JEPARA (SUARABARU.ID)- Sebuah bangunan bergaya arsitektur Belanda tampak masih kokoh berdiri meskipun sudah dimakan usia. Sisa bangunan peninggalan kolonial ini dulu dikenal sebagai Pabrik Gula Bonjot yang dibangun pada 1936-1939 sesuai tahun yang tertera di atas bangunan.
Bangunan yang terletak di pinggir jalan raya Krasak, tepatnya di belakang Balaidesa Krasak ini menyimpan cerita mistis karena terletak di tempat singit, yang konon menurut cerita masyarakat setempat adalah petilasan Mbah Suto. Selain itu cerita urban legend juga berkembang terkait dengan keberadaan hantu noni-noni Belanda yang bergentayangan di sekitar pabrik.
Suarabaru.id mencoba mengunjungi bangunan tersebut yang pada tahun 1965 sudah beralih fungsi menjadi gudang penyimpanan beras oleh Pemerintah Indonesia melalui PN. Pertani (BUMN) yang khusus menangani produksi beras.
Ketika kami mulai memasuki area pabrik, sore, saat matahari mulai tenggelam, suasana angker menyelimuti area tersebut karena harus melewati petilasan yang diyakini masyarakat setempat sebagai pesanggrahan Mbah Suto. Petilasan tersebut berada di bawah pohon beringin tua.
Di area pesanggrahan tertulis peringatan “Dilarang pecicilan di area Pesanggrahan Mbah Suto Mbonjot, Berbahaya!”, demikian peringatan tersebut ditempel di pohon beringin depan pesanggrahan.
Beberapa meter dari area petilasan sudah nampak bangunan yang dulu adalah pabrik gula. Setelah pabrik gula di Pecangaan ditutup pada tahun 1934. Pada tahun 1942 pabrik gula Bonjot mulai ditinggalkan setelah kedatangan Jepang ke Indonesia.
Gedung tersebut sekarang sudah beralih fungsi sebagai gudang mebel. Di belakang gedung nampak digunakan sebagai tempat parkir truk.
Siapakah Mbah Suto?
Dalam Pesanggrahan ditulis dengan sebutan Mbah Suto Rangen. Menurut cerita tutur Mbah Suto Rangen hidup di masa Adipati Tjitrasoma III.
“Namanya Suto Rangen, beliau hidup di masa Eyang Tjitrosomo III. Beliau juga moksa dan berguru kepada Kanjeng Sunan Muria. Di Gunung Muria beliau bertugas menjaga Muria serta sebagai penjaga di pintu gerbang yang pakai tangga”, kata Edy Kadarisman, Ketua Yayasan Tjitrosomo Jepara.
Berbeda dengan Mbah Suto Rangen yang petilasannya berada di Bonjot, ada satu nama lagi yang juga bernama Mbah Suto, yakni Sutowijoyo. Ia berkaitan erat dengan Tumenggung Adipati Tjitrosomo I. Dari silsilah keluarga Tjitrosoman, Sutowijoyo dan Ki Wuragil Djiwosuto adalah kakak beradik putra dari Raden Tumenggung Reksojiwo.
Kelak, Ki Wuragil yang kemudian diangkat menjadi Adipati Jepara yang bergelar Tjitrosomo I selalu didampingi oleh Sutowijoyo, kakaknya. Sutowijoyo atau yang dikenal dengan sebutan Mbah Suto ini dikenal sebagai orang yang ahli tirakat, dan mempunyai tugas membersihkan lelembut di wilayah Gunung Muria.
Daerah Bonjot pada masanya pernah menjadi pusat pemerintahan Ki Adipati Tjitrosomo I. Setelah Bupati Jepara Sujonopuro gugur dalam perang Bali, Ki Ragil Jiwosuto kemudian diangkat untuk menggantikannya sebagai Wedono Bupati Jepara dengan gelar Ki Tumenggung Tjitrosomo I. Ia tinggal di rumah besar yang sebelumnya ditempati para bupati sebelumnya di wilayah yang kini dikenal sebagai Kawasan Bonjot.
ua