blank
(tangkapan layar IG @pimpinanpusatGPK)

Oleh: Dr. Muh Khamdan

JEPARA (SUARABARU.ID)- Sangat menyejukkan melihat penetapan sekaligus pengundian nomor urut kontestan calon bupati dan calon wakil bupati Jepara periode 2024-2029. Masing-masing kandidat berangkat sekaligus hadir setidaknya menampakkan basis kekuatan di masing-masing tim pemenangan. Meski dirasakan damai dan tenang pada tingkat akar rumput, akan tetapi pada level elit justru mencuat dinamika pecah belah kekuatan.

Hal itu tercermin dari terus berlanjutnya unjuk kekuatan dalam pembelahan dukungan sejumlah tokoh Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK), sebuah organisasi underbow atau sayap partai PPP. GPK Jepara yang dipimpin oleh Gus Faruq Fanani bersama sekitar 600-an laskar mengikrarkan dukungan langsung kepada pasangan Gus Nung-Iqbal, yang merupakan kandidat lawan dari koalisi PPP. Langkah yang ditempuh Gus Faruq sendiri dinyatakan karena Gus Wafie Maimoen Zubair selaku panglima tertinggi GPK mengarahkan untuk mendukung pasangan Gus Nung-Iqbal.

Dengan gambaran seperti GPK, dinamika pecah belah di tubuh PPP Jepara juga mencuat dalam faksi-faksi lainnya. Realitas ini bahkan terkonfirmasi sejak awal terbitnya rekomendasi PPP diberikan pada pasangan Wiwit-Hajar. Sebutlah pesan berantai yang dikaitkan pada sosok Kiai Thoha Makmun, Majelis Pertimbangan Partai DPC PPP Jepara, yang menyatakan tidak turut bertanggungjawab serta “menolak” hasil putusan partai yang memberikan rekomendasi dukungan pada Wiwit-Hajar.

Lalu bagaimana kita mengaitkan dukungan politik sekaligus strategi mobilisasi calon pemilih oleh parpol dengan realitas di lapangan? Di sinilah kita justru ingin mempertanyakannya. Sebab fakta lain menunjukkan bahwa terdapat faksi-faksi di sejumlah partai di Jepara yang terindikasi berbeda dengan kebijakan dukungan politik terhadap kandidat cabup dan cawabup. Penentu keputusan partai seolah-olah tidak mempedulikan aspirasi arus bawah sekaligus kehendak mayoritas fungsionaris partai itu sendiri.

Sebut saja tokoh muda PPP, Jadug Trimulyo, yang oleh sebagian fungsionaris partainya dianggap memiliki “gerbong” tersendiri atas sebagian pengurus anak cabang (PAC). Kegagalan para kader potensial meraih rekomendasi partai dianggap menjadi sebab munculnya “pembangkangan” terhadap pilihan politik DPP terhadap PPP Jepara.

Hal lain yang hampir serupa dengan PPP, terjadi pada PDIP. Dian Kristiandi sebagai kader terbaik PDIP yang pernah menjadi bupati Jepara, sekaligus ikut kontestasi merebut rekomendasi calon bupati pada pilkada tahun ini, seolah diabaikan partainya sendiri. Andi yang dalam pengusungannya telah didukung 16 pengurus PAC se-Jepara, justru terkalahkan oleh duet Wiwit-Hajar yang keduanya bukan kader PDIP.

Tersiar kabar di sebagian kalangan bahwa 16 PAC PDIP Jepara menyatakan sikap untuk “berlawanan” dengan dukungan politik pilihan partai, meski dengan dalih pilihan pribadi dan tidak ada kader untuk dipilih dalam kontestasi. Fenomena belah dukungan dalam politik ini seringkali dikenal dengan istilah split ticket voting yaitu memilih berbeda dalam pilbup Jepara, namun setia memilih sesuai kebijakan partai PDIP untuk calon gubernur Jawa Tengah, Andika-Hendi.

Dinamika dalam tubuh PDIP Jepara seolah ingin mengoreksi kebijakan partai yang sudah mengabaikan tradisi “hijau merah” dalam koalisi selama ini. Munculnya dukungan PDIP terhadap Wiwit-Hajar yang tidak mewakili kader partai, diprediksi sebagian kalangan menyebabkan mesin partai PDIP tidak akan bergerak dalam pilkada Jepara.

Sebanyak 16 PAC yang semula sudah mendukung Andi, sampai saat ini dianggap tetap solid dalam komandonya mantan bupati tersebut. Kondisi demikian dapat difahami sebagaimana kontestasi pilpres yang tidak membuahkan kemenangan bagi calon yang diusung PDIP, meski secara umum diketahui Jawa Tengah adalah kandang banteng.

Keterbelahan faksi di sejumlah partai tentu sangat menguntungkan bagi kandidat yang tidak diusung oleh partai “terbelah” itu sendiri. Manakala partai mengeluarkan kebijakan memecat atau memberi tindakan pendisiplinan, maka mudah terbaca bahwa partai itu benar-benar pecah.

Sebaliknya, jika partai “menutup-nutupi” kondisi keterbelahan yang terjadi, maka kesigapan tim pemenangan lawan tentu akan mudah memanfaatkan merekrut ceruk suara akibat ketidakpuasan terhadap partai. Posisi inilah yang sering disebut mobat-mabit kontestasi politik mesti direspon dengan rasa yang santai. Mungkinkah pilkada itu tetap terasa puinuk? Semoga.

(Penulis adalah Pembina Paradigma Institute)

blank

http://bit.ly/Pilkada2024KPPS