SEMARANG (SUARABARU.ID) – Bos PSIS Semarang Yoyok Sukawi sapaan akrab AS Sukawijaya moncer dalam hasil survei pemilihan Wali Kota Semarang (Pilwalkot) 2024, oleh Indo Barometer yang dilakukan pada 18-23 Juli 2024.
Dalam simulasi terbuka atau top of mind, elektabilitas Yoyok Sukawi Anggota DPR RI Partai Demokrat itu sebesar 16,5 persen.
Posisi kedua ada petahana yakni Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu (Mbak Ita) dengan elektabilitas 11 persen.
Kemudian posisi ketiga ada Sekretaris Dinas Pemadam Kebakaran Kota Semarang Ade Bhakti Ariawan pada presentase 6,3 persen
“Nama Dico M Ganinduto (Bupati Kendal) pada posisi empat dengan 2,8 persen. Lalu elektabilitas nama calon lainnya berada di bawah 2 persen, seperti Krisseptiana Hendrar Prihadi, dan Iswar Aminuddin,” kata peneliti lembaga survei Indo Barometer M Qodari via daring, Selasa 6 Agustus 2024.
Dalam dikusi bertema “Membaca Peta Politik Jelang Pilwakot Semarang 2024 Jilid 3” Forum Media Online Kota Semarang (FOMOS) di Hotel Neo Candi itu juga diungkap hasil survei tertutup.
M Qodari mengerucutkan tiga nama kandidat dalam survei, yakni Yoyok Sukawi, Hevearita G Rahayu, dan Dico M Ganinduto.
Tingkat elektabilitas Yoyok Sukawi 51,5 persen, Hevearita G Rahayu 16,3 persen, dan Dico M Ganinduto 13 persen.
“3 Alasan tertinggi, karena Yoyok Sukawi sebagai pengurus PSIS 100 persen, Plputra daerah 75 persen, kepedulian terhadap masyarakat 62 persen,” ungkap dia.
M Qodari bilang, survei Indo Barometer tersebut dilakukan pada 18 hingga 23 Juli 2024 di 16 kecamatan di Kota Semarang. Survei ini menggunakan metode multistage random sampling dengan wawancara secara tatap muka.
Jumlah sampel pada survei ini sebanyak 400 responden, dengan margin of error sebesar ±4.90%, pada tingkat kepercayaan 95%.
3 Poros Politik
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Kholidul Adib mengatakan, dimungkinkan ada dua atau tiga poros yang akan bertarung di Pilwalkot Semarang 2024.
Pertama, pengusung Yoyok Sukawi dari Koalisi Semarang Maju yang tergabung enam partai politik. Di antaranya Partai Demokrat, PKS, PKB, PAN, NasDem, PPP dengan total perolehan 20 kursi parlemen.
Poros kedua Koalisi Golkar dan PSI yang mengajukan Dico M Ganinduto. Akan tetapi, kata dia, posisi Dico belum aman karena baru memperoleh sembilan kursi, artimya masih kurang satu.
“Kemudian poros ketiga yakni PDI Perjuangan, dengan perolehan 14 kursi, partai berlogo banteng itu bisa mengusung calon sendiri,” katanya.
Menurut pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Walisongo ini, Partai Gerindra yang belum menentukan arah dukungan akan menjadi pemain kunci Pilwakot Semarang dua atau tiga poros.
“Kalau terjadi dua sangat mungkin kalau upaya Yoyok melobi Gerindra berhasil,” ucap dia.
Demokrasi Prosedural
Lebih jauh, dia melihat demokrasi yang dijalankan partai politik saat ini masih sebatas demokrasi prosedural.
“Kalau demokrasi bagus, ya cukup Dewan Pimpinan Cabang (DPC) partai saja (bisa merekomendasikan calon) jangan sampai ke DPP (yang memutuskan),” kata dia.
Menurutnya, alasan kuat karena DPC partai yang bersentuhan langsung dengan rakyat sehari-hari.
“Adakah DPC partai yang punya otoritas mengusung calon? Tidak ada.Demokrasi sebagai kedaulatan belum sepenuhnya Demokrasi kedaulatan rakyat,” ucapnya.
Tak Yakin Capai Pendaftaran di KPU
Pengamat politik yang juga Dekan Fakultas Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Teguh Yuwono mengatakan, bila demokrasi di Indonesia harus semakin baik.
Hipotesis dirinya menyebut, apakah pemilihan presiden (Pilpres) lalu akan menjadi ulangan di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Gubernur (Pilgub), dan Pilwalkot? Akan tergantung intervensi atau kerja sama partai di nasional.
“Koalisi ini yang misal mengusung Yoyok Sukawi atau Dico, menurut saya tidak ada yang meyakinkan itu akan sampai pada pendaftaran (di Komisi Pemilihan Umum/KPU),” kata dia.
Hasil survei itu, kata dia, merupakan cek ombak hingga diputuskan oleh petinggi partai di Jakarta. Mereka coba memantau dan melihat dan menghangatkan suasana melalui media massa supaya publik punya alternatif sosok pada pemilihan.
Intervensi nasional, kata dia akan besar. Partai politik memainkan pola dukungan, dan menarik dukungan sangat mungkin terjadi.
“Misalnya, beberapa koalisi saja diambil dari Mas Yoyok Sukawi, maka dampaknya luar biasa. Selanjutnya qda poros natural, atau poros transaksional, seberapa besar tali itu mengikat mereka,” kata dia.
Dia juga menerjemahkan hasil survei, dan yakin itu semua sebatas simulasi perilaku masyarakat.
“(Survei) yang disampaikan Mas Qodari (Indo Barometer) itu survei perilaku. Nah itu belum ada intervensi elit. Takutnya di Semarang intervensi elit memainkan sesuatu yang tak terduga. Politik itu the art of possibility (seni kemungkinan), semuanya serba mungkin dalam politik,” ucap Teguh.
Dengan demikian, lanjutnya, peletakan posisi bakal calon wali kota dan wakilnya yang diusung partai politik masih cair. Alasanny, kata dia, tidak ada tali yang mengikat antar komitmen partai politik hingga para calon didaftarkan di KPU.
“Janur melengkung bisa ditikung. Wait and see (lihat dan tunggu) saja, bisa (tetap) begini atau enggak? poros apapun bisa terjadi sampai titik pendaftaran apapun bisa terjadi,” katanya.
Terlebih, ucap Teguh, peluang intervensi pusat akan besar, yakni Intervensi nasional power (intervensi petinggi partai pusat), dan intervensi transaksional power (intervensi transaksional).
Lebih jauh, dia menjelaskan, bila kelemahan demokrasi di Indonesia itu liberalisme.
“Kalau kita bicara ideal. Meskinya partai politik mengirim calon pemimpin berbasis ideologi bukan berbasis kesukaan pasar,” katanya.
Teguh mencontohkan demokrasi di Amerika berkebalikan dengan Indonesia. Di Indonesia, calon yang diusung saat berpindah-pindah partai dan baju merupakan hal biasa atau dilumrahkan
“Kalau di luar negeri itu, parpol mirip religion. Yang diusung ideologi, bukan kesukaan pasar (akan calon pemimpin),” katanya.
Diaz Abidin