WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Pagelaran wayang kulit semalam suntuk, digelar di Balai Desa Karanglor, Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri. Mengambil Lakon Bima Suci, dimainkan oleh tiga dalang. Trio dalang itu terdiri atas Guru Dalang Ki Deres Sugiyono bersama Dalang Ki Sarwono dan Ki Sunedi Purbo Carito.
Pentas wayang kulit dalam memeriahkan malam resepsi memperingati HUT Ke-79 Kemerdekaan RI Tahun 2024 ini, digelar Sabtu malam (24/8/24) sampai Minggu dinihari (25/8/24). Didukung oleh para seniman pengrawit dari Sanggar Seni Nogo Budoyo Manyaran Pimpinan Pak Carik Saryanto. Ikut hadir memberikan sambutan, Camat Manyaran, Toto Tri Mulyarto dan Anggota DPRD Jateng Mulyadi.
Bima Suci termasuk lakon pakem. Dalam Buku Ensiklopedi Wayang Indonesia terbitan Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (Senawangi) Jakarta 1999, Lakon Bima Suci tercatat sebagai lakon pada nomor 130 dari 225 lakon Mahabarata.
Diceriterakan, Bima (Werkudara) Sang Panegak Pandawa, menjadi Pandita (Pendeta) di Pertapaan Arga Kelasa, bergelar Begawan Bima Suci. Banyak ksatria dan pendeta takluk dan hormat kepadanya. Sebagai Pandita, Bima Suci mampu mengajarkan kawruh (ilmu) Kasampurnan (kesempurnaan), yakni tentang asal muasal hidup dan tujuannya.
Itu membuat cemburu Batara Guru, yang khawatir jika manusia tak lagi mau menyembah Dewa. Maka dari itu, diperintahkan Bara Indra untuk menjajaki ilmu Bima Suci, dengan beralih rupa menjadi Pandita Resi Drupara. Tapi gagal melaksanakan misinya, bahkan Betara Guru dan Narada juga ikut dipermalukan oleh Bima Suci, karena tak mampu menandingi kesaktiannya.
Para Dewa kemudian minta bantuan Prabu Kresna dan Puntadewa (Kakak Bima). Saat menghadap, Kresna dan Puntadewa justru bersujud, sebab melihat ada sinar kemilau di atas ubun-ubun Bima Suci, karena disusupi Sanghyang Wenang (Dewanya para Dewa).
Kasampurnan
Bima Suci memiliki permintaan agar arwah Pandu dan Madrim, dipindahkan dari neraka ke surga. Batara Guru menyanggupi, kemudian Sanghyang Wenang pun oncat (meningglkan) tubuh Bima. Diikuti Batara Guru dan Narada, kembali ke Kahyangan. Bima Suci pun kembali menjadi Werkudara.
Pagelaran wayang kulit Lakon Bima Suci oleh Trio Dalang tersebut, mampu menyajikan tontonan yang menghibur. Yakni melalui episode Limbukan dan Gara-gara Panakawan (Semar, Gareng, Petruk dan Bagong) yang menampilkan adegan gecul (jenaka), sekaligus menyajikan beragam tembang dan nyanyian yang mampu membangun terwujudnya suasana suka cita pementasan. Di sisi lain, mampu memberikan tuntunan yang berkait dengan upaya menggapai kesempurnaan hidup dan mati.
Lakon Bima Suci termasuk lakon yang banyak disukai oleh masyarakat spiritual (Jawa). Karena membeberkan tentang jati diri manusia dengan segala komponen gaib-nya, termasuk keberadaan Sedulur (badan alus) Papat Kalima Pancer. Yang eksistensinya mampu mendukung kehidupan manusia, dalam mencapai kesadaran sejati untuk menggapai kesempurnaan.
Bicara masalah kesempurnaan menjadi hal yang kontroversal. Karena ada yang berpendapat, ilmu kasampurnan itu tidak ada, sebab kesempurnaan itu hanya milik Tuhan. Meskipun begitu, Bima Suci, berkeyakinan manusia diperbolehkan berusaha untuk mendapat kesempurnaan.
Yang dalam spiritual Kejawen, itu dipahami sebagai upaya yang mampu mengantarkan pencapaian kesejatian dirinya. Yakni dalam kiat menggapai kesempurnaan hidup, dan menuju kasampurnaning pati, melalui jalan mulih marang mula nira (asalnya dari Tuhan kembali kepada Tuhan).(Bambang Pur)