JAKARTA (SUARABARU.ID) – Komisi Yudisial RI membantah tudingan Komisi III DPR RI yang menyebut dua calon hakim agung pajak tidak memenuhi persyaratan.
KY menyebut pengusulan dua calon tersebut sudah melalui keputusan pleno untuk melakukan kelonggaran persyaratan administrasi atau diskresi berdasarkan Pasal 22 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administarsi Pemerintahan.
Bantahan resmi itu disampaikan Mukti Fajar Nur Dewata, Anggota KY yang juga juru bicara, tak hanya melalui siaran pers, tapi juga melalui canel Youtube Komisi Yudisial, Kamis 29 Agustus 2024.
“Saya atas nama Komisi Yudisial pada kesempatan ini ingin merespon apa yang disampaikan oleh Komisi III DPR RI terkait penolakan usulan calon hakim agung,” kata Mukti.
Mukti menjelaskan, respon soal pernyataan Komisi III DPR RI terkait penolakan 9 calon hakim agung (CHA) dan 3 calon hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) di Mahkamah Agung (MA) yang telah diusulkan KY untuk menjadi perhatian public.
Pertama kata Mukti, hingga saat ini, KY belum menerima surat resmi dari Komisi III DPR RI terkait penolakan 9 Calon Hakim Agung dan 3 Calon Hakim ad hoc HAM di MA.
“Kami belum tahu persis alasan penolakan semua calon tersebut. Komisi III DPR RI telah memberikan pernyataan melalui media, sehingga KY perlu merasa meluruskan adanya persepsi pelanggaran aturan pada seleksi calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM di MA di mana disebutkan ada 2 calon hakim agung Kamar TUN Khusus Pajak yang tidak memenuhi syarat,” kata Mukti.
KY, kata Mukti, secara konstitusional, dalam Pasal 24 B UUD NRI Tahun 1945, mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan KY telah melakukan seleksi calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM di MA sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.
Kedua, soal dua calon hakim agung Kamar TUN Khusus Pajak yang tidak memenuhi syarat tersebut, merupakan keputusan pleno untuk melakukan kelonggaran persyaratan administrasi atau diskresi berdasarkan Pasal 22 UU No 30 Tahun 2014 tentang Administarsi Pemerintahan: melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Mukti menjelaskan, kalau hal tersebut dilakukan karena secara normatif, hakim pajak merupakan jalur hakim karir yang berdasarkan UU No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung bahwa berpengalaman paling sedikit 20 tahun menjadi hakim.
Sementara, pengadilan pajak baru dibentuk pada tahun 2002, yaitu berdasarkan UU No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak di mana syarat usia minimal menjadi hakim pajak adalah 45 tahun. Dengan demikian, tidak ada hakim pajak berpengalaman 20 tahun menjadi hakim. Menurut data KY, hakim paling senior di Pengadilan Pajak hanya mempunyai pengalaman 15 tahun sebagai hakim.
Mukti menjelaskan, kebutuhan hakim agung TUN khusus pajak di MA sangat mendesak, dengan jumlah tumpukan perkara lebih dari 7000, namun saat ini MA hanya mempunyai 1 orang Hakim Agung TUN Khusus Pajak. Sementara pendaftar calon hakim agung Kamar TUN khusus Pajak terbatas, sehingga perlu diskresi untuk memenuhi kebutuhan MA.
Mukti menambahkan, selain ketentuan tersebut, sudah ada preseden seleksi calon hakim agung di masa sebelumnya, dengan isu yang sama, yaitu pengangkatan 4 hakim agung militer yang belum memenuhi syarat 20 tahun.
“KY akan menunggu surat resmi tentang penolakan semua calon hakim agung dan calon hakim ad hoc HAM di MA tahun 2024 dari DPR RI, khususnya Komisi III. Di mana surat tersebut nantinya akan diplenokan untuk menentukan bagaimana sikap kelembagaan KY,” ujar Mukti.
Ning S