blank
Shin Tae Yong. Foto: Instagram @shintaeyong7777

 

Oleh: Amir Machmud NS                   

blank

PEMECATAN Shin Tae-yong dari kursi pelatih tim nasional, Senin (6/1) bisa dibilang cukup mengejutkan, dan menciptakan opini pro-kontra.

Ketika Ketua Umum PSSI Erick Thohir mengumumkan pemberhentian itu, berakhirlah kerja sama yang berjalan sejak 2019.

 

Isu pemecatan sudah berhembus sebelum kekalahan dari Cina dalam laga Grup C Pra-Piala Dunia di Qingdao, 15 Oktober 2024, namun baru benar-benar menjadi kenyataan setelah STY gagal membawa tim lolos ke semifinal Piala AFF 2024.

Disebut-sebut mengenai “faktor komunikasi” yang tidak dijelaskan secara gamblang oleh Erick Thohir, kecuali narasi tentang “ruang ganti yang panas” menjelang laga melawan China.

Saya menangkap ada masalah sensitif yang rupanya ditutupi oleh PSSI. Alasan Erick, waktu itu sudah ada alasan untuk mengakhiri kerja sama, namun pendeknya jadwal untuk menjamu Jepang lalu Arab Saudi dalam lanjutan laga Grup C akhirnya menunggu momentum yang pas.

Dan, momentum itu adalah kegagalan timnas lolos ke semifinal Piala AFF 2024, dengan hasil menang 1-0 atas Myanmar, seri 3-3 melawan Laos, kalah 0-1 dari Vietnam dan 0-1 dari Filipina.

Netizens pun terbelah, antara mendukung dan menyayangkan keputusan PSSI. Bagaimanapun, selama lima tahun ini, banyak hal yang menjadi dinamika performa timnas di bawah coach STY, namun PSSI tentu memiliki pertimbangan untuk agenda-agenda strategis ke depan.

Target lolos ke Piala Dunia 2026 di Amerika Utara — yang antara lain sampai ke babak ketiga kualifikasi, berkat polesan STY — menjadi justifikasi PSSI bahwa Indonesia perlu meningkatkan level kualitas kepelatihan. Apakah ini akan ditemukan pada sosok pengganti Shin, kita hanya bisa menunggu pembuktian.

Selama bersama Tim Garuda, STY memimpin dalam 57 pertandingan, dengan 26 kali menang, 14 seri, dan 17 kali kalah.

Pada era STY, yang paling menonjol adalah proyek memberi kewarganegaraan banyak pemain diaspora yang kemudian menjadi andalan timnas. Pemerintah dan PSSI memberi dukungan penuh.

Kegairahan

Saya pribadi merasakan ada sesuatu yang “hilang” ketika STY resmi diberhentikan. Sejauh yang saya rasakan, pelatih asal Korea Selatan yang mengarsiteki timnas negaranya mengalahkan Jerman 2-0 di Piala Dunia 2018 itu telah menciptakan atmosfer “kegairahan” dalam pembangunan timnas Indonesia.

Orang yang telah mengangkat Indonesia dari ranking 174 FIFA ke peringkat 127, haruskah mengalami ini?

Orang yang mengantar Timnas Garuda untuk kali pertama lolos ke 16 besar Piala Asia, akhirnya dipecat?

Orang yang mengangkat Tim U23 ke semifinal Piala AFC 2024 harus diberhentikan?

STY memang belum sekalipun memberi trofi, dan boleh dikata gagal bersaing di level ASEAN, namun telah banyak yang menjadi jejak untuk membangun “kultur sepak bola” kita, khususnya timnas. Inilah ironinya: dia membawa timnas melompat ke level sekarang, tapi gagal meraih posisi sebagai “Raja ASEAN’.

Dalam konferensi pers Senin siang lalu, Erick Thohir menegaskan, alasan pemberhentian STY antara lain karena masalah komunikasi, strategi, dan kepemimpinan di timnas Indonesia.

Ke depan, yang dibutuhkan, “Komunikasi yang lebih baik, dan tentu implementasi program yang lebih baik secara menyeluruh”.

Dia menambahkan tentang dinamika timnas, “Saya melihat dinamika ini cukup kompleks. Kalau kita mengambil keputusan tergesa-gesa, kurang baik juga. Sebelum pertandingan melawan Cina — tidak kami lakukan pergantian pelatih — karena waktunya terlalu mepet. Yang terbaik ya hari ini, karena kita masih punya waktu dua bulan setengah untuk persiapan. Waktu dua setengah bulan ini cukup”.

Dua setengah bulan yang dia maksudkan adalah pertandingan lanjutan babak ketiga Grup C Pra-Piala Dunia melawan Australia dan Bahrain pada bulan Maret.

Erick pun menekankan perihal hubungan antarpersonal dalam membangun kekuatan sepak bola Indonesia.

Ditambahkan, dalam sepak bola yang berat adalah intangible. “Salah satunya teamwork kekompakan pemain, pelatih, PSSI dengan tim, PSSI dengan pelatih itu dinamika yang tentu menjadi tolok ukur yang tidak mudah diprediksi, tetapi yang tadi saya sampaikan kalau kita coba sebaik-baiknya paling tidak titik-titik ini bisa kita kurangi. Salah satunya komunikasi,” tambah Erick.

Budaya Sepak Bola

Selama lima tahun ini, kegairahan masyarakat terhadap timnas bisa diciptakan. Dukungan besar itu, pada satu segi adalah modal, dan pada sisi lain merupakan “tuntutan”.

STY menenamkan kultur sepak bola yang bisa dirasakan. Antara lain bagaimana secara profesional merawat fisik pemain dengan gaya hidup dan asupan nutrisi yang dibutuhkan. Juga secara ketat mengontrol pemain untuk menghindari asupan makan seperti gorengan. Ini sempat menimbulkan “resistensi” di kalangan pemain, namun akhirnya terserap menjadi sikap keseharian.

Satu hal yang menjadi kendala adalah komunikasi dengan pemain, yang harus dijembatani oleh penerjemah. Dia tidak fasih berbahasa Inggris, dan kurang intens berlatih Bahasa Indonesia.

Apa pun, keputusan sudah diambil oleh otoritas sepak bola kita. STY bisa menerima sebagai konsekuensi profesional dalam industri sepak bola. Hanya, kita melihat ini sebagai spekulasi baru: bukankah bagaimanapun, tidak mudah membangun chemistry dengan sosok baru?

Kita hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi dengan pelatih baru nanti — mungkin Patrick Kluivert — yang tentu lebih bisa berkomunikasi dengan pemain diaspora yang mayoritas berasal dari Belanda.

Dan, kita akan mencatat STY sebagai bagian dari sejarah penting timnas Indonesia, dengan kiprah yang menonjol di antara deretan pelatih asing yang pernah mengarsiteki Tim Merah-Putih…

 

— Amir Machmud NS; wartawan Suarabaru.Id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah