Cerpen Hartono Sri Danan Djoyo
Kado Presiden untuk Guru
‘BAJU Bapak sudah jadi?” Tanya Tatik pada suaminya.
“Sudah Bu. Baru kali ini Bapak merasa terhormat; dipanggil pejabat tertinggi negara kita, presiden,” Terang Mulyadi pada istrinya.
“Bukankah Bapak sudah mencetak banyak pejabat tinggi negara? Presiden sekalipun dulu juga murid Bapak. Kok ….”
“Husss …,” Mulyadi mengakhiri sindiran istrinya. Menyadari tak akan menang berdebat melawan istrinya, maka dia menyela untuk memutus khotbahnya.
Sepanjang perjalanan menuju istana Mulyadi silih berganti teringat kata-kata istri dan nasihat Ustaz Zainuri guru ngajinya. Dalam hati, Mulyadi membenarkan omongan Tatik istrinya. Presiden dan para pejabat yang ada di istana sekarang ini dulu muridnya. Dia tahu seperti apa karakter mereka; kadang bandel, sedikit nakal, dan seringkali malas-malasan.
Meski dengan susah payah dan tentu perasaan (kadang) jengkel Mulyadi tetap berusaha tabah. “Itu jalanmu menuju surga nanti Mikel.” Meski namanya Mulyadi, dia oleh ustaznya dipanggil Mikel; dan Mulyadi sangat senang. Ajaran guru ngajinya itu selalu terngiang di benaknya.
Meski merasa diperlakukan tidak adil oleh negara, seperti halnya guru-guru lain Mulyadi tetap bertahan memilih diam, patuh pada wejangan guru ngajinya.
“Dadi guru iku kudu eklas. Sebenarnya gajimu besar dan penghargaan yang kau terima sangat tinggi. Masalahnya hanya satu, oleh Allah swt. diterimakan di hari kemudian”.
“Kita hidup dan butuh gajinya kan sekarang Kiai.”
“Lho, sing ngatur urip iku sapa; apa kowe luwih ngerti tinimbang sing gawe urip? Kau hanya perlu bersabar sebentar. Kehidupan yang sekarang tidaklah kekal, yang kekal ya di akhirat nanti. Semua akan kau dapatkan di hari nanti. Harta melimpah dan penghormatan yang tulus semua ada.”
“Penghormatan yang para jenderal terima saat ini memang sudah hak mereka. Mereka memenangkan pertempuran yang dahsyat. Namun, cobalah berpikir, adakah perang yang lebih besar dibandingkan melawan kebodohan dan kerendahan budi. Jadi kau pasti mendapatkan penghargaan sebagaimana yang diterima para jenderal. Kedudukanmu sebagai guru sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan para jenderal itu. Jadi, gajimu yang akan kau terima nanti pasti lebih besar dari gaji para jenderal itu. Mikel, rezeki sudah ada yang mengatur. Jika kau melihat hal yang tidak pantas pada diri mereka (para pejabat) namun tetap mendapatkan penghormatan; pegang kata-kata saya bahwa yang mereka terima saat sekarang itu hanya ujian. Tetaplah baik dan berbuatlah baik pada negara.”
Saat Mulyadi melewati pintu penjagaan, terdengar suara,
“Selamat siang Bapak-Bapak. Bisa kami bantu?
“Saya akan menghadap Bapak Presiden. Ini surat undangan dan kartu identitas kami.”
“Terima kasih, Bapak Presiden sedang ada pertemuan dengan para pejabat tinggi negara dan tamu-tamu penting. Bapak-Bapak bisa menunggu di teras Balai Pasowanan Agung.”
“Ternyata baru ada pesta ya Pak.”
“Betul Pak, tim pemenangan pilpres kemarin.”
Mulyadi menggandeng tangan Muchlisin kepala sekolahnya menuju teras pasowanan.
“Suasananya asri, beda dengan sekolah kita, menakjubkan.”
“Aku pengin ke kamar kecil dan melihat seperti apa kondisinya.”
“Wah, pasti bumi langit Pak Bam.”
Meski namanya Muchlisin, Mulyadi sering memanggil nama sahabat yang sama-sama wakil kepala sekolah itu Bambang. Tepatnya setelah dia oleh Ustaz Miftah dipanggil Mikel.
“Andai kita diajak ikut pesta bagaimana Bos?”
“Wah mustahil Bro, jangan berandai-andai.”
“Iya, kalau makan bersama mereka kita malah jadi bingung.”
“Apa yang dihidangkan dan bagaimana caranya makan, kita pasti tidak tahu.”
Mikel dan Bambang tertawa bersama. “Rasanya pasti asing; kita malah bisa muntah.”
“Kita cocok ke yo masakan Bu Rohyan.”
Saat menanti di teras pasewakan menunggu, tertawa mereka terhenti karena keributan dari dalam gedung. “Kebakaran-kebakaran…! Terlihat pengawal trengginas menyelamatkan presiden. Para jenderal dan pejabat tinggi, serta tamu undangan penting lainnya saling berlomba cepat mencari pintu keluar. Terlihat presiden berusaha masuk ke dalam, namun seorang pengawal yang bertubuh tegap itu berhasil mencegahnya.
“Bahaya Pak”. “Dokumen-dokumen …..!” Suara presiden terhenti karena pingsan.
Tanpa pikir panjang, Mulyadi dan Muchlisin bergegas masuk ke dalam balai paseban. Mereka berusaha mendekat dan menemukan beberapa stop map yang barangkali dimaksud presiden. Muchlisin sempat hampir menyerah karena sesak nafas yang dialaminya, namun Mulyadi berhasil mendorong tubuh kurusnya hingga mereka berdua selamat dari kobaran api.
Mulyadi dan Muchlisin mendekati presiden dan menyerahkan beberapa stopmap yang mereka bawa dari dalam balai. Presiden yang telah siuman sempat menatap mereka, namun belum sempat mengutarakan kalimat lewat mulutnya, presiden terjatuh pingsan lagi. Mulyadi dan Muchlisin pulang dengan seribu satu pikiran, satu di antaranya keselamatan presiden. “Hanya beliau, presiden, yang bisa menjelaskan pertanyaan jutaan guru teman-temannya kita; kenaikan gaji mereka bagaimana.”
Hampir seminggu sejak kejadian di istana tidak ada kabar lanjutan. Namun tepat di hari ke-8 dari kejadian mobil utusan istana berhenti di halaman sekolah. Dua orang turun dari mobil membawa bawaan masing-masing, sebuah kotak ukuran sedang dan sebuah stopmap. Salah seorang pengawal yang Muchlisin kenali mendekat dan menyerahkan stopmap kepadanya. “Bapak Presiden kondisinya sudah membaik, namun masih berhalangan untuk keluar istana. Kami diutus menyerahkan surat beserta sekedar bingkisan sebagai tanda terima kasih atas jasa Bapak menyelamatkan dokumen penting negara.” Tak berselang lama, dua utusan itu berpamitan.
Muchlisin bergegas memanggil Mulyadi untuk bersama membuka apa yang oleh pengawal sebut sebagai tanda terima kasih dari orang nomor satu di negerinya. Harap cemas Mulyadi membuka, gemetar tangannya meraba kertas berlogo timbul simbol negaranya.
“Benar perkiraanku Bos.”
“Piye Mas Bro?
“Surat penghargaan dari negara.”
“Tanda tangan presiden langsung?”
“Benar, kita dianggap berjasa menyelamatkan dokumen penting negara.”
“Hem, lainnya?”
Dengan cekatan Mulyadi membuka peti hadiah dari presidennya. Dengan hati kecut Mulyadi menyampaikan isi kotak pada karibnya.
“Ro ..ro..roti Bos”.
“Ada yang lain?”
“Tidak, hanya itu.”
“Roti apa?”
“Roti yang bentuk dan baunya seperti yang kita cium di istana dulu. Namun ….”
“Namun bagaimana Bro?”
“Warna lebih tua dan baunya ….lebih mantap”
“Maksudmu sangit, rotinya gosong kebakar?”
“Entahlah “
“Masih ada satu lagi Bos, koran.”
“Beritanya Bro?”
“Meluruskan Kabar Peningkatan Kesejahteraan Guru. Pemerintah sangat memperhatikan nasib para guru, namun ….”
“Sudahlah Bro, tidak perlu dilanjutkan membacanya, tutup saja korannya. Isinya pasti sama dengan konten-konten Youtube itu. Yuk kita lapor ke Pak Arif.”
“Paling yo wis ngerti.”
Muchlisin dan Mulyadi berhenti tak kuasa masuk ke ruang kepala sekolahnya untuk memberi laporan. Mulyadi shocked, sebagai ketua Serikat Guru Muda (SGM), dia dihantui ketakutan untuk menyampaikan kabar “miring” ini pada teman-temannya: Bu Nila, Nastiti, Mita, Doni, Desi, Martinda, dan guru-guru muda lainnya. Mulyadi tidak tega membuat mereka kecewa.
Pertanyaannya dan para guru lain hal peningkatan kesejahteraan mereka ternyata hanya fatamorgana. Begitu kecewa Mulyadi, hingga mulutnya tanpa henti mengucap “Gaji guru guru belum layak, janji harus ditepati. Bapak presiden sudah berjanji, harus ditepati ….”
“Pak, pak bangun ….bangun! Katanya Bapak harus sampai di sekolah lebih pagi.” Tatik menghentikan igauan Mulyadi suaminya.
Hartono Sri Danan Djoyo, Gerakan Jalan Lurus Indonesia