blank
Ilustrasi. Foto: reka SB.ID

Baca juga Peluru Menyasar Tangan tetapi Tak Ada Luka

Dari sisi ilmu pernapasan, wirid juga bentuk lain dari teknik pernapasan dan sekaligus konsentrasi yang intensitasnya lebih berbobot dibanding jika berlatih sekali atau dua kali seminggu. Jika diperbandingkan dengan latihan mengolah tenaga dalam yang hanya beberapa minggu atau bulan, metode “olah napas” plus doa memiliki catatan lebih banyak.

Apalagi jika ditambah ritual ibadah lain, salat, baca Alquran dan setiap ibadah itu melibatkan unsur-unsur olah nafas. Apalagi, para ahli hikmah mengetahui rahasia huruf-huruf hijaiyah, dan memandang aktivitas wirid sebagai upaya bersahabat dengan “energi metafisis” dari doa dan ayat-ayat yang diamalkan, sehingga, nilai dari wirid itu bukan karena konsentrasi, olah napas saja.

Kebal dan Selamat

Ada sosok hukama menanggapi kejadian yang dialami santri, sebagaimana  yang saya kisahkan pada buku saya, khususnya ketika ada yang melindungi atau menghalangi bahaya yang menyebabkan dia tidak terluka. Ada yang berpendapat, huruf itu makhluk Allah dan karena itu Allah menjaga-Nya.

Menurut para ahli hikmah, setiap huruf yang terdapat dalam Alquran dijaga  Malaikat, maka seseorang yang bisa memanfaatkan huruf-huruf itu berdasarkan petunjuk para ahli hikmah, mereka dapat mengambil manfaatnya. Dengan kata lain, energi metafisis dari suatu amalan wirid, doa, terletak pada keyakinan dan kerutinannya.

Seseorang yang mempelajari suatu ilmu jika dia merutinkan bacaannya, berarti dia selalu berkomunikasi dengan sumber kekuatan dan keberkahannya. Saya pernah mendengar pengakuan seseorang yang pernah belajar tenaga dalam pada tahun 1980-an. Dia berprofesi sopir jurusan Tayu-Jepara.

Kejadian itu pernah saya tulis pada buku saya. Yaitu, sopir berhasil menghalau orang sakit jiwa yang  menyerangnya di depan pasar sembilan KM dari rumah saya.

Pada kejadian itu dia masih aktif mengamalkan doa dan amalan doa wirid-nya. Tiga tahun kemudian, lingkungan kerjanya mempengaruhi sehingga dia mulai berjudi dan menyabung ayam lagi. Dia mulai keluar dari “rambu-rambu” yang semula dia jaga. Ibarat kucing tidak diberi makan, tentu saja minggat.

Dalam wawancara tersebut tidak sengaja terlontar informasi wirid yang bisa dijadikan sarana untuk mengebalkan rambut. Tentu saja saya langsung tanggap, karena pada dasarnya wirid itu sudah banyak diamalkan para santri. Bedanya,  jika dihajatkan untuk  kebal rambut dibutuhkan aturan tersendiri yang cukup berat dilakukan generasi sekarang.

Ketika saya utarakan keinginan memiliki ijazah ilmu kebal itu, Kiai Cholil memperkenankan. Setelah saya amalkan dalam kurun waktu dua sampai tiga bulan sifat bosan mulai datang. Wirid yang semestinya dilanggengkan setiap waktu yang ditentukan semakin hari semakin banyak yang kosong atau gonthang, dalam istilah Jawa.

Ketika saya sampaikan kegagalan itu, beliau tertawa. Menurut beliau, itu tandanya  tidak serius mengamalkannya. Beliau lalu menceritakan, teman satu angkatannya saat berguru, diantaranya almarhum “santri sakti”  dan teman lain banyak yang gagal.

Mereka yang gagal itu pada umumnya yang  mengamalkan setengah hati. Saya lalu berpikir, jika zaman dulu banyak yang gagal, apalagi sekarang yang tingkat keterdesakannya  semakin jarang bahkan mendekati tidak ada. Saya menganalisa, mengapa kebanyakan putra agamawan zaman tahun 60-an  banyak yang berhasil ketika tirakat dibanding para santri lain?

Lepas dari unsur trah, saya berpendapat putra agamawan pada masa itu rasa keterdesakan lebih besar dibanding santri lain. Salah satau faktor diataranya, karena mereka melindungi diri dan keluarga, dia juga dituntut oleh zaman untuk  tampil sebagai “hero” dari serangan orang-orang yang antiagama.

Pemuda Meir

Keadaan kritis dengan keajaiban itu bagaikan ikan dan air, keduanya selalu menyatu, kapan dan dimanapun. Sehingga sebagian kalangan mengatakan,  keterdesakan, bahaya itu bagian dari rahmat Allah. Karena berawal dari itu menjadi sebab Tuhan  menurunkan keajaiban-Nya.

Dalam keadaan kritis, manusia sering mengalami keajaiban-keajaiban di luar nalarnya. Sebagaimana kisah tentang pemuda Meir penjual Roti keliling di zaman Bani Israil. Dikisahkan, Meir adalah pemuda tampan yang berperilaku baik dan dalam kesehariannya berjualan roti lagi.

Suatu hari seorang putri bangsawan terpikat oleh ketampanan pemuda Meir. Maka ketika Meir menjajakan roti di depan istananya, seorang pelayan disuruh memanggil Meir masuk istana. Dan betapa kagetnya, ketika dia sudah berada dalam istana, tuan putri mengunci seluruh pintu kemudian berdiri di depan Meir dengan lagak “menantang”, jika Meir tidak bersedia melayani nafsu birahinya, dia akan berteriak seakan-akan diperkosa.

“Baiklah, tapi beri saya kesempatan untuk mengambil air wudhu,” Pinta Meir. Oleh tuan putri permintaan itu dikabulkan. Namun Meir memanfaatkan untuk melarikan diri. Satu-satunya jalan untuk bisa lepas harus naik ke atas bangunan istana yang paling tinggi, kemudian melompat dari atasnya. Bersambung