![blank](https://suarabaru.id/wp-content/plugins/wp-fastest-cache-premium/pro/images/blank.gif)
Bagaimana episode bethek laut Tangerang selanjutnya setelah konangan? Saran saya, agar sembuh seperti Pak Suta, perlulah ditempuh jalan budaya, yakni perlu keberanian agar kewiyak kabeh.
Wiyak, biyak
Wiyak, diwiyak; atau biyak, dibiyak, adalah kata-kata Jawa untuk menjelaskan dua hal terpenting. Pertama, wiyak, kata kerjanya menjadi diwiyak artinya dibuka sarana disisihake ngiwa-nengen.
Maksudnya, sesuatu harus dibuka dengan cara dipilah ke kanan dan ke kiri. Bagaikan kain korden, bukalah sebagiannya ke kiri dan sebagiannya ke kanan. Jika tidak dibagi menjadi dua bagian atau lebih; yahhhh pilih saja ke kanan atau ke kiri. Tindakan terpenting dalam wiyak atau biyak ialah membuka.
Baca juga Walang Antaga
Kedua, arti diwiyak atau dibiyak ialah diwedharake. Maknanya ialah semua dijelaskan sejelas mungkin. Bukan sekedar dibuka saja, tetapi suatu peristiwa atau kondisi itu harus dijelaskan secara rinci.
Pak Suta mau dioperasi setelah dokter menjelaskan secara rinci tentang penyakit yang diderita, akibat klinis yang timbul karena adanya penyakit itu, risiko yang akan terjadi, dst. dsb. Diwedharake, yaitu dijelaskan secara tuntas, adalah tindakan sangat penting supaya semua orang tahu duduk perkaranya. Dan memang risikonya, hal-hal yang menyangkut rahasia atau nama-nama orang sangat mungkin terbuka. Itulah kewiyak.
Kewiyak
Memang berat bagi siapa pun, –termasuk para menteri– untuk berani membuka, apalagi misalnya, ada rahasia dan ada nama-nama orang di dalam peristiwa itu. Dokter pun berat juga untuk mengatakan kepada Pak Suta yang selalu mengatakan: “Kula niku sehat dokter, mung mumat-mumet mawon, biasa ta nggih?”
Tidak mustahil dalam masalah bethek laut Tangerang, pasti ada saja pihak-pihak yang ngeyel seperti Pak Suta tadi: “Ini kan masalah abrasi yang mengancam pemukiman penduduk pantai, masak tidak boleh diatasi?” Eyelan lain pasti juga muncul, misalnya: “Katanya kita ini mau maju, diajak maju mempercantik pesisir saja geger genjik?” Dan seterusnya, dan sebagainya.
Itulah berbagai risiko setelah sesuatu kewiyak. Segera setelah konangan, lalu sedikit demi sedikit permasalahan itu terbuka dan ternyata menjalar kemana-mana; Nah…………. di sinilah jalan budaya yang harus ditempuh oleh semua pihak, terutama oleh pihak-pihak yang berwajib untuk menyelesaikannya. Ada beberapa jalan budaya, di antaranya:
Satu, tempuhlah secara diam-diam yang saya sebut “rembug para petinggi.” ; ada masalah amat penting, maka harus dibicarakan oleh para petinggi secara cermat.
Dua, aja digawe remeh, maksudnya masalah hendaknya tidak dianggap sebagai “masalah kecil saja tuh”, lalu lurah, kepala seksi, atau kepala dinas saja yang dikenai sanksi. Pasti tidak tuntas kalau hanya sampai di sini; semisal Pak Suta, kelak keluhan mumat-mumet akan terngiang terus kalau tidak dioperasi.
Tiga, aja mandheg tumoleh, mereka yang berwajib menyelesaikan masalah jangan lagi toleh kanan toleh kiri. Jalan lurus saja karena kabeh wis kewiyak. Jika semuanya sudah terbuka jelas, yahhhh hendaknya jangan surut. “Sebelum padam, pantang pulang.”
Seorang Selma Lagerloeff, dulunya prajurit agresif, namun berubah menjadi pencinta damai gara-gara nyala lilin. Ia punya nadar, kalau menang perang, ia akan membawa lilin bernyala dari medan perang sampai ke rumahnya di Florence, Perancis.
Dalam perjalanan, harta milik hasil jarahan perang dan senjata perangnya dirampok, ia tidak melawan. Dan tinggal seekor kuda tua dan kecil yang tersisa. Dengan kuda itu ia melanjutkan perjalanan pulang. Ketika memasuki negerinya, ia mengira akan banyak dibantu teman. Ternyata tidak, karena ada saja yang mengolok-olok bahkan mau merebut lilin itu untuk dipadamkan.
Dengan fokusnya Selma berhasil menyalakan lilin di katedral di Florence dengna nyala lilinnya. Ia berucap: “Nyala lilin itu menuntut perhatian penuh. Jangan merasa aman semenit pun sebelum sampai tujuan, karena ada saja yang mau merebut, atau bahkan mencurinya.”
Tetap nyala terus lilin-lilin “miyak” agar semua yang terselubung selama ini “KEWIYAK”.
JC Tukiman Taruna, Pengajar Pengembangan Masyarakat di Pascasarjana UNS Surakarta dan SCU Semarang