Oleh : Hadi Priyanto
Drs R.M.P Sosrokartono lahir di Mayong, Jepara Rabu Pahing tanggal 17 Rabiul Awal 1297 H atau tanggal 10 April 1877. Ia adalah anak ke – 3 R.M. Semangun Sosroningrat dan MA Ngasirah. Mahasiswa pertama bangsa Jawa yang kuliah di Belanda ini bukan saja dikenal sebagai kakak kandung RA Kartini, tetapi juga promotor dan mentor yang membimbingnya melampaui jalan terjal yang sulit
Ia dapat dikatakan sebagai “Penyulut Lentera Nasionalisme”, karena termasuk golongan intelektual pertama yang menjadi inspirasi bangsanya untuk bersatu dan meraih kemerdekaan bersama.
Setelah lulus kuliah di Belanda dan mendapatkan predikat nilai terbaik , Sosrokartono tinggal di Eropa selama 28 tahun, diantaranya Belanda, Belgia, Austria, Perancis dan Swiss. Kariernya dimulai sebagai wartawan perang surat kabar New York Herald, penerjemah di Kedutaan Besar Perancis di Den Haag, Belanda dan penerjemah utama di Liga Bangsa Bangsa di Jenewa.
Sosrokartono juga tercatat sebagai salah satu pendiri Indische Vereeniging di Belanda yang dikenal sebagai embrio pergerakan nasional. Kelompok mahasiswa ini kemudian berubah nama menjadi Indinesische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia. Setelah pulang ke tanah air pada tahun 1925 ia tinggal di Bandung dan menjadi sahabat dan mentor para pemuda pergerakan hingga akhir hayatnya, 8 Februari 1952 dalam usia 75 tahun. Beliau juga dikenal sebagai guru spriritual dan sahabat yang sangat dihormati Ir Soekarno.
“Sosrokartono adalah sahabat saya, dan oleh karena beliau adalah Putra Indonesia yang Besar”.
Penggalan surat ini ditulis oleh oleh Ir. Soekarno, Presiden Republik Indonesia, 1 November 1954. Surat ini ditujukan kepada Keluarga Monosoeko Daroesalam saat para pengikut RMP Sosrokartono di Bandung memperingati 1.000 hari wafatnya mentor RA Kartini ini.
Surat ini ditulis tangan oleh Presiden Soekarno dengan menggunakan kop Presiden Republik Indonesia. Tentu ini menjadi bukti betapa Drs Raden Mas Panji Sosrokartono memiliki peran besar dalam perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaannya. Juga menggambarkan kedekatan kedua tokoh ini.

Menurut Maulwi Sailan, ajudan yang paling setia dan menemani hingga akhir hayatnya, Ir Soekarno , memiliki dua guru yang memberikan kekuatan spriritual hingga ia sangat kuat. Dua guru tersebut adalah Raden Mas Panji Sosrokartono dan Abdurrahman dari Petojo Selatan, Jakarta.
Pengakuan Ir Soekarno terhadap ketokohan Drs Raden Mas Panji Sosrokartono juga disampaikan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis oleh Cindy Adams. Pada buku biografi ini, Ir Soekarno menyebut sahabatnya ini sebagai seorang tokoh kebatinan yang sangat di hormati di Bandung.
Drs Raden Mas Panji Sosrokartono juga merupakan salah salah satu dari empat orang yang dikunjungi Soekarno menjelang kemerdekaan bangsa Indonesia.
Mereka dikenal sebagai ulama tasawuf yang mukasyafah atau terbuka mata batinnya. Empat ulama besar ini adalah Syeikh Musa dari Sukanegara, Cianjur Selatan, KH Abdul Mu’thi dari Madiun, Sang Alif atau Raden Mas Pandji Sosrokartono dari Bandung dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang.
Dalam pertemuan dengan para ulama tasawuf ini Ir Soekarno mendapatkan petunjuk dan nasehat bahwa akan ada berkat dan rahmat Tuhan yang akan turun di Indonesia, pada hari Jum’at Legi 1364 Hijrah. Bila tidak terjadi pada hari itu maka harus menunggu tiga abad lagi. Waktu itu sama persis dengan pembacaan teks proklamasi yang dilakukan oleh Ir Soekarno – Hatta.
Tentang tentang pemilihan waktu Proklamasi ini diungkapkan secara tidak langsung oleh Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis oleh Cindy Adams. Dalam buku ini Soekarno menuturkan kisahnya saat dipaksa oleh para pemuda yang menculiknya untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanggal 15 Agustus 1945. Sebab ia memilih tanggal 17 Agustus 1945. Dalam kisah ini Sukarno menuturkan:
“Yang paling penting dalam suatu peperangan atau revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17,”
Namun oleh Soekarni kemudian ditanyakan, mengapa ia memilih tanggal 17 Agustus? Tidak lebih baik sekarang saja atau tanggal 16 Agustus 1945? Pertanyaan Soekarni tersebut dijawab oleh Soekarno seperti tertulis dalam Buku Buang Karno Penyambung Lidah Rakyat :
“Aku percaya pada mistik. Aku tidak dapat menerangkan yang masuk akal mengapa tanggal 17 memberikan harapan kepadaku. Tetapi aku merasakan di dalam relung hatiku, bahwa dua hari lagi adalah saat yang baik. Tujuh belas angka yang suci.
Tujuh belas adalah angka keramat. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang manis. Jumat yang suci. Dan Hari Jumat tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam melakukan sembayang 17 rakaat sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10 atau 20 ? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.
Ketika aku pertama kali mendengar berita penyerahan Jepang, aku berfikir kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian aku menyadari, adalah takdir Tuhan bahwa peristiwa ini akan jatuh di hari keramat Nya. Proklamasi akan berlangsung tanggal 17. Revolusi akan mengikuti sesudah itu,”
Dalam buku biografinya Soekarno juga menceriterakan kekuatan spiritual Raden Mas Panji Sosrokartono saat ia sedang menghadapi keputusan pengadilan. Pada malam sebelum dibacakan vonis oleh hakim enam orang pembela Bung Karno telah menemui Raden Mas Panji Sosrokartono yang diketahui oleh mereka sebagai sahabat Bung Karno dan sekaligus guru spiritualnya.
Harapannya pada persidangan esuk harinya, Ir Soekarno dinyatakan bebas atau mendapatkan hukuman ringan. Mereka yang “sowan” Raden Mas Panji Sosrokartono adalah Mr. Sartono, Mr. Sastro Moelyono, Mr. Lukman Wiriadinata, Mr. R. Idih Prawiradiputera (Paguyuban Pasundan), Mr.Iskaq Cokrohadisurya (PNI ) dan Mr. Suyudi.
Kisah ini dituturkan kembali oleh Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams:
“Pada malam menjelang putusan hakim itu dibacakan, enam orang kawan pergi ke rumah Dokter Sosrokartono, seorang tokoh kebatinan yang sangat dihormati di Bandung. Sebagaimana kemudian diceriterakan kepadaku, keenam orang itu ingin menenangkan pikiran dan meski hari sudah lewat tengah malam. Mereka datang juga kerumah Dokter Sosrokartono, tanpa memberi tahu terlebih dahulu.
Seorang pembantu yang membukakan pintu memberi tahu mereka, Pak Dokter sudah menunggu-nunggu dan mengiringkan mereka ke ruang dalam, di mana enam buah kursi telah disusun dalam posisi setengah melingkar.
Kawan-kawanku itu tentu saja heran. Tanpa lebih dulu bertanya tentang maksud kedatangan mereka, tokoh kebatinan itu hanya mengucap tiga buah kalimat. Soekarno adalah seorang satria. Pejuang seperti satria boleh saja tersungkur, tetapi ia akan bangkit kembali. Waktunya tidak lama lagi.,”
Benar, esok harinya Bung Karno dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh hakim Siegenbeek van Heukelom. Ia dihukum paling berat. Sedangkan ke tiga teman Bung Karno diganjar hukuman masing-masing dua tahun.
RMP Sosrokartono juga aktif berdiskusi dengan Ir Soekarno, Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, Dr Samsi, Mr Soenardjo, Soewandi, Mr Oesman Sastroamijoyo SH, dr Cipto Mangoenkoesoemo dan Iskandar Kertomenggolo untuk membicarakan masa depan bangsanya. Bahkan Drs Sosrokartono juga disebut oleh Ch.O van der Plas , advieseour voor Inlandsche Zaken dalam laporannya ke Pemerintah Belanda sebagai Voorganger der PNI Group atau pelopor golongan PNI.
Dari rangkaian peristiwa di itu terlihat betapa nampak peran besar Drs RMP Sosrokartono dalam pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Walau pun ia tidak ikut mengangkat senjata dan bergabung dengan para pejuang, namun dari sikap dan perbuatannya nampak benar, bahwa RMP Sosrokartono ikut memberi warna pada ruang-ruang diskusi para pemuda pergerakan dan bahkan mempersembahkan kekuatan spiritualnya untuk bangsanya.
Perjalanan Hidup
Sosrokartono mulai menempuh pendidikan di Belanda pada usianya yang ke 20 tahun dan menjadi mahasisiwa bangsa Jawa pertama yang meneruskan pendidikan di Belanda. Sosrokartono mendaftarkan diri pada jurusan teknik sipil bernama Techinische Hogeschool di kota Delft, Belanda.
Namun setelah menempuh pendidikannya selama 2 tahun Sosrokartono ternyata lebih tertarik dengan ilmu filsafat dan kesusastraan Timur. Maka pada tahun 1899 ia memilih melanjutkan pendidikannya di Universiteit Leiden dan kuliah di Faculteit der En Wijsbegeerte atau Fakultas Bahassa-bahasa Timur.
Sosrokartono lulus dari Universitas Leiden pada 8 Maret 1908 dengan predikat terbaik, dan menjadi mahasiswa pertama bangsa Jawa yang lulus di Belanda dengan pujian karena nilai nilai akademiknya sangat baik. Sosrokartono mendapatkan gelar Doctorandus in de Oesterche Tan dengan predikat summa cumlaude.
Ia bersama para mahasiswa di Belanda pada tanggal 15 November 1908 tepat 179 hari sesudah berdirinya Budi Utomo mendirikan Indische Vereenigning. Organisasi para mahasiswa ini dilatar belakangi oleh kebutuhan akan wadah kebersaaam dan tolong menolong antar pelajar Indonesia di Belanda. Sebagai kelompok pemuda yang terdidik dan memiliki pemikiran yang kritis mereka sadar bahwa terah terjadi ketidak adilan di tanah kelahirannya.
Kemudian mereka berfikir bagaimana cara melepaskan belenggu yang sangat kuat yang mencengkram bangsanya selama berabad-abad. Saat itu Indische Vereenigning mengirimkan buku berisi sumbang sih pemikiran mereka kepada Boedi Oetomo di Batavia, dalam buku tersebut nama Sosrokartono ditulis sebagai tim redaksi penyusun buku.
Selepas menyelesaikan pendidikannya Sosrokartono bekerja di beberapa kantor particulier atau swasta dan kemudian ia memilih menjadi wartawan perang. Ia menjadi satu-satunya pelamar yang diterima. Sejak 1917 ia menjadi wartawan perang dunia. Sebagai wartawan perang, Sosrokartono terkenal karaena kecakapannya, keberanian dan ketenangannya di dalam melakukan kegiatan jurnalistik di medan perang.
Dalam The New York Herland dimana Sosrokartono sebagai salah satu korespondennya, ia berhasil menyiarkan dan memuat hasil perundingan yang teramat rahasia yaitu menyerahnya Jerman kepada Perancis. Padahal pertemuan tersebut tidak boleh siarankan oleh pers tanpa persetujuan resmi. Itulah salah satu bukti prestasi Sosrokartono dalam dunia kewartawanan yang memiliki kelebihan dalam mencari berita dibanding wartawan lain. Ketika menjadi wartawan Sosrokartono mendapatkan gaji sebesar 1,250 US dollar kala itu.
Kemudian pada tahun 1918 Sosrokartono menjadi juru bahasa tunggal blok sekutu Ia satu-satunya pelamar yang terpilih karena mahir bahasa Rusia serta menguasai berbagai bahasa Eropa lainnya. Namun pada 1919 ia mengundurkan diri sebab yang dikerjakan tidak sesuai dengan panggilan jiwa dan nuraninya.
Karirnya semakin melambung sejak Sosrokartono terpilih menjadi Atase pada kedutaan Besar Perancis di ibukota kerajaan Belanda di Den Haag pada tahun 1919. Namun lagi-lagi Sosrokartono tidak merasakan kedamaian karena pekerjaan yang dia lakukan bukan untuk kepentingan bangsanya tapi justri untuk kepentingan bangsa lain.
Pada tahun 1920 Sosrokartono tampil lagi dalam percaturan politik internasional. Ia menjadi penerjemah di Liga Bangsa-Bangsa, Namun pada akhirnya Sosrokartono meninggalkan pekerjaannya sebagai pernerjemah di Volken Bond di Ganewa karena merasa dunia politik itu semu dan kotor. Ia mulai bimbang dalam menempuh karir di negeri orang.
Pada tahun 1921 Sosrokartono mendaftar sebagai mahasiswa di Universitas Sorbonne di Paris, ia mengambil jurusan Psycbonetric dan psycboteknik, namun ketika mendaftar ia hanya diterima sebagai pendengar karena fakultas tersebut hanya disediakan khusus untuk orang yang memiliki ijazah dokter, sedangkan Sosrokartono adalah ahli bahasa. Oleh karena itu Sosrokartono tidak akan mendapatkan ijazah. Namun ia bisa mengikuti semua pelajaran yang diberikan.
Pengalaman hidup dan berkarir Sosroksrtono di negeri Belanda membuatnya sadar bahwa kenikmatan duniawi tidak akan memberikan apa-apa. Sosrokartono mulai bimbang antara harus memilih dunia material atau dunia spiritual. Akhirnya Sosrokartono mengambil keputusan untuk kembali ke tanah air dan belajar dunia spiritual. Keputusan ini di ambil saat ia beradadi Wina.
Memang, setelah menempuh karir selama 28 tahun diluar negeri, Sosrokarrtono tidak merasa puas, jiwanya gersang dan sering kali merasa tidak ada kedamaian dalam jiwanya. Pada tahun 1925 Sosrokartono meninggalkan Belanda dan semua kekayaan yang ia miliki.
Saat di tanah air, Sosrokartono menjadi guru di Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara di Bandung dan aktif dalam pergerakan. Ia bahkan menjadi mentor para pemuda yang gigih memperjuangkan kemerdekaan bangsanya Ia sangat dekat dengan Ir. Soekarno yang kelak menyebutnya sebagai Putra Indonesia yang Besar.
Ia meninggal pada tanggal 8 Februari 1952 dan dimakamkan di Makam Sedo Mukti, Kudus, Jawa Tengah. Di nisannya terdapat tulisan “Soegih tanpo bondo, digdojo tanpo adji, ngaloerog tanpo bolo, menang tanpo ngasoraken”, salah satu ajarannya yang masih dikenal sampai saat ini.
Hadi Priyanto adalah Penulis buku Drs RMP Sosrokartono, Biografi dan Ajaran-ajarannya, buku Sosrokartono de Javasche Prins dan buku Raden Mas Panji Sosrokartono Putra Indonesia yang Besar, serta wartawan SUARABARU.ID