Oleh Muh Khamdan.
PEMERINTAH kini gencar memperkuat otonomi desa melalui alokasi dana desa yang terus meningkat, dan peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) seharusnya menjadi salah satu pilar utama dalam tata kelola desa yang transparan, partisipatif, dan akuntabel.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa peran BPD sebagai lembaga perwakilan dan pengawas pembangunan serta keuangan desa sering kali mandul.
Kecaman atas kemandulan peran BPD sebagaimana munculnya spanduk virtual dan spanduk kain di Mayong Lor, Kecamatan Mayong. Kecaman itu menuntut agar dilakukan pembubaran terhadap keberadaan BPD karena dianggap sekadar “tukang stempel” anggaran desa. Hal demikian jelas sebagai fenomena yang sangat ironis dalam implementasi otonomi desa, sekaligus ancaman serius atas keberlanjutan pembangunan demokrasi di tingkat akar rumput.
Secara normatif, BPD memiliki fungsi utama sebagai perwakilan masyarakat desa dan pengawas terhadap pelaksanaan pemerintahan desa. Fungsi itu termasuk dalam hal perencanaan pembangunan dan pengelolaan anggaran. Akan tetapi, fungsi tersebut kerap tidak berjalan dengan baik karena sejumlah faktor.
Kurangnya kapasitas dan kompetensi anggota BPD dianggap sebagai masalah utama. Para anggota BPD yang dipilih masyarakat setempat, sering kali minim pelatihan dan pemahaman mengenai regulasi dan mekanisme tata kelola desa. Akibatnya, mereka tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan secara efektif, apalagi memberikan masukan strategis kepada kepala desa. Realitas tersebut berpengaruh pada munculnya dominansi kepala desa.
Sering Timpang
Hubungan antara BPD dan kepala desa sering kali timpang. Ketimpangan itu ditampilkan dengan realitas kepala desa yang memiliki segala otoritas yang lebih dominan. Situasi ini diperburuk oleh fakta bahwa sebagian besar anggota BPD merasa segan atau bahkan takut untuk mengkritik kebijakan kepala desa, terutama jika pengangkatan BPD adalah hasil tunjukan kepala desa sebagai imbal menjadi tim sukses sebelumnya.