Oleh: Amir Machmud NS
// rumit dan begitu berliku/ untuk menjadi raja/ yang berjaya dengan mahkota/ yang bertahta dengan trofi/ membuktikan dengan medali…//
(Sajak “Indonesia dan AFF”, 2024)
HASIL seri 3-3 melawan Laos di Stadion Manahan, Solo, Kamis (12/12) kemarin jelas menjadi kekecewaan bagi tim nasional Indonesia yang sedang berburu sejarah di Piala AFF.
Sedemikian terjalkah jalan pendakian menuju mahkota ASEAN?
Dalam rekor dan statistik head to head, Tim Merah-Putih tak pernah menemui kesulitan menghadapi Laos. Maka bolehlah disimpulkan, skor akhir yang didapat Mohammad Ferarri dkk di Solo bukan hasil menggembirakan.
SEA Games sudah memberi bukti sepak bola kita bisa, membendaharakan medali emas 1987, 1991, dan 2023. Akan tetapi trofi Piala AFF yang digelar sejak 1996 sebagai simbol supremasi “raja ASEAN” belum pernah kita raih.
Indonesia enam kali masuk final pada 2000 (kalah dari Thailand), 2002 (dikalahkan Thailand), 2004 (Singapura), 2010 (Malaysia), 2016 (Thailand), dan 2020 (Thailand).
Tim “Gajah Perang” Thailand merajai turnamen ini dengan enam kali juara, disusul Singapura tiga kali, Vietnam dua kali, dan Malaysia sekali.
Di bagian putri, untuk kali pertama, pada tahun ini Garuda Pertiwi juara, setelah mengalahkan Kamboja 3-1. Selebihnya untuk ketegori 16, 19, dan 21, timnas putra Indonesia terbilang cukup berprestasi dengan mengangkat trofi juara.
Konfidensi?
Datang ke turnamen Piala AFF 2024 dengan tim U22, memperlihatkan Indonesia punya konfidensi, mengutamakan lanjutan perjuangan tim utama di Grup C babak ketiga Pra-Piala Dunia.
Hasil seri 1-1 melawan Arab Saudi di Jeddah, menang 2-0, dan menahan 0-0 Australia di Jakarta, serta kenaikan peringkat FIFA di kisaran 120; menjadi positioning baru bahwa Indonesia sudah beranjak ke level Asia. Akan tetapi, seri 3-3 dengan Laos membawa tim nasional “kembali lagi ke bumi”.
Coach Shin Tae-yong tidak membawa mayoritas pemain tim Pra-Piala Dunia. Dia lebih memilih hanya sejumlah di antara mereka untuk menampilkan “tim muda”.
Saya melihat STY dan PSSI tentu tidak bermaksud menyepelekan gengsi Piala AFF, namun ini lebih ke konsep “berbagi fokus dan tenaga” di dua ajang yang sama-sama penting.
Laga-laga Pra-Piala Dunia akan dimulai lagi bulan Maret 2025, sedangkan Piala ASEAN — yang notabene bukan termasuk kalender FIFA — sudah dipertandingkan sejak 8 Desember lalu.
Hasil 1-0 melawan tuan rumah Myanmar di Thuwunna, Yangon, Senin malam lalu merupakan awal yang baik bagi anak-anak muda Merah-Putih, dan ini tentu akan meningkatkan kepercayaan diri para pemain kita.
Akan tetapi, laga kedua di Stadion Manahan, Solo, memberi gambaran, bakal tidak mudah bagi skuad Garuda saat bertandang ke Hanoi melawan Vietnam, Minggu malam besok.
Tensi rivalitas Indonesia vs Vietnam yang akhir-akhir ini meningkat diperkirakan bakal menciptakan suasana laga yang penuh intrik. Apalagi sejak timnas diperkuat oleh sejumlah pemain diaspora, Vietnam makin sulit memenangi pertandingan.
Tim Piala AFF ini memang tidak menggambarkan kekuatan Indonesia yang sesungguhnya. Para pemain kunci “disimpan” untuk lanjutan laga-laga Pra-Piala Dunia, sehingga apa pun hasil melawan Vietnam nanti sejatinya bukan cermin skema riil timnas kita.
Andai kita bisa lolos ke babak-babak akhir — dan apalagi juara — Piala ASEAN ini, tentu akan menambah keyakinan bahwa sepak bola kita sudah beranjak keluar dari zona regional; namun performa melawan Laos di Solo memaparkan realitas lain bahwa sepak bola Indonesia masih belum beranjak dari wilayah yang memaku posisi kita.
Perjalanan masih panjang. Tekad sudah diayunkan. Langkah menuju singgasana ASEN menjadi keniscayaan bagi anak-anak Garuda Muda, terjal atau mulus.
Hanya, pendakian untuk menjadi salah satu tim yang lolos ke semifinal dari Grup B merupakan tahapan yang mesti ditaklukkan terlebih dahulu…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —