blank
Kiai Abu Syuja'

JEPARA (SUARABARU.ID)- Madrasah Masalikil Huda merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua yang berada di Kabupaten Jepara. Madrasah yang berdiri di Desa Tahunan, Kecamatan Tahunan ini didirikan oleh Kiai Abu Syuja’ pada tahun 1928. Kemudian pada 15 Mei 1931 Kiai Abu Syuja’ meresmikan madrasah tersebut dengan memberi nama Masalikil Huda.

blank
Madrasah Masalikil Huda sekarang, dan foto KH. Ahmad Zawawi menantu sekaligus penerus KH. Abu Syuja’.

Hampir satu abad, lembaga pendidikan yang yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh di Jepara ini berdiri. Masalikil Huda juga menjadi salah satu pelopor gerakan “Sekolah Arab” yang pada masa pemerintah Hindia Belanda termasuk sekolah yang diawasi dengan ketat.

Mengenal Sosok Kiai Abu Syuja’

Tercatat dalam sejarah, rentang waktu 25 tahun (1899-1923), merupakan waktu yang cukup panjang bagi Abu Syuja’ muda dalam menjelajah, mengembara dan menimba ilmu kepada para kiai-kiai sepuh di tanah Jawa. Tercatat tiga pondok pesantren yang mempunyai tradisi keilmuan agama Islam yang sangat tinggi pernah disinggahi Abu Syuja’ muda.

Lahir di Jepara pada tahun 1883 dari pasangan Mbah Sarjono dan Mbah Nyai Wagirah, Abu Syuja’ kecil telah mendapatkan gemblengan ilmu agama dari sang ayah. Anak kedua dari tiga bersaudara ini telah menunjukan keistimewaan dalam memahami ilmu agama sejak kecil. Bersama dua saudaranya, yang pertama kakak perempuan bernama Wuryan, dan yang kedua adik laki-laki bernama Mawardi, tiga bersaudara ini mendapatkan pendidikan Agama Islam dengan penanaman aqidah yang sangat kuat dari sang ayah.

Pada tahun 1899, Saat usia remaja, tepatnya usia 15 tahun, Abu Syuja’ dikirim oleh ayahnya, Mbah Sarjono ke Pondok Pesantren Bulu Manis, Tayu Wetan. Salah satu pondok yang diasuh oleh kiai sepuh, KH. Sholeh Amin. KH. Sholeh Amin adalah ayah dari KH. Mujib Sholeh dan KH. M. Amin Sholeh pendiri Madrasah Aliyah Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara.

Tidak cukup dengan satu pondok pesantren, Setelah menyelesaikan pendidikan sebagai santri di Bulu Manis Tayu Wetan, Abu Syuja’ muda melanjutkan pengembaraannya dalam menuntut iilmu agama. Pilihan selanjutnya adalah Pondok Pesantren Darul Ulum, Tebuiireng, Jombang, Jawa Timur. Yang diasuh oleh kiai sepuh, dan salah satu murid dari Syaikhona Cholil Bangkalan, yakni Kiai Tamin Irsyad.

Sekembalinya dari Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang, Abu Syuja’ melanjutkan ke pondok pesantren di wilayah Jepara. Salah satu pondok pesantren tertua, yakni Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadi’in Balekambang, Nalumsari, Mayong, yang diasuh oleh Kiai Hasbullah Hazdiq, ayah dari KH. Abdullah Hazdiq.

Oleh gurunya, Abu Syuja’ muda diperintah untuk mengamalkan ilmunya dengan membuka langgar untuk tempat mengaji. Kelak, langgar tersebut menjadi Masjid Masy’arul Mujahidin.

Jalan Terjal sang Kiai

Setelah pulang dari menuntut ilmu di beberapa pondok pesantren, Abu Syuja’ yang merupakan putra dari salah satu keluarga terpandang di Jepara menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, dan mulai mengajar KH. Abu Syuja’ dinikahkan dengan Ibu Siti Fatimah, putri dari pasangan Mbah Astro Tamsir dan Mbah Rebinah.

Sebagai kepala rumah tangga, Kiai Abu Syuja’ harus bekerja untuk menafkahi keluarga. Masa sulit KH. Abu Syuja’ adalah saat merintis langgar sebagai tempat mengaji dengan kegiatannya sehari-hari berdagang kain jarit dan sarung di pasar. Masa sulit inilah yang sempat membuat Kiai Abu Syuja’ putus asa.

Kegagalan demi kegagalan dalam berdagang yang dijalaninya selama tiga tahun membuat dirinya menghadap pada gurunya, Kiai Sholeh Amin Tayu. Oleh gurunya, Kiai Abu Syuja’ diberi petunjuk agar mengelola lembaga pendidikan agama. Mendapatkan perintah dari gurunya untuk membuka lembaga pendidikan yang lebih terbuka tidak segera dilaksanakan Kiai Abu Syuja’.

Mengingat pada saat itu masih masa penjajahan Belanda. Masa penjajahan Belanda melarang keras didirikannya sekolah-sekolah agama, apalagi sekolah formal. Hal ini dapat dipahami karena basis perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan oleh para ulama’ dan santri.

Dukungan pertama kali untuk mendirikan lembaga pendidikan datang dari sang kakak, Mbah Wuryan dan sang adik Kiai Mawardi. Tiga bersaudara ini bahu membahu dan berbagi peran dalam merintis lembaga pendidikan yang akan didirikan oleh Kiai Abu Syuja’.

Mbah Wuryan yang pada saat itu sudah mapan dalam segi ekonomi mensuport penuh Kiai Abu Syuja’ untuk semua kebutuhan lembaga pendidikannya. Sedangkan Kiai Mawardi menunaikan ibadah haji serta menuntut ilmu di tanah Arab atas biaya dari Mbah Wuryan.

Mendirikan Lembaga Pendidikan

Pada usia 45 tahun, tepatnya pada tahun 1928 Kiai Abu Syuja’ meneguhkan hatinya untuk mengikuti dawuh dari gurunya Kiai Sholeh Amin dengan merintis sebuah lembaga pendidikan menggunakan jenjang kelas Shiffir Awwal A, Shiffir Awwal B, Shiffir Tsani, dan Shiffir Tsalits.

Nama Masalikil Huda diambil dari perjalanan panjang Kiai Abu Syuja’ yang dimulai dari menuntut ilmu, merintis tempat ngaji di langgar, hingga mendapatkan petunjuk dari gurunya untuk mendirikan lembaga pendidikan.

Mengapa Kiai Abu Syuja’ memberi nama lembaga pendidikannya dengan nama Masalikil Huda. “Masalikil” mempunyai arti “Beberapa Jalan”, sedangkan “Huda” mempunyai arti “Petunjuk”. Jika dimaknai, Masalikil Huda mengandung arti Beberapa Jalan Petunjuk. Salah satunya adalah petunjuk dari sang guru untuk mendirikan lembaga pendidikan.

ua