blank
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tanjungrejo, Jekulo, Kudus, Jawa Tengah. (Foto: detik.com)

Oleh Arif Rohman

Saat alarm berbunyi, kita punya dua pilihan: bangun dan memulai aktivitas atau mematikan alarm dan kembali tidur. Tapi kali ini, alarm itu bukan untuk membangunkan tubuh, melainkan kesadaran kita—kesadaran yang dipaksa bangun oleh warga Desa Tanjungrejo melalui protes mereka tentang sampah.

Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, seperti kebanyakan TPA lainnya, awalnya adalah solusi, tetapi kini justru mencemari. Didesain sebagai cekungan untuk menampung limbah kota, TPA itu kini berubah menjadi gunungan sampah yang terus mengancam.

Kepala Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup (PKPLH) Kudus, Abdul Halil menyebut volume sampah di TPA bisa  mencapai 175 ton per hari (Detik.com/16/01/2025). Baik menggunakan metode open dumping maupun sanitary landfill, TPA hanyalah tempat untuk memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.

Hingga akhirnya, bom waktu itu meledak. Dengan sampah yang menggunung dan dampak negatif yang tak tertahankan, warga Desa Tanjungrejo melakukan perlawanan. Gerbang TPA disegel dengan las—sebuah simbol ketidakpuasan sekaligus alarm darurat bagi kita semua.

Sampah Kita

Krisis sampah ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi cerminan kebiasaan kita. Sampah yang menumpuk di TPA adalah hasil dari rutinitas harian kita. Sejauh ini, sebagian besar dari kita hanya peduli sampai sampah keluar dari rumah, tanpa memikirkan ke mana dan bagaimana akhirnya. Kapan kita bertanggungjawab atas sampah kita?

Sebagai seorang warga yang turut gelisah, saya sudah mencoba langkah-langkah kecil di rumah: memilah sampah organik dan anorganik, membuat kompos, hingga mencoba ecobrick. Tapi jujur saja, membuat ecobrick itu tidak mudah. Selain membutuhkan waktu dan tenaga, solusi ini sering kali justru menumpuk sampah plastik di rumah. Namun, di tengah krisis, kita tidak punya banyak pilihan selain mencoba mengurangi dampak yang ada.

Ironisnya, penyegelan TPA ini terjadi di musim hujan, saat pembakaran sampah menjadi solusi yang mustahil bagi sebagian besar warga, apalagi di lingkungan dengan lahan sempit. Pembakaran tidak hanya mengganggu tetangga tetapi juga mencemari udara. Di sisi lain, 70% sampah di TPA Tanjungrejo disebut merupakan sampah organik. Jika informasi ini benar, bukankah kita sebenarnya punya jalan keluar?

Di rumah, saya mencoba menaruh sampah organik di pot terpisah untuk dijadikan kompos. Ini memang langkah kecil, tapi jika setiap rumah melakukannya, minimal gunungan sampah di TPA tidak lagi bertambah.

Dalam bukunya Tiny Habits, BJ Fogg mengatakan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten. Mungkin kita bisa mulai dengan hal sederhana, seperti menyediakan dua tempat sampah—satu untuk organik dan satu untuk anorganik. Setelah itu, kebiasaan lain bisa mengikuti.

Di sisi lain, niatan beberapa BUMDes untuk mengelola sampah adalah langkah yang patut didukung. Studi banding ke daerah yang lebih sukses dalam pengelolaan sampah bisa menjadi inspirasi untuk mendirikan bank sampah atau program daur ulang lainnya. Jika warga diberi insentif untuk menabung sampah, seperti yang sudah diterapkan di beberapa bank sampah, perubahan perilaku mungkin lebih cepat terwujud.

Kudus, kota dengan beragam branding seperti “Kudus Kota Semarak” dan “Kudus Kota Kretek”, sedang dihadapkan pada tantangan besar untuk menjaga citra positifnya. Branding semacam “Kudus Kota Santri” mungkin terdengar menarik, tetapi semua itu akan kehilangan maknanya jika kita membiarkan TPA Tanjungrejo dan masalah sampah ini menjadi wajah baru kota Kudus—Menuju Kota Maksimal Sampah.

Penyegelan TPA bukan sekadar aksi protes warga, tetapi juga alarm untuk kita semua. Ini panggilan darurat agar kita tidak mematikan alarm dan kembali tidur, tetapi bangun dan berusaha menjadi orang yang bertanggungjawab atas sampahnya sendiri. Karena jika tidak, bom waktu ini akan terus berdetak, dan dampaknya akan meluas jauh lebih besar dari yang kita bayangkan.

Arif Rohman, Aktif di sekolah Omah Dongeng Marwah dan komunitas menulis Kofiku (Komunitas Fiksi Kudus)