blank
Ilustrasi. Reka: SB.ID

Kenyataan BPD lebih tunduk atas kekuasaan kepala desa diperkuat adanya partisipasi masyarakat yang sangat lemah. BPD sebagai perwakilan masyarakat sering kali gagal menjadi penghubung antara warga desa dan pemerintah desa, karena masyarakat belum memiliki kesadaran tentang perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Hal ini membuat aspirasi masyarakat tidak tersampaikan dengan baik, sehingga perencanaan pembangunan cenderung tidak partisipatif atau sesuka selera kepala desa.

Kemandulan BPD juga dipengaruhi ketiadaan mekanisme pengawasan yang jelas. Kendati anggota BPD memiliki mandat untuk mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa, BPD tidak memiliki akses penuh terhadap informasi keuangan dan informasi penyelenggaraan pemerintahan desa.

Transparansi yang buruk dan ketiadaan sistem pengawasan yang terstandarisasi membuat BPD kesulitan menjalankan tugasnya. Maka tak heran, anggota BPD seolah hanya menerima tunjangan tanpa mengetahui pelaksanaan fungsi dan perannya.

Dampak Kegagalan BPD

Kegagalan BPD menjalankan fungsinya berdampak langsung pada kualitas pembangunan desa dan pengelolaan keuangan. Beberapa dampaknya antara lain korupsi dan penyalahgunaan dana desa. Tanpa pengawasan yang efektif, kepala desa atau aparat desa dapat dengan mudah menyalahgunakan dana desa untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Penyelewenangan kekuasaan karena ketiadaan mekanisme pengawasan yang jelas, menjadikan pembangunan tidak tepat sasaran. Ketidakmampuan BPD menyerap aspirasi masyarakat membuat pembangunan desa cenderung tidak sesuai dengan kebutuhan warga. Akibatnya, infrastruktur yang dibangun tidak memberikan manfaat maksimal.

Realitas kesadaran masyarakat yang menggugat peran dan fungsi BPD, menjadi momentum untuk mereformasi BPD. Pertama, perlu peningkatan kapasitas anggota BPD. Pemerintah daerah perlu rutin mengadakan pelatihan bagi anggota BPD terkait regulasi, tata kelola keuangan, dan teknik pengawasan.

Pendidikan politik juga penting untuk memperkuat kemampuan mereka dalam menyuarakan kepentingan masyarakat. Kedua, penguatan regulasi. Peraturan yang lebih tegas perlu diterapkan untuk memastikan akses BPD terhadap dokumen anggaran desa dan laporan pelaksanaan pembangunan. Hal ini dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas. Ketiga, mekanisme partisipasi publik. BPD harus aktif melibatkan masyarakat dalam musyawarah desa dan pengambilan keputusan.

Dengan begitu, masyarakat dapat menjadi mitra strategis dalam pengawasan pembangunan. Keempat, pemantauan oleh pemerintah daerah. Pemerintah kabupaten/kota sebagai pembina desa perlu lebih proaktif dalam mengawasi kinerja BPD dan memberikan sanksi kepada kepala desa yang menghambat kerja BPD.

Kelima, digitalisasi pengelolaan desa. Implementasi teknologi dapat memudahkan BPD dan masyarakat untuk mengakses data pembangunan dan keuangan desa. Sistem berbasis digital juga dapat mengurangi celah korupsi.

Kemandulan BPD dalam menjalankan fungsi representasi dan pengawasan merupakan alarm bagi keberlanjutan otonomi desa di Indonesia. Jika tidak segera diatasi, ini berpotensi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memperlebar kesenjangan pembangunan di pedesaan.

Oleh karena itu, revitalisasi peran BPD bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan desa tidak hanya menjadi simbol otonomi, tetapi juga motor penggerak pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembina Paradigma Institute