Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jepara Aris Setiawan, bersama tim saat berfada di TKP.

JEPARA (SUARABARU.ID) – Pemerintah Kabupaten Jepara telah bertindak cepat menangani temuan limbah yang diduga berasal dari produksi farmasi ilegal. Langkah penanganan langsung dimulai pada 2 Oktober 2024, begitu informasi diterima. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jepara Aris Setiawan, menyatakan bahwa sejumlah langkah telah dilakukan.

Pertama, DLH segera berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Jepara guna mengetahui asal usul limbah tersebut. Tidak lama kemudian, Kepala Dinkes menginstruksikan timnya untuk meminta klarifikasi dari pedagang besar farmasi atau PBF. Selain itu, Dinas Lingkungan Hidup pun berkoordinasi dengan Polres Jepara terkait adanya informasi temuan limbah ilegal. “Berdasarkan arahan dari kepolisian, limbah ini sedang dalam tahap penyelidikan dan barang bukti telah diamankan,” kata Aris saat di Setda Jepara, Jumat (11/10/2024).

Tim gabungan dari DLH dan Dinkes juga turun ke lokasi. Mereka berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat terkait kepemilikan lahan, pihak pengelola atau pemilik limbah tersebut. Termasuk mencari data asal produk limbah, serta berupaya mengantisipasi dampak lingkungan yg mungkin timbul. “Dinkes mencari data dari mana asal produk limbah. DLH melakukan antisipasi dampak lingkungan sementara, dengan  melokalisir limbah sehingga tak berdampak luas terhadap lingk sekitar,” jelasnya.

Selanjutnya, limbah yang ditemukan saat ini menjadi barang bukti dalam penyelidikan kepolisian. DLH juga menyarankan agar pemerintah desa setempat ikut mengawasi, agar limbah tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yg tidak bertanggungjawab & menimbulkan dampak lebih luas,” tandasnya.

Aris juga menjelaskan bahwa sebagaimana regulasi yg ada saat ini, tempat pemrosesan akhir (TPA) Bandengan, hanya dapat digunakan untuk menampung sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga.

Selain karena limbah temuan tsb statusnya sebagai barang bukti, penanganan limbah B-3 harus sesuai dengan standar operasional yg berlaku dan berbeda penangannya dengan penanganan limbah biasa, tambahnya.

Meski demikian, pemerintah daerah terus memantau perkembangan situasi untuk meminimalkan risiko lingkungan.

DLH terus berkonsultasi dengan pihak2 terkait, termasuk dg kementerian terkait pemulihan lahan yang mungkin terdampak/ terkontaminasi. “Kami akan menentukan langkah yang tepat sesuai ketentuan, apabila lahan tersebut betul-betul terkontaminasi,” lanjutnya.

Di sisi lain, Kepala Dinkes Jepara melalui perwakilan dari Bidang Farmasi dan Alat Kesehatan (Farmalkes) Silvy Alifia, mengonfirmasi bahwa dinasnya sudah menghubungi perusahaan yang namanya tertera pada kardus limbah. Klarifikasi dari perusahaan menyatakan bahwa produk tersebut bukan buatan mereka, karena produksi obat serupa telah dihentikan sejak 2016. Dugaan kini mengarah pada keterlibatan industri farmasi ilegal. “Bisa dibuktikan dengan Nomor Izin Edar (NIE) yang tidak berlaku dan nomor batch yang tidak terdaftar,” ujarnya.

Dinkes juga telah meminta informasi tambahan dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Semarang. BBPOM mengonfirmasi, obat yang ditemukan tidak lagi beredar secara legal. Memperkuat dugaan limbah tersebut berasal dari aktivitas farmasi ilegal yang diselidiki pada April 2024. “Jika klarifikasi dari BPOM-nya, mungkin ada benang merah di situ,” tambahnya.

Selain itu, Dinkes telah mengirimkan surat edaran kepada seluruh fasilitas kesehatan di Jepara. Surat tersebut meminta agar pengelolaan obat-obatan dilakukan sesuai standar. Semua pihak yang menerima surat memastikan bahwa limbah yang ditemukan bukan bagian dari persediaan mereka.

 

Hadepe – kmf