KUDUS (SUARABARU.ID) – Kabupaten Kudus mengalami deflasi sebesar 0,04 persen pada bulan Agustus 2024. Deflasi ini dipengaruhi oleh beberapa kelompok pengeluaran, dengan makanan, minuman, dan tembakau menjadi kelompok yang memberikan kontribusi terbesar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) melalui website resmi Kemenkeu, deflasi merupakan penambahan nilai mata uang, antara lain dengan pengurangan jumlah uang kertas yang beredar dengan tujuan mengembalikan daya beli yang yang nilainya turun.
Deflasi merupakan fenomena penurunan harga yang ada di dalam suatu wilayah. Deflasi terjadi karena kekurangan jumlah uang beredar yang menyebabkan daya beli masyarakat menjadi turun
Beberapa penyebab terjadinya deflasi antara lain, penurunan jumlah uang beredar di masyarakat karena cenderung menyimpan uangnya di bank, berkurangnya permintaan barang sementara produksi akan barang terus meningkat atau tidak bisa dikurangi dan masyarakat tidak lagi mengkonsumsi barang tersebut karena bosan atau membatasi pembelian, serta perlambatan kegiatan ekonomi sehingga banyak pekerja yang terdampak karena berkurannya penghasilan sehingga jumlah uang beredar di masyarakat pun menjadi berkurang.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kudus, Eko Suharto, menyatakan bahwa kelompok makanan, minuman, dan tembakau mencatatkan deflasi sebesar 0,89 persen, yang menyumbang andil sebesar 0,24 persen terhadap total deflasi. Selain itu, sektor informasi, komunikasi, dan jasa keuangan juga berkontribusi terhadap deflasi sebesar 0,02 persen.
Eko menjelaskan bahwa bawang merah menjadi komoditas yang memberikan sumbangan terbesar terhadap deflasi, yakni sebesar 0,12 persen. “Selain bawang merah, daging ayam ras dan telur ayam ras masing-masing juga menyumbang deflasi sebesar 0,03 persen,” ungkapnya pada Selasa (3/9/2024). Cabai merah dan bawang putih juga berkontribusi terhadap deflasi, masing-masing dengan andil sebesar 0,02 persen dan 0,01 persen.
Meski demikian, Eko juga mencatat adanya beberapa komoditas yang justru memicu inflasi di Kudus. Kebutuhan sekolah dasar menjadi penyumbang inflasi tertinggi dengan andil sebesar 0,09 persen, diikuti oleh komoditas bensin sebesar 0,04 persen. Cabai rawit dan sate masing-masing memberikan andil inflasi sebesar 0,03 persen dan 0,01 persen.
Secara tahunan, Kudus masih mencatat inflasi sebesar 1,93 persen, meskipun angka ini mengalami penurunan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Eko menjelaskan bahwa inflasi tahunan ini paling banyak dipengaruhi oleh sektor pendidikan dengan nilai inflasi sebesar 5,14 persen, diikuti oleh bahan perawatan diri sebesar 4,83 persen.
“Beberapa komoditas yang mendorong inflasi tahunan ini antara lain beras dengan andil 0,28 persen, perguruan tinggi dan emas masing-masing 0,17 persen, gula pasir 0,13 persen, dan sigaret kretek mesin sebesar 0,12 persen,” tambahnya.
Eko juga menyebutkan bahwa Indeks Harga Konsumen (IHK) Kabupaten Kudus pada Agustus 2024 tercatat sebesar 105,9. Di Jawa Tengah, sebagian besar wilayah mengalami deflasi pada bulan Agustus, dengan pengecualian Kabupaten Rembang dan Kota Tegal yang mencatat inflasi masing-masing sebesar 0,03 persen dan 0,01 persen.
Ali Bustomi