blank

Oleh : Dr. Djoko T Purnomo, S.H., M.H.

Dalam dunia peradilan, perbedaan pandangan antara jaksa penuntut umum (JPU) dan hakim adalah hal yang umum, terutama dalam kasus yang melibatkan hukum lingkungan dan konservasi, yang sering kali kompleks dan multidimensi. Dalam kasus putusan ringan untuk para terdakwa petambak di Karimunjawa ini, ada kemungkinan bahwa hakim memiliki interpretasi yang berbeda atau ada faktor-faktor lain yang memengaruhi keputusan mereka.

Beberapa poin analisis berikut dapat menjadi bahan pertimbangan mengapa pasal-pasal dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009) tidak dimasukkan oleh hakim.

Pertama, Interpretasi yang Terbatas terhadap Undang-Undang yang Berlaku: Hakim memiliki diskresi atau kebebasan dalam menafsirkan undang-undang berdasarkan bukti, saksi, dan fakta yang terungkap di pengadilan. Dalam kasus ini, hakim mungkin merasa bahwa UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati sudah mencukupi untuk menangani pelanggaran terkait fungsi zona taman nasional. Dari sudut pandang hakim, pelanggaran mungkin lebih sesuai dengan fokus konservasi kawasan daripada dengan aspek pencemaran atau kerusakan lingkungan secara lebih luas, yang dicakup oleh UU No. 32 Tahun 2009. Hal ini bisa saja mencerminkan interpretasi yang terbatas atau konservatif, yang hanya melihat pelanggaran dari satu sudut pandang tanpa mempertimbangkan efek lingkungan yang lebih luas.

Kedua, Kualitas Pembuktian dan Penggunaan Saksi Ahli: Untuk menerapkan pasal-pasal dari UU Perlindungan Lingkungan, hakim membutuhkan bukti yang kuat, seperti data kualitas air, dampak ekosistem, atau keterangan ahli lingkungan yang mendetail. Jika JPU tidak berhasil meyakinkan majelis hakim melalui bukti yang cukup kuat terkait dampak lingkungan yang merugikan, hakim mungkin ragu untuk menambah dakwaan atau memasukkan pasal yang memerlukan bukti ilmiah yang lebih komprehensif. Tanpa bukti yang kuat dan menyeluruh, hakim cenderung hanya menerapkan hukum yang sesuai dengan pelanggaran yang dapat dibuktikan secara langsung di persidangan.

 

Ketiga,  Pendekatan Hukum yang Lebih Lunak Terhadap Kasus Sosial-Ekonomi: Dalam kasus yang berdampak pada ekonomi lokal seperti tambak, hakim kadang-kadang mempertimbangkan aspek-aspek sosial-ekonomi ketika menjatuhkan hukuman. Hakim mungkin merasa bahwa hukuman yang berat dapat berdampak negatif pada kehidupan masyarakat lokal yang terkait dengan usaha tambak, terutama jika usaha tersebut merupakan sumber mata pencaharian utama. Dalam pandangan hakim, penjatuhan hukuman yang lebih ringan dapat dianggap sebagai langkah bijaksana untuk melindungi stabilitas ekonomi lokal meskipun itu mengorbankan perlindungan lingkungan yang optimal.

Keempat, Potensi Kesalahan Penafsiran atau Ketidaktahuan dalam Penerapan Pasal Lintas Undang-Undang: Tidak menutup kemungkinan bahwa hakim tidak sepenuhnya mempertimbangkan atau memahami implikasi penggunaan pasal dari UU No. 32 Tahun 2009 terkait lingkungan hidup. Bisa jadi hakim lebih nyaman atau berpengalaman dengan undang-undang konservasi (UU No. 5 Tahun 1990) sehingga memilih untuk mengabaikan pasal lingkungan yang lebih spesifik. Ini mencerminkan bahwa dalam beberapa kasus, latar belakang, preferensi, atau pengetahuan hakim tentang undang-undang tertentu bisa memengaruhi penerapan hukum.

Kelima; Potensi Pengaruh Tekanan Eksternal atau Ketidakberpihakan: Di daerah-daerah tertentu, keputusan hakim kadang-kadang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Dalam kasus yang menarik perhatian publik atau melibatkan industri penting, hakim mungkin saja merasa ada tekanan untuk mengambil keputusan yang lebih kompromis. Meskipun sulit untuk dibuktikan, tekanan sosial-politik atau ekonomi yang memengaruhi independensi pengadilan bisa menjadi faktor tidak langsung yang mengarahkan hakim untuk memilih pendekatan hukum yang lebih ringan.

Keenam; Keterbatasan Regulasi dan Penegakan Hukum Lingkungan yang Holistik: Kasus ini juga menunjukkan potensi kelemahan dalam penegakan hukum lingkungan yang lebih holistik. Meskipun Indonesia memiliki undang-undang lingkungan yang cukup ketat, penegakan sering kali tidak dilakukan secara komprehensif karena ketidakpastian hukum atau konflik antara peraturan konservasi dan lingkungan hidup. Perbedaan penafsiran antara UU Konservasi dan UU Perlindungan Lingkungan hidup sering kali membuat aparat hukum sulit untuk mengintegrasikan kedua undang-undang tersebut dalam satu kasus. Akibatnya, putusan menjadi parsial dan tidak mencerminkan dampak kerusakan lingkungan yang lebih luas.

Kesimpulan

Dalam hal ini, meskipun hakim memiliki kewenangan independen dalam menafsirkan dan menerapkan undang-undang, ada kemungkinan bahwa pendekatan yang diambil terlalu sempit atau konservatif, hanya fokus pada aspek konservasi tanpa mempertimbangkan dampak pencemaran lingkungan secara keseluruhan. Selain itu, beberapa faktor seperti tekanan sosial-ekonomi, kekuatan pembuktian oleh JPU, atau kurangnya pemahaman yang mendalam terhadap undang-undang lingkungan bisa saja turut memengaruhi putusan.

Oleh karena itu, upaya banding mungkin perlu dilakukan untuk memastikan bahwa aspek kerusakan lingkungan secara luas dapat dipertimbangkan, dengan memanfaatkan UU No. 32 Tahun 2009. Pendekatan ini bisa memberi pesan yang lebih kuat terhadap upaya perlindungan lingkungan dan konservasi yang komprehensif serta memastikan bahwa kasus-kasus serupa di masa depan diputuskan dengan pendekatan yang lebih holistik. (*)

Penulis adalah aktivis tinggal di Jepara