realita di lapangan yang mendudukkan “merdeka belajar” seolah-olah masih berhenti menjadi sebuah slogan belaka. Pola mengajar yang klasikal disertai keengganan pendidik untuk menggali sumber belajar yang mengikuti perkembangan jaman menghasilkan “karya monumental” yang dikenang secara fatal oleh orang tua siswa. Ya, fatal karena masih dijumpai pendidik yang memanfaatkan kardus bekas pembungkus pasta gigi dan mengubahnya menjadi mobil-mobilan dan kegiatan ini tak berubah, berlangsung secara turun temurun  atas instruksi guru.

Dalam konteks merdeka belajar, sebuah kardus bekas pembungkus pasta gigi seharusnya tidak hanya berhenti menjadi sebuah mainan mobil-mobilan belaka. Namun, kardus itu bisa digali lagi menjadi sebuah media belajar yang merangsang proses belajar yang menyenangkan. Artinya, penekananya tidak lagi di sebuah hasil karya yang berbentuk mobil-mobilan namun justru eksplorasi terhadap hal-hal yang  timbul selama proses pembuatannya. Kardus bekas pembungkus pasta gigi ditangan seorang anak dapat menjadi ruang dialog yang menyenangkan. Celoteh anak ketika proses mengerjakan tak boleh dilarang-larang sang pendidik karena itu berarti ia sedang mengasah kemampuan berbahasa. Gerakan tangan mungilnya saat membuka tutup kardus menegaskan pentingnya si kecil melatih fisik motoriknya, juga mengenal konsep bentuk (kognitif). Apa saja yang dilakukan anak didik saat mengeksplorasinya haruslah dimerdekakan. Bahkan jika di tengah pengerjaan anak tiba-tiba membuat kardus pasta gigi itu menjadi pesawat atau tempat pensil, tentu saja ini bukanlah masalah, justru hal ini menjadi indikasi adanya kreatifitas yang tinggi.

Ingat juga, fungsi guru sebagai fasilitator yang menyediakan segala yang diperlukan anak didik saat beraktifitas. Memang benar bahwa sebagai fasilitator Guru menyiapkan media belajarnya, namun yang tak kalah pentingnya juga menjadi motivator supaya kreatifitas anak muncul dan tanpa ragu berbuat salah.

Benda-benda lepas pendorong kemerdekaan

Kardus bekas, kancing bekas jas kakek, ranting dahan, plastik, potongan sandal karet, bebatuan dan beraneka benda bekas lainnya kini tak bisa pula dibuang begitu saja. Benda-benda itu dapat dimanfaatkan menjadi media belajar bernama loose part. Definisi loose parts sendiri secara sederhana adalah benda-benda terlepas yang dapat dipindahkan, dimanipulasi dan cara menggunakannya ditentukan oleh anak. Bila digunakan dengan tepat, maka kehadiran loose part akan meningkatkan kreativitas anak. Bagaimana bisa kehadiran benda-benda bekas itu bisa memerdekan kreatifitas anak didik? Tentu saja bisa karena prinsip penggunaan loose parts boleh digunakan anak-anak untuk berkreasi, membongkar pasang sesuai dengan daya imajinasi mereka sendiri. Penggunaan loose parts sebagai bahan ajar juga mengajak anak didik untuk menghargai bahan-bahan atau benda-benda yang ada di sekitar mereka. Selain itu, tak perlu secara gamblang anak diindoktrinasi dengan kasar mengenai ajakan untuk menjaga lingkungan, karena lewat bermain loose parts mereka mendapatkan pengertian tentang bahan daur ulang sehingga misi penyelamatan bumi dengan cara sederhana dapat tercapai sekaligus. Via loose parts pula, anak didik akan diajak menerapakan prinsip ekonomis agar tak semena-mena meminta orang tuanya membeli mainan baru lalu selalu bernafsu untuk membuang yang dianggap sudah tak lagi menarik hatinya.

Katakanlah semua guru PAUD setuju bahwa loose parts sebagai media belajar yang memerdekakan anak. Namun tunggu dulu, ternyata tak selalu kesepakatan itu terwujud dalam sebuah  metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. Alasannya, guru kadang-kadang masih enggan untuk menyiapkan bahan, merancang kegiatan, termasuk berdiri sebagai seorang fasilitator yang menjembatani anak didik mewujudkan karyanya sesuai dengan kemerdekaan anak itu sendiri. Tak jarang, guru lebih memilih menyajikan “barang jadi” pabrikan seperti lego, balok, dan mainan populer lainnya. Tentu saja ini menjadi tantangan bagi guru PAUD itu sendiri, mampukah ia melawan rasa enggannya, dan maukah ia benar-benar menjadi seorang teman bermain yang mendorong kemerdekaan seorang anak.

Era sudah bergerak, apalagi kini dunia sedang dilanda pandemi Covid-19 yang mau tak mau memaksa seluruh penduduk dunia menerima kenyataan pahit termasuk menghentikan semua interaksi tatap muka langsung. Dunia pendidikan juga mengalami perubahan besar-besaran, siap tak siap harus mau menerima sebuah era baru pendidikan lewat online atau dalam jaringan internet.

Ini juga membuat guru PAUD  seiring waktu memperoleh banyak istilah baru di dunia pendidikan. Zoom meeting, Webinar, telegram dan sejumlah sebutan media tatap muka virtual baru harus mulai terbiasa di telinga guru PAUD. Tak ada pilihan lagi kecuali beradaptasi dengan era serba internet. Jika guru PAUD masih saja berkutat dengan urusan administrasi, ini sama saja masih menyediakan diri merantai kaki sendiri untuk sibuk dengan hal rutin dan mengabaikan dinamika perkembangan jaman. Waktu lalu menjadi sangat istimewa saat ini  bagi para guru untuk mengeksplorasi cara tatap muka virtual. Mengelak, menghindar dan bersiteguh untuk tidak menyentuh teknologi sama saja tidak membantu diri sendiri memerdekakan cara pandang di dunia pengembangan keilmuan anak usia dini.

Merdeka, guru, anak dan orang tua

Guru yang merdeka  bagi penulis adalah guru PAUD yang mampu berkreasi mencipta bahan belajar, mengembangkan diri baik keilmuan dan berkarakter mulia. Lebih dari itu semua, mempunyai hati yang tulus melayani menjadi kunci untuk merdeka. Guru masih tetap menjadi cermin kebanggaan bagi anak didiknya. Guru yang merdeka akan mampu mengajak anak didiknya memiliki kebebasan berekspresi, menuangkan ide sesuai dengan bakat dan minatnya. Setiap minat anak itu berbeda, maka proses yang dilalui dan hasil akhirnya tentu berbeda. Anak dengan bakat mekanik  tentu akan berbeda proses dan hasilnya dengan anak yang memiliki minat ruang spasial. Jangan sampai minat dan bakat anak yang berbeda dikondisikan pada satu hasil yang sama. Disayangkan apabila anak dinilai dengan alat ukur yang sama, pasti akan muncul anak yang pandai dan anak yang bodoh. Howard Gardner dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. menyebutkan setiap manusia memiliki delapan kecerdasan berbeda yang mencerminkan berbagai cara berinteraksi dengan dunia. Lantas ditambahkan pula satu kecerdasan ditambahkan sehingga ada 9 kecerdasan majemuk. Semuanya tentu unggul sesuai dengan minat dan bakat anak masing-masing. Kecerdasan majemuk itu adalah kecerdasan musikal, kinestetik, logis- matematika, spasial visual, verbal linguistik, intra personal, inter personal, naturalis, eksistensial. Tak bijaksana pula jika orang tua anak didik memaksakan atau membuka ruang iri hati untuk setiap kecerdasan yang berbeda dari anaknya, karena semua anak memiliki kecerdasannya sendiri. Membuka ruang selebar-lebarnya bagi anak untuk menemukan kecerdasannya adalah perilaku orangtua yang merdeka. Waktu belajar anak-anak di sekolah pun hanyalah secuil jika dibandingkan dengan waktu kebersamaan mereka dengan orang tua masing-masing di rumah.

Menilik kecenderungan para orang tua masa kini, agaknya masih perlu dipahamkan dengan konsep merdeka belajar. Hingga kini masih ada saja pola pikir orang tua yang masih banyak menganggap prestasi akademik lebih penting dengan pencapaian akhir seperti membaca, menulis, dan berhitung. Kegiatan bermain, tertawa lepas, dan tidak monoton sesungguhnya adalah pengejawantahan dari konsep merdeka belajar. Duduk rapi sembari menulis di buku, anak mendengar dan menerima instruksi tanpa protes dan diam senyap justru menyiratkan ketidakwajaran dunia anak.  Ironisnya, justrui yang seperti itu oleh orang tua murid dipandang sebagai sebuah “ kesuksesan” mengendalikan anak-anak.

Pengalaman penulis membuktikan, masih ada kekawatiran dari orang tua yang mempertanyakan dimana letak belajarnya, jika “hanya bermain-main”. Kekhawatiran terbesar orang tua masih di capaian prestasi akademik.

Mengubah cara pandang orang tua juga tidak mudah. Ini menjadi tantangan bagi guru PAUD, tentunya dengan mulai membiasakan diri membangun komunikasi yang positif antara guru dengan orang tua. Berikan prioritas utama pada proses komunikasi ini agar tercipta kesepahaman sejak awal dalam proses belajar anak. Sampaikan saja sejak awal pertemuan dengan orang tua siswa tentang visi misi, metode pembelajaran, dan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah kita. Pengalaman berkata, bila guru dan orang tua sudah sepaham maka proses belajar akan berjalan dengan baik.

 

Tantangan merdeka belajar bagi guru PAUD adalah soal ketrampilan berkomunikasi dan beradaptasi dengan perkembangan dunia pendidikan. Tak bisa lagi kita sebagai guru PAUD bersantai menikmati zona nyaman tanpa perubahan. Inovasi pembelajaran, penggalian ide, penyampaian komunikasi dua arah, mutlak diperlukan.  Kenyataan berbicara, Guru Merdeka belajar dirasa masih jauh dari jangkauan, karena kurangnya pengetahuan sampai tataran terbawah. Maka diperlukan sosialisasi yang berkesinambungan  dari tingkat pusat sampai ke guru itu sendiri. Guru menjadi garda terdepan dalam pelaksanaan Merdeka Belajar mampu betul mengaplikasikan konsep tersebut. Diperlukan pula konsistensi dalam proses pelaksanaannya, diman artinya guru tidak mudah menyerah untuk melakukan perubahan itu. Merdeka belajar tidak akan berhenti menjadi jargon belaka jika guru, siswa dan orang tua mampu seiring sejalan.

Penulis :

– Ertania Johana Maryasmara, S. Pd, Pendidik PAUD  Sekolah Kucica Ungaran, Kabupaten Semarang