blank
Interaksi guru dan siswa SMK Negeri 6 Semarang. Foto: dok/ist

Oleh: Nika Dewi Indriati SPd MPd

blankDIGITAL Marketing menjadi dunia baru bagi para pebisnis kelas dunia, di semua benua. Hal ini menjadi bagian dari jawaban yang oleh pengamat IT disebut sebagai “Era Digital”.

Diakui, Digital Marketing menjadi bagian bisnis untuk memudahkan bagaimana sistem pemasaran itu dapat berjalan cepat, efisien dan bergerak sesuai peradaban masyarakat modern.

Dalam bidang pendidikan, lebih khusus lembaga sekolah, mengadopsi dunia IT bagi siswa inklusi, tidak hanya belajar untuk mengembangkan keterampilan numerasi, tetapi juga memperoleh pengalaman berharga dalam dunia bisnis dan pemasaran digital.

Program ini menunjukkan bahwa, dengan dukungan yang tepat, setiap siswa, termasuk siswa inklusi, memiliki potensi untuk berkembang dan berkontribusi secara signifikan dalam masyarakat. Sebagaimana dikatakan Dr Temple Grandin, “Setiap anak adalah bintang yang bersinar dengan caranya sendiri,”.

Dan program ini membuktikan bahwa, setiap siswa inklusi memiliki cara unik untuk bersinar dan mencapai potensi terbaik mereka. Pendidikan inklusi menjadi semakin penting, terutama untuk mendukung perkembangan siswa dengan kebutuhan khusus, seperti siswa inklusi yang berkarakter slow learner.

Sebut saja, SMK Negeri 6 Semarang, lembaga tempat penulis mengabdi, yang memiliki visi untuk menghasilkan lulusan dengan keterampilan teknis dan soft skills yang mumpuni, telah melakukan berbagai upaya untuk mengakomodasi kebutuhan ini. Salah satunya dengan mengintegrasikan kemampuan numerasi melalui program Digital Marketing, yang diterapkan di Waroeng Asix.

Program ini tidak hanya bertujuan untuk mengasah keterampilan teknis siswa dalam dunia digital, tetapi juga menjadi sarana untuk mengembangkan potensi siswa inklusi, dalam cara yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.

Agar kegiatan ini berhasil, penting untuk memahami pendekatan atau teori belajar yang tepat bagi siswa inklusi. Dalam konteks ini, pendekatan belajar yang mendukung inklusi dan perkembangan keterampilan numerasi, harus memperhatikan karakteristik dan kebutuhan unik siswa itu.

Teori yang Tepat
Pendidikan inklusi menuntut adanya pendekatan yang adaptif dan inklusif, dalam pembelajaran. Beberapa teori belajar dapat digunakan untuk mendukung pengembangan keterampilan numerasi siswa inklusi. Dua teori yang sangat relevan adalah, Teori Konstruktivisme dan Teori Belajar Sosial.

Jean Piaget dan Lev Vygotsky, dengan Teori Konstruktivisme-nya, berfokus pada bagaimana siswa membangun pemahaman mereka sendiri, melalui pengalaman langsung. Jean Piaget, seorang psikolog pendidikan berpendapat, belajar adalah proses aktif yang melibatkan pemrosesan informasi berdasarkan pengalaman sebelumnya. Siswa membangun pengetahuan mereka sendiri, melalui interaksi dengan lingkungan dan orang-orang di sekitar mereka.

Sementara itu, Lev Vygotsky menambahkan, pentingnya konteks sosial dalam pembelajaran. Vygotsky melihat, sebuah pembelajaran terjadi akan lebih baik ketika siswa bekerja bersama dengan individu yang lebih kompeten (seperti guru atau teman), dalam apa yang dikenal dengan istilah Zone of Proximal Development (ZPD).

Dalam konteks SMK Negeri 6 Semarang, teori ini diterapkan dengan memberikan kesempatan kepada siswa inklusi untuk belajar secara langsung, melalui pengalaman praktis di Waroeng Asix. Seperti membuat promosi digital, melakukan perhitungan harga produk, dan berinteraksi dalam pemasaran online.

Pendampingan dari teman sekelas atau siswa OSIS menjadi kunci, untuk membantu siswa inklusi memahami dan mempraktikkan keterampilan numerasi ini.

Teori belajar sosial yang dikembangkan Albert Bandura menekankan, pentingnya observasi, imitasi, dan modeling dalam proses belajar. Bandura berpendapat, siswa belajar banyak melalui pengamatan dan meniru perilaku orang lain, terutama yang dianggap sebagai role model. Hal ini sangat relevan untuk siswa inklusi, yang mungkin membutuhkan dukungan lebih dalam memahami keterampilan yang lebih abstrak, seperti numerasi.

Di SMK Negeri 6 Semarang, teori ini diterapkan dengan menggunakan pendampingan siswa OSIS untuk memberikan contoh langsung, tentang bagaimana melakukan tugas-tugas tertentu, seperti menghitung harga produk, atau membuat konten promosi. Siswa inklusi belajar dengan mengamati dan meniru, sambil mendapatkan bimbingan dari teman sekelas atau guru.

Melalui interaksi sosial ini, mereka tidak hanya mengembangkan keterampilan numerasi, tetapi juga keterampilan sosial yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Pendekatan Praktis
Persoalannya adalah, bagaimana mengimplementasikan teori-teori itu dan model penerapannya dalam praktik pembelajaran di Waroeng Asix. Pendekatan praktis ini bertujuan untuk memasilitasi perkembangan keterampilan numerasi siswa inklusi, dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan mereka, atau membiarkan mereka (tentu, dengan pendampingan dan pendekatan khusus) belajar, dengan kebiasaannya sehari-hari.

Model pembelajaran berbasis pengalaman (experiential learning), yang dikemukakan David Kolb, sangat relevan dalam konteks ini. Kolb berpendapat, pembelajaran yang efektif terjadi ketika siswa terlibat dalam pengalaman langsung, kemudian merefleksikan dan menggeneralisasi pengalaman itu ke dalam situasi yang lebih luas.

Dalam kegiatan Waroeng Asix, siswa inklusi terlibat langsung dalam proses pembelajaran yang melibatkan pembuatan desain promosi, pengelolaan harga produk, dan pemasaran online.

Melalui pengalaman praktis ini, siswa dapat merefleksikan proses yang mereka jalani, baik itu dalam perhitungan harga, desain konten yang menarik, maupun mempraktikkan cara memasarkan barang, dalam model komunikasi pemasaran. Hal ini membantu mereka mengembangkan keterampilan numerasi secara lebih efektif.

Pendampingan (Scaffolding)
Pendampingan adalah konsep yang diperkenalkan oleh Vygotsky, yang mengacu pada dukungan sementara yang diberikan kepada siswa, selama proses pembelajaran. Dalam kegiatan Waroeng Asix, siswa inklusi tidak dibiarkan belajar sendirian, tetapi didampingi siswa OSIS yang lebih berpengalaman.

Pendampingan ini membantu siswa inklusi memahami konsep-konsep yang lebih rumit, seperti perhitungan harga, margin keuntungan, dan cara menggunakan aplikasi desain grafis seperti Canva atau Capcut.

Dengan adanya scaffolding, siswa inklusi dapat lebih mudah mengatasi kesulitan yang mereka hadapi. Dan secara bertahap, belajar untuk menyelesaikan tugas-tugas itu secara mandiri.

Pemberian Umpan Balik
Dalam teori belajar, umpan balik yang konstruktif adalah kunci untuk meningkatkan pemahaman siswa. Siswa inklusi, yang mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk memahami suatu konsep, sangat terbantu dengan umpan balik yang jelas dan positif.

Di Waroeng Asix, siswa OSIS dan guru memberikan umpan balik yang membangun, setelah siswa inklusi menyelesaikan tugas-tugas mereka. Seperti membuat desain promosi atau menghitung harga produk. Umpan balik ini bukan hanya semata-mata membantu siswa untuk memahami kesalahan yang mereka buat, tetapi juga memberikan motivasi untuk terus belajar dan berkembang.

Adalah Howard Gardner -Penggagas Teori Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)- seorang psikolog pendidikan, mengemukakan teori kecerdasan majemuk yang menyatakan, setiap siswa memiliki jenis kecerdasan yang berbeda-beda. Seperti kecerdasan linguistik, logis-matematis, musikal, spasial, interpersonal, intrapersonal, dan kinestetik.

Untuk siswa inklusi, pendekatan ini sangat penting, karena memberikan ruang bagi mereka untuk belajar dengan cara yang paling sesuai dengan kecerdasan mereka. Di Waroeng Asix, siswa inklusi dapat mengembangkan kecerdasan logis-matematis mereka, melalui perhitungan harga dan keuntungan, kecerdasan spasial melalui desain promosi, dan kecerdasan interpersonal melalui interaksi dengan teman-teman mereka.

Pada sisi lain, Waroeng Asix ini menjadi media pembelajaran yang menekankan pentingnya dialog dalam pendidikan, dan menganggap siswa sebagai subjek yang aktif dalam proses pembelajaran (Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed).

Dalam konteks pendidikan inklusi, pendekatan Freire ini mengedepankan dialog terbuka antara guru, siswa, dan teman sekelas, yang memungkinkan siswa inklusi untuk merasa dihargai dan didengar.

Di Waroeng Asix, pendekatan ini diterapkan melalui diskusi kelompok, refleksi atas pengalaman belajar, dan keterlibatan siswa inklusi dalam pengambilan keputusan, tentang bagaimana toko online itu dikelola dengan membuat sebuah perencanaan, dikelola dengan (organizing), dikontrol secara bersama (monitoring, evaluating), sehingga siswa dapat dengan sendirinya memahami makna sebuah skill managerial yang nyata.

Pendidikan inklusi tidak hanya tentang memberikan akses yang setara bagi semua siswa, tetapi juga tentang menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan penuh setiap individu, sesuai dengan potensi mereka.

Melalui program Waroeng Asix, SMK Negeri 6 Semarang mencoba untuk bereksperimentasi pembelajaran dalam mengintegrasikan keterampilan numerasi dan Digital Marketing, dalam pembelajaran siswa inklusi.

Dengan menggabungkan teori-teori belajar yang relevan, seperti konstruktivisme, belajar sosial, dan pembelajaran berbasis pengalaman, serta dukungan yang berkelanjutan melalui pendampingan, siswa inklusi dapat mengembangkan keterampilan, yang tidak hanya bermanfaat dalam dunia pendidikan, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

Nika Dewi Indriati SPd MPd; Pemerhati Pendidikan, Guru Penggerak SMK Negeri 6 Semarang