Kalau di Gunung Kidul menginap di hotel, kali ini dengan cara berkemah di tepi Sungai Bedegolan, di aliran Waduk Wadaslintang. Waduk Wadaslintang sendiri merupakan daya Tarik dan ikon penting bagi Wonosobo, daerah asal mereka.
Sungai Berair Bening
Kedatangan mereka yang berasal dari Jakarta, Semarang, Yogya, Solo, Magelang, Purwokerto, Banjarnegara, dan Wonosobo itu dengan titik kumpul di home stay Gunung Mujil Indah milik Hadi Susilo.
Dari sini menuju ke Lokasi perkemahan sekitar 1 kilometer. Datang dengan disuguhi tempe kemul, gebleg, pisang rebus, dan minuman panas menjadikan para adiyuswa ini merasakan kesegaran dan nikmat, setelah melintasi jalur Sawangan di Kabupaten Wonosobo melewati hutan dengan jalan puluhan tikungan sampai Sendangdalem, Kabupaten Kebumen ini.
Cuaca sore hingga malam itu memang sangat bersahabat, mengingat hari sebelumnya hujan sempat turun. Sehingga para mbah kakung dan mbah putri bisa berkegiatan malam itu dengan leluasa.
Sekitar pukul 16.30 para tamu ini berangkat menuju lokasi camping. Hari sudah mulai temaram, tetapi melihat kemah yang terpasang di tepian Sungai, semuanya takjub. Airnya bening mengalir, meskipun ada aroma bau (tetapi tidak menyengat).
Diperkirakan sumber bau itu muncul dari pakan ikan di Waduk Wadaslintang. Tetapi ini tidak mengganggu, bahkan esok harinya juga ada acara river tubing di sungai ini.
Setelah ibadah magrib, dilanjutkan dengan makan malam, dan acara berikutnya adalah suka ria riang gembira. Menyanyi dan saling meledek, mengenangkan kejadian-kejadian dan kelakuan semasa sekolah 46 tahun lalu. Ya, mereka berkumpul bersama sejak tahun 1978 saat pertama masuk SMA Negeri 1 Wonosobo.
Doddy Priaji Catur Budaya yang oleh teman-temannya “ditetapkan” sebagai pangarsa atau yang berada di depan dalam silaturahim para alumni mengharapkan, silaturahmi semacam ini bisa terus berlanjut dalam usia yang sudah makin tua ini, dan harapan lainnya semua dalam keadaan selalu sehat.
Nyanyi, Nari, Saling Ledek
Malam itu pun mereka menari, menyanyi, lupa pada usia. Tentu saja disertai ledekan-ledekan, mengingatkan kenangan konyol saat sekolah dulu. Misalnya saat pulang sekolah melwati rumah dengan pohon jambu yahg berbuah lebat.
Tiga gadis berseragam putih-hijau khaki ini pun tertarik untuk menikmati jambu, dan berniat membeli. Yang punya pun memanjat untuk mengambilkan jamu-jambu itu.
“Itu lho Purwati cerita, dia bersama Mamik dan Herna terpana melihat si bapak yang memanjat hanya pakai zwempak. Dan, gilanya, mereka selalu mengulang kelakuan itu. Saya kira bukan jambunya yang jadi pilihan, tetapi pakaian dalam si Bapak ini yang jadi daya tarik,” ujar Widi yang memang suka blak-blakan meledek teman-temannya.
Dan kata “slempak” yang merupakan plesetan dari zwempak atau pakaian renang itu pun sempat “viral” di grup WA mereka.
“Lha iya, Purwati itu kan alim juga Mamik, hanya Herna yang punya potensi ndlodok. Tetapi ternyata yang alim itu punya masa lalu kelam…. Hahahhaha,” ledek Widi,
Dan, mereka pun tertawa Bahagia mendengar cerita konyol ini. Dan, ledekan-ledekan pun mengalir untuk mereka yang kini sudah sendiri karena pasangannya sudah meninggal.
Mereka didorong-dorong untuk kembali berdua, karena di antara mereka memang ada yang lelaki dan perempuan sama-sama sudah sendiri. Ada yang serius untuk didorong tetapi ada yang sekadar diledek-ledek untuk memeriahkan suasana.
Sambil menikmati jadah (ketan) bakar dan jagung bakar, acara berlanjut hingga hampir tengah malam lalu kemudian mereka masuk tenda masing-masing. Ada yang langsung tidur, tetapi ada juga yang bikin kopi.
Seperti Wahyu Supriyanto, misalnya, dia sengaja membawa kompor prtabel dan aneka jenis bahan minuman seperti kopi berbagai jenis, teh, wedang uwuh. Mereka melanjutkan ngobrol sampai lewat tengah malam.
Dan esok paginya bagun, mengikuti fun game, dengan olahraga ringan sebelum sarapan dan melanjutkan acara berikutnya bertualang di Waduk Wadaslintang.
Widiyartono R